Di desa Singosari, ada sebuah mesjid yang disekelilingnya dipasang seribu toa. Awalnya hanya ada 8 toa untuk kebutuhan 8 penjuru angin. Warga berharap dengan 8 toa saja sudah cukup untuk membangunkan delapan desa yang jarak antara satu desa dan desa lain sekitar 1 km – 3 km.
Toa baru membuat warga desa lain yang tak memiliki masjid, berdatangan ke Singosari, hanya untuk sholat dan mendengarkan khotbah. Ada beberapa desa yang jarang ke masjid dan pengurus berpikir itu karena toanya tak sampai ke sana. Mereka lalu berteriak sekencang mungkin agar desa-desa lain melakukan sholat. Tapi toa dengan jarak jauh memang tak mengena.
Toa diperlukan sebab banyak penganut Islam tradisional sering mengadakan ritual seperti salawatan, tarhiman atau hajad lain. Semuanya di masjid dan semua memakai toa. Teriakan toa makin menggema setiap saat. Bukan hanya di luar masjid. Termasuk di dalam masjid. Bahkan yang tak berkaitan dengan itu, juga merasa risi. Tapi mau protes tak berani, sebab satu contoh perempuan yang protes toa dipenjara, membaut sebagian warga memilih diam atau menjauh.
Dan suara toa terus menggema pagi, siang malam.
Bukan hanya kerongkongan pengurus yang kering karena berteriak, lama-lama toanya juga rusak. Jika rusak, mereka beli toa baru, sebab servise toa harganya jauh lebih mahal. Tanpa terasa, lama-lama masjid itu penuh dengan toa. Terkenal dengan julukan Seribu Toa. Dari seribu itu, yang bisa berbunyi hanya 8, sesuai fungsinya, delapan penjuru angin.
Sekarang Singosari padat dan toa tak diperlukan dibunyikan keras-keras. Penduduk sekitar juga merasa bising karena toa tak hanya buat melantunkan adzan, melainkan anak-anak berebut masuk toa agar suaranya lantang terdengar di penjuru desa. Dan itu meresahkan warga sekitar.
Hadirnya warga baru yang beraliran Islam modern, tak lagi memerlukan toa. Mereka paham lengkingan toa diperlukan ketika dulu satu rumah dan rumah lain berjauhan, untuk mengingatkan waktu sholat. Tapi sekarang, satu rumah dengan lain berdempetan. Toa tak diperlukan. Mereka punya hape yang bisa melantunkan adzan setiap saat. Mereka punya jam yang menjelaskan saaatnya waktu sholat, dan mereka paham kapan pergi ke masjid. Dan para muazin yang melantunkan adzhan malah terdengar syahdu, merdu dan indah.
Wargapun yang mendengarkan suara adzan yang lamat-lamat menjadi paham makna sebuah keindahan. Yang membuat bupati Singosari senang adalah peraturan penggunaan toa yang semula ditentang oleh banyak kaum tradisional, justru mereka menemukan kedamaian ketika mereka memahami kenikmatan suara adzan dari suara langung muazin.
Di kota yang jauh dari Singosari, juga tak pernah mendengar suara toa lagi. Mereka sibuk memprotes larangan toa, sebab itu salah satu cara menyatakan tidak suka pada pemerintah. Toa hanyalah alat yang diperalat.
BACA JUGA