Sharenting (Sesungguhnya) Demi Apa?

Sharenting (Sesungguhnya) Demi Apa?

Mengunggah foto anak, tidak bis sembarangan, mengingat hasilnya kelak, akan menyertai si anak saat dewasa. Bisa menguntungkan, atau sebaliknya. Orangtua wajib tahu dan hati-hati.( Foto: ParentTalk)

Twibbon dengan tulisan : Anakku siap jadi siswa SD Harapan Sejahtera!

Romano siap masuk sekolah lagi, dengan logo Sekolah Raya Merdeka

Bingkai buatan sekolah dengan foto seorang anak perempuan dengan rambut diikat dua, foto seorang anak lelaki berkacamata sliweran di timeline media sosial kita dalam minggu-minggu ini.

Di timeline yang lain, terpampang foto seorang balita putri yang mengenakan pakaian renang, diikuti caption, “Selamat ulang tahun anakku, yang sudah bukan bayi lagi.”

Ketika saya menegurnya lewat DM tentang tidak mengeposkan foto balita berpakaian renang, “Lah memang kenapa, Kak! Follower-ku nggak banyak kok, amannn.”

Semua unggahan contoh saya di atas seperti lazim dilakukan, meski hal itu termasuk sharenting. Sebuah istilah tentang perilaku oversharing yang dilakukan orang tua di media sosial, terutama tentang apa, bagaimana, di mana, semua kisah tentang anak melalui proses tumbuh kembang.

Alasan melakukannya banyak faktor. Sebuah hal yang alami ketika orang tua menunjukkan kebanggaan akan anak-anaknya, ingin menceritakan kepada keluarga dan teman bagaimana tumbuh kembang dan kehidupan mereka.

Mengingat banyak keluarga sekarang yang hidup merantau, jauh dari kampung halaman atau kota kelahiran. Alasan lain mengharap dukungan atau kebalikannya menawarkan trik untuk pengasuhan yang telah diujicoba; dan tentu saja sebagai memori pengingat masa kecil anak-anak.

Beberapa akun blog maupun media sosial yang konsisten tentang pengasuhan ini bahkan menjadi sumber pendapatan baru bagi orang tua.

Saat ini nyaris setiap hari di timeline banyak postingan sharenting ini, tetapi sedikit yang sudah paham bagaimana risiko postingan itu untuk anak dan akhirnya diri orang tua sendiri di kemudian hari.

“Terus gunanya media sosial untuk apa? Lebih baik daripada flexing harta ini itu, ‘kan!”

Saya hanya tersenyum sambil dalam hati berujar, “Ya, tapi ini flexing anakmu, karena membuka peluang disalahgunakan kelak.”

Seorang teman lain ikut nimbrung.

“Kalau aku, bagaimana aku mengasuh anak special need-ku bermanfaat dan bisa menyemangati orang banyak!”

“Bagus, kalau targetnya demikian. Tapi proses pengasuhan anak special need tentu lebih banyak bercerita susah payahnya, cerita pencapaian sederhananya dibanding pamer fisik, kan!” tukas saya untuk menegaskan.

“Ya, betul sih. Apa yang bisa dipamerkan dari fisik juga, lah dia berkekurangan gitu.”

“Ya, tapi hati-hati juga. Pelaku kejahatan digital bisa memanfaatkan postingan apa saja di media sosial.”

Teman saya tersebut tak bisa menutupi keterkejutannya dan segera memeriksa bagaimana postingannya selama ini.

Media Sosial Bukan Album Pribadi

Seringkali seseorang mengeposkan foto-foto dengan tulisan, “disimpan di sini saja daripada memenuhi memori ponsel.”

Sayangnya, posting dokumentasi foto/video kita ke medsos, sama dengan melakukan publikasi karena medsos memang bersifat publik. Meski media sosial sering dianggap album video atau foto digital, proses mengunggah hal tersebut TIDAK BISA disebut dokumentasi. 
 
Foto dan video yang kita posting tidak tersimpan layaknya album pribadi yang hanya bisa dibuka oleh keluarga, melainkan bisa diakses oleh semua orang bahkan orang-orang tak dikenal sekalipun.

Menguatkan hal tersebut, melintas di timeline saya akun payoffview yang mengeposkan sebuah video pendek tentang bagaimana efek berbahaya ketika orang tua demikian mudah membagikan postingan tentang diri anaknya. Baik foto diri, foto kegiatan, maupun suara anak.

Dalam postingan itu, sebuah fakta ditampilkan. Ketika para orang tua sedang takjub dengan kecanggihan AI, di sisi lain AI ini ternyata bisa berefek merugikan.

Seorang anak perempuan bernama Ella menjadi sampel, ketika foto dirinya dimodifikasi oleh AI menjadi remaja, lalu suaranya dimodifikasi untuk scam penipuan permintaan uang ke ibunya, kemudian diikuti contoh pemalsuan identitas akun dengan menggunakan fotonya,  bahkan terakhir fotonya dipergunakan sebagai profil untuk tautan pornografi.

Ellen Kusuma, Kepala Sub-Divisi Digital At-Risk, SAFEnet dalam suatu sesi dengan laman pengasuhan mengingatkan orang tua. “Anak-anak rentan mengalami penyalahgunaan data yang mampu menempatkan mereka pada risiko penculikan, incaran predator seksual atau child groomingpenipuan, atau cyber bullying. Tak hanya itu, foto dan video anak bisa disalahgunakan menjadi meme yang mungkin viral dan membuat anak malu, menjadi bahan promosi tanpa izin, atau diedit menjadi bahan diskusi di grup pedofil.”

Mengunggah foto dan video tanpa seijin anak pun, apalagi ketika mereka sudah remaja, akan membuat hubungan orang tua dan anak bisa memburuk.

Sebuah jurnal yang mengkhususkan penelitian pada anak dan remaja menemukan remaja umumnya tidak akan menyetujui tindakan orang tua yang melakukan sharenting terutama bila alasanny membuat kesan atau imej bahwa keluarga mereka hebat, keren atau baik-baik saja.

Sharing yang Bukan Caring

Beberapa panduan bisa digunakan sebelum kita kebablasan melakukan sharenting.

1. Tanyakan pendapat anak apakah foto atau video mereka boleh dipost

2. Tidak mengeposkan atau mengijinkan orang lain (teman atau keluarga) mengeposkan foto bayi kita yang baru lahir lengkap dengan data di box bayinya, waktu, tempat kelahiran. Mengingat kasus foto adopsi ilegal dan jual beli bayi, banyak mencomot foto dari postingan random yang mungkin pernah kita lakukan.

3. Tidak mengunggah foto atau video anak-anak dengan pakaian minim maupun ketika mereka tak berpakaian

4. Tidak mengunggah foto atau video nama sekolah maupun alamatnya, tingkatan kelas anak, meski itu berupa twibbon untuk mendukung sesuatu. Semisal diperlukan, lakukan seijin anak, dengan wajah yang ditutupi masker atau filter yang menyamarkan.

5. Tidak berkeinginan mengikutsertakan anak pada lomba foto online yang banyak menyertakan foto-foto, baik pas foto, foto separuh badan atau full

6. Tidak mengunggah foto atau video anak sedang baby spa, mandi, renang dan atau melakukan aktivitas dengan pakaian terbuka.

7. Tidak mengunggah foto atau video anak sedang dalam kondisi memalukan, semisal tantrum, kebelet pipis, menangis, bertengkar, sedang dimarahi, terjatuh; yang memungkinkan anak menjadi sasaran perundungan.

8. Tidak menceritakan keseharian atau rutinitas anak, jam sekian sedang apa, setelah itu apa aktivitas yang lain.

9. Tidak mengunggah video atau foto lengkap dengan lokasi tempat pengambilan, waktu pengambilan dan segala detail lainnya.

10. Tidak mengunggah video dan foto anak bersama temannya, sebagai upaya saling melindungi privasi anak dan keluarga masing-masing

Sharing yang “Aman”

Meski pada tulisan di awal, tak ada yang bisa menjamin keamanan mengunggah foto dan video di media sosial, orang tua mungkin bisa mempertimbangkan hal ini.

• Matikan geotagging pada ponsel sehingga lokasi tempat foto dan video diambil tidak seketika dilekatkan pada foto atau video kita

• Reviewlah pengaturan personal setiap aplikasi dan batasilah, siapa yang bisa melihat atau mengakses postingan kita. Untuk postingan yang ada anak, membatasi denga hanya teman dekat saja, bisa membantu daripada settingan umum.

• Pilihlah media sosial tempat kita ingin berbagi tumbuh kembang anak, yang paling aman dan paling secure.

• Beritahu keluarga, teman untuk tidak membagikan postingan yang ada kaitannya dengan anak-anak.

• Batasi sebaran data identitas pribadi anak sesempit mungkin

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan. Postingan tentang anak kita adalah jejak digital mereka yang tak mungkin terhapus sepanjang usia. Bisa menguntungkan, tetapi juga bisa merugikan anak, hari ini, maupun masa depannya nanti.

Yuk, kita lindungi data, privasi dan jejak digital anak-anak mulai dari diri sendiri, sejak hari ini.

Energi (yang) Bukan Fisika, Tetapi Diri Manusia

Inner Child, Love Language, dalam Proses Menjadi Diri Sendiri

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta