Tanpa kompromi, rasa takut itu bisa menyerang siapa pun, baik anak kecil atau orangtua, orang miskin atau kaya. Bahkan dari rakyat jelata, pejabat, hingga pemegang tampuk kekuasaan.
Ketakutan itu bisa muncul secara mendadak, di sembarang tempat, dan tak kenal waktu.
Ketakutan itu ibarat virus penyakit yang cepat menyebar ke seluruh tubuh. Jika tidak dikelola dengan baik dan dicari solusinya, ketakutan itu dapat membuat hidup kita jadi tidak tenang, penuh kekhawatiran, dan stres.
Pertanyaannya, apa enaknya hidup dalam ketakutan?
Kenyataannya, tidak seorangpun ingin hidup dalam ketakutan. Tapi tidak semua orang mampu untuk mengelola dan mengatasinya.
Rasa takut, apapun asal muasalnya itu harus dirunut untuk ditemukan akar masalah dan solusinya.
Sebagai contoh rasa takut yang timbul dari diri sendiri. Kita takut dikecewakan, kegelapan, takut gagal, dan seterusnya. Padahal ketakutan itu hal yang belum pasti terjadi. Ketakutan, karena kita kurang percaya diri.
Untuk mengatasi ketakutan itu dibutuhkan kebesaran hati dan kesiap-sediaan kita mengatasi permasalahan itu.
Kita takut gagal ujian, ya, belajar dan menyiapkan diri dengan baik. Takut hantu, ya, kita sadar bahwa derajat kita lebih tinggi dari hantu yang semestinya hartu itu takut pada kita.
Begitu pula dengan ketakutan yang muncul dari faktor luar. Misal, kita takut diancam atasan yang terlibat kasus korupsi, penganiayaan, atau pembunuhan. Jika berani cerita ke media, kita bakal dilibatkan, dipecat, atau hingga dibunuh.
Kita takut membayangkan, kelak hidup ini jadi makin suram, jika dipecat dari pekerjaan. Kita bakal dianiaya oleh orang suruhan bos. Kita dikambing-hitamkan agar masuk penjara. Dan seterusnya.
Ketakutan yang berlebihan itu membuat hidup kita makin tidak tenang, was-was, dan stres. Akibatnya, kita berani menutupi realita itu dengan melakukan perbuatan yang menyimpang logika. Dan menyembunyikan borok itu di kedalaman hati.
Padahal, sesungguhnya, kejahatan yang kita lindungi itu tidak sepadan dengan dosa, beban jiwa yang tertekan, stres, hingga aib yang bakal kita tanggung.
Alangkah bijak, ketika menghadapi masalah berat atau rumit, kita minta saran pada orang yang terdekat, ahli di bidangnya, dan seterusnya. Untuk menentukan sikap, bahwa kita sungguh bersih, tidak tersangkut dalam kasus itu, dan agar hidup kita tentram.
Sejatinya, ketika kita melindungi orang salah dan berbuat jahat itu adalah dosa. Karena kita ikut bertanggung jawab untuk jadi saksi kebenaran.
Akui kesalahan dan dosa, itu jiwa ksatria. Tapi perbaiki kesalahan untuk jadi makin baik, itu hebat! Teruslah berbuat baik, dan bahagia.
Foto: Jukan Tateisi/Unsplash