Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Suatu ketika, di kantor sebuah LSM yang bergerak dibidang prakarsa pemberdayaan masyarakat, di Prapat, beberapa teman staf LSM bercerita dengan nada jengkel tentang hasil pertemuan dengan pejabat Pemda di salah satu kabupaten di kawasab Danau Toba. Mereka sedang mengadvokasi rencana pembuatan perda tentang masyarakat adat.
Katanya, seorang pejabat, orang Batak tentunya, mengatakan bahwa sekarang tidak ada lagi masyarakat adat dan hukum adat, karena Indonesia negara hukum. “Kalau masyarakat adat menuntut hak atas tanahnya, mana sertifikatnya?” kata pejabat itu.
“Sudah pengen kutunjangkan! Zaman ompung kita dulu mana ada sertifikat?” kata seorang teman staf LSM dengan wajah jengkel.
Saya ikut tersenyum jengkel. Bagaimana bisa seorang pejabat orang Batak bilang tidak ada lagi masyarakat dan hukum adat?
Istilah “huta na marmarga, marga na marhuta” seperti saya ungkapkan di tulisan sebelumnya adalah hukum positif dalam kehidupan orang Batak. Bahwa setiap unit-unit marga itu punya huta, dan setiap huta itu milik unit-unit marga. Dua itu tak bisa dipisahkan. Itu hukum mati dalam kehidupan dan adat Batak.
Huta adalah wilayah teritorial otonom dalam kehidupan orang Batak. Tidak ada orang yang bisa atau berani mengganggu atau mencampuri huta orang. Kalau ada orang yang mengklaim, atau mau membeli huta orang, itu penghinaan sehina-hinanya bagi orang Batak. Kepemilikan huta tidak bisa diganti-ganti.
Itu sama dengan tidak mungkin unit-unit marga dalam huta itu mengganti dongan tubu, hula-hula, dan borunya. Kalau nenek leluhur mereka Boru A dari Huta B, ya marga A dari Huta B itulah tulang atau bonaniari mereka sampai akhir jaman. Tidak mungkin diganti. Memang begitulah hukum dalam adat Batak. Semua orang Batak tahu itu.
Bagaimana seorang Batak, mengatakan tidak ada lagi hukum adat? Tapi, ya, sering begitulah, kalau sudah jadi pejabat, sering lebih mengutamakan tugas dan jabatannya dari ke-Batak-annya. Tidak berusaha menjembatani atau mencari solusi cerdas. Masyarakat Batak itu masyarakat adat. Itu jelas. Dan hukum adat diakui sebagai salah satu sumber hukum di negara Indonesia.
Ya, huta adalah hak ulayat pertama dalam hidup orang Batak. Itu hukum positif dalam persoalan tenurial (pertanahan) maupun sosial-budaya dalam hidup masyarakat adat Batak.
Menurut penelitian Vergowen, dalam hak pertanahan, sering wilayah kampung ditambah 10 sampai 30 meter atau lebih dari parik atau tembok huta. Ini disebut “tambatamba ni huta” atau pangeahan ni huta (Vergowen: 132). Tanah ini juga berfungsi sebagai tanda demarkasi bagi pihak lain, yang istilahnya disebut “nilinggom ni bulu” atau “parhaisan ni manuk”. Tanah kosong sekeliling huta ini ada yang dibiarkan sebagai tempat ternak merumput, ada yang ditanami padi, sebagai cadangan bagi warga kampung yang terus bertambah. Kalau dibagi, disebut “upa ni parik”.
Dalam konteks pembentukan huta melalui adat Huta Na Marpatik, seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, hal-hal yang “dipatikhon” dalam peresmian itu otomatis menjadi bagian dari hak ulayat huta tersebut. Mana tano maraek (persawahan), mana tano mahiang (parjumaan – perkebunan), parbandaan (pekuburan), adaran atau parmahanan (tempat menggembala ternak), dan sebagainya. Di beberapa huta, dulu juga suka ada homban, kolam ikan besar milik bersama, yang sesekali dikeringkan dan ikannya diambil bersama-sama.
Jadi, jangan dikira, karena pekuburan, orang bisa asal kubur orang mati. Kalau itu parbandaan ni huta atau marga, ya harus minta ijin dulu dari tunggane (tetua) huta. Cuma, dalam beberapa, hak-hak ulayat ini banyak juga yang dimiliki bersama huta-huta atau marga lain sekeliling.
Menurut Bonar Siahaan, hak ulayat milik satu kelompok, satu huta atau satu ompu itu disebut “pangumpolan”. Sementara hak ulayat yang dimiliki bersama pihak lain disebut “ugasan torop” atau “ripe-ripe”. Pangumpolan tidak bisa tak bisa dijadikan ripe-ripe, ripe-ripe tak bisa dijadikan pangumpolan.
Contoh ugasan torop adalah jampalan atau jalangan, adaran tempak menggembala ternak. Huta-huta, marga A, marga B, mengikhlaskan tanah ulayatnya untuk dijadikan jampalan. Mereka patungan membeli dan memasang kawat duri untuk membatasi. Semua huta bisa melepas kerbau atau ternaknya di sana. Kalau sudah ditetapkan jadi jampalan, tidak boleh dibagi. Kalau mau kembali, jampalan dibubarkan, harus berdasarkan kesepakatan para pemilik jalangan.
Contoh lain adalah harangan atau hutan. Ada hutan milik satu kelompok, tapi ada yang ugasan torop, milik punya banyak kelompok. Banyak juga huta atau marga yang tidak punya hutan. Kalau mau bikin rumah adat, mereka pergi ke kelompok yang punya hutan untuk mengambil kayu dan memberi “bahal gaja”, semacam upeti atau pajak (ganti rugi) ke raja pemilik hutan.
Menurut amangboru Siahaan, dulu banyak harangan (hutan) punya kelompok-kelompok marga. Tapi kemudian hutan itu bersama hutan milik bersama diserahkan para tetua-tetua kepada pemerintah dan dijadikan hutan lindung. Karena itu di hutan-hutan di Tano Batak ada patok-patok atau pilarnya.
Yang berlaku di kampung saya, di kaki Gunung Simanuk-manuk, kebun-kebun atau juma ompung kami yang kemudian berada di wilayah hutan lindung, tetap bisa digarap. Pewaris bisa mengambil buah durian, petai, jengkol, atau menanam kopi, tapi tidak bisa dirusak atau diklaim sebagai milik pribadi. Ada juga huta atau kelompok marga yang diakui sebagai pemilik harangan. Masuk hutan lindung, tapi kayu yang ada di situ diakui milik mereka.
Tanah di Tano Batak itu sebenarnya sempit, karena terdiri dari daerah bergunung-gunung. Di banyak tempat, penduduk hanya bisa bertani di lembah-lembah sempit dan berkebun di lereng-lereng gunung. Karena keterbatasan itu, pada akhirnya banyak orang pergi manombang, migrasi ke daerah lain, seperti juga telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.
Karena itulah terasa konyol dan ketika pemerintah memberikan ijin konsesi 260.000 hektar (ijin versi kedua) kepada pubrik pulp dan rayon PT Inti Indorayon Utama (IIU). Bayangkan, Tano Batak itu wilayah masyarakat adat yang sudah hidup di sana turun-temurun berpuluh-puluh generasi. Di sana bertaburan huta-huta milik marga-marga dengan hak ulayat masing-masing.
Itulah kekonyolan pemberian ijin Indorayon, yang kemudian berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Tano Batak, kawasan Danau Toba itu bukan hutan kosong melompog seperti di Riau, Jambi, atau Kalimantan? Di sana ada huta-huta para marga. Masa huta-huta orang masuk wilayah HPH? Dengan hak seluas itu, jangan-jangan kota Porsea pun sebenarnya masuk HPH perusahaan itu. Karena itu sangat logis kalau ada orang mengatakan, pemberian ijin kepada Indorayon itu seperti sengaja untuk merusak orang Batak..
Karena itu tidak tepat juga kalau kemudian Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mensosialisaikan hutan sosial, kemasyarakatan, hutan desa, dan macam-macam itu di Tano Batak. Kenapa jadi harus minta ijin kepada kementerian? Itu tanah ulayat kok. Keputusan Mahkamah Konstitusi No.35 Tahun 2013 sudah jelas-jelas menyatakan bahwa “hutan adat bukan hutan negara”. Sahkan saja peraturan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat Batak, huta-huta para marga itu. dan tanah ulayat yang berkaitan.
Hal yang paling benar, menurut saya, dilakukan pemetaan, ditentukan batas-batas mana yang hutan negara, mana hutan adat, mana APL (alokasi penggunaan lain). Negara kan punya Lembaga yang mengurusi pemetaan. Tapi saya yakin itu tidak akan dilakukan. Wong kabupaten-kabupaten yang dimekarkan saja saya kira sampai sekarang tidak ada pemetaan dan menetapan batas-batasnya.
Tapi begitulah, dalam berbagai kasus konflik antara masyarakat adat di berbagai wilayah di Tano dengan Indorayon/TPL, pemerintah pusat berkelit agar Pemda-pemda membuat Perda Hak Masyarakat Adat. Taelah. Seperti dikatakan teman-teman dari LSM tadilah. Malah pejabat yang orang Batak bilang tidak ada lagi masyarakat adat dan hukum adat.
Tapi, sebenarnya ada cara untuk menjawab pejabat orang Batak yang menanyakan sertifikat tanah ulayat itu. Orang-orang dari huta-huta adat itu ramai-ramai membuat tarombo, silsilah lengkap dari induk marga sampai ke unit marga mereka (Ompu) mereka. Lalu itu disahkan oleh unit-unit semarga yang lain. Kan semua marga itu pada dasarnya tahu hubungan kakak-adik unit marga mereka. Itulah mestinya yang jadi sertifikat untuk pemilik huta-huta itu.
Mau sertifikat yang lebih ekstrim? Bawalah tarombo (silsilah itu) bersama pisau atau benda tajam. Kemudian ramai-ramai menggores tangan dan meneteskan darah di depan si pejabat. Darah itulah, DNA mereka bukti sertifikatku. Bapak, sahkanlah sertifikat kami ini…! Begetoooh…!