Oleh Herus Saputro Samhudi.
Jurnalis senior, fotografer, eseis, penulis buku, menerbitkan kumpulan puisi, terakhir bergabung di Femina Grup.
Irawan Joko Nugroho, filolog lulusan UGM dan penulis buku Peradaban Maritim Majapahit, bertanya ke saya, “Dulu itu, bisa jadi wartawan majalah femina, apa karena Teguh Esha?” Kepada tetangga selang tiga rumah di kanan rumah saya itu langsung saya jawab, “Saya masuk ke femina bukan gegara Bang Teguh. Tapi gegara Bang Teguh saya jadi penulis.”
Ini berawal dari wewarah Bang Teguh. “Jalanan itu kagak bisa jadi sandaran masa depan, Cil. Emang sih, enak…di jalan. Ente bisa punya ini itu. Bisa jadi ‘Raja Ketjil’, jadi bos puluhan tukang semir, bos belasan tukang koran, dan kini ente ‘dipercaya’ bokapnya Inggrid Widjanarko jadi tukang parkir resmi Kota Jakarta. Tapi nyampe kapan? Ente punya modal untuk lebih dari sekadar jadi anak jalanan…”
Saya lupa, kapan persisnya Bang Teguh ngucap ini wewarah. Pastinya saat itu saya sudah lulus dari SMEA Negeri IX Jakarta. Sudah jadi sub-sub-agen majalah dan koran untuk wilayah tertentu di Kebayoran Baru dengan belasan anak buah yang menggantikan posisi saya sebagai pengecer, sudah mengkoordinir puluhan anak Penyemir Sepatu, untuk bisa punya buku TABANAS demi masa depan mereka untuk menjadi lebih baik.
Jasa parkir kendaraan di keramaian Jakarta, yang dikuasai tokoh informal wilayah masing-masing, juga ditata Gubernur Ali Sadikin. Lewat seleksi ketat, antara lain latihan ala militer di RINDAM JAYA (Resimen Induk Daerah Militer Jakarta Raya) di Condet, saya lolos jadi Juru Parkir (NRP 055) PT PARKIR JAYA pimpinan ajudan Bung Karno, Kolonel (KKO/Marinir) Bambang Widjanarko, bapaknya artis Inggrid Widjanarko.
Seperti kata Bang Teguh, kehidupan jalanan memang enak. Saya bisa hidup mandiri, lebih dari anak sebaya lain yang berlatar sosial model saya. Tapi seperti juga kata Bang Teguh, sampai kapan saya bisa bertahan? Apa sampe bangkotan nanti saya tetap jadi anak jalanan? Bang Teguh bilang, saya cukup punya ‘modal’ buat keluar dari jalanan. Tapi modal apa itu? Saya nggak ngerti. Mau kuliah aja nggak sanggup.
Syukurlah suatu ketika, saya ada ‘tanam jasa’ pada seseorang penggede, yang lalu jadi ‘jalan’ saya untuk masuk jadi anggota Remaja Yudha Club (RYC) dibawah Koran Berita Yudha. Saat ikut Jamboree RYC 1974 di Situ Cigudeg Bogor, saya kenal Mas Adri Darmadji Woko. Tapi baru ngeh dia Penyair Bulungan saat Ketua RYC Yatim Kelana memperkenalkannya di Gedung AKA (kantor Berita Yudha) di Mampang Perapatan, Jakarta Selatan.
Di acara reriungan RYC itu Mas Adri baca puisi dengan gaya (menurut saya) biasa saja, bahkan kalimat puisi yang dibacanya pun biasa-biasa saja, membuahkan tandatanya di hati saya, “Kalo nulis puisi gini mah, ogut juga bisa.” Spontan saya ambil blok-note. Langsung nulis sesuatu, pengalaman ‘spiritual’ saya subuh tadi. Mas Yatim Kelana melihat dan ‘merebut’ lembaran itu, dan mengantonginya sambil tersenyum.
Siapa mengira, sajak spontan yang saya tulis karena terinspirasi ‘gampang’nya Mas Adri bikin dan baca puisi, itu ternyata dimuat koran Yudha Minggu Sport & Film (YMSF). Itulah sajak pertama saya, yang cuma dua baris, dan aslinya berjudul “Sajak Seorang Laki-Laki yang Hendak Meninggalkan Komplek Rumah Bordil – Bongkaran di Kawasan Tenabang Jakarta saat Terdengar Azan Subuh”
Bangga tak terkira karena di atas sajak tersebut tertera nama saya: Heryus Saputro Samhudi, ha…ha…ha…! Lebih bangga dan bahagia karena sajak termuat ternyata mendapat honor, yang bila dikomparasi dengan harga saat ini mungkin besarannya setara Rp 150 ribu. Ini amat sangat lumayan bagi saya yang tiap kali makan-minum saat itu cukup hanya dengan Rp 10 ribu.
Saya pun menulis dan menulis puisi lagi. Selain Mas Yatim, ada banyak senior/redaksi BY dimana saya bisa belajar. Ada Raffles Chap dan Azwir Tanjung (yang berteman dengan penyair Darmanto Jatman di Semarang dan dramawan Jogya, Azwar AN). Ada Darto Singo (bapaknya penyanyi Anggun C Sasmi), fotografer perang Djumarjo Imam Muhdi (bapaknya Giring,pemusik/ pemain band), juga budayawan Dan Sumarjono.
Bang Teguh? Tentu saja saya lapor ihwal dimuatnya puisi pertama saya itu. Nyebelin, dia cuma ngangguk-angguk sambil acungin jempol. Tapi kemudian dia seperti tersentak, dan lalu memandang saya dalam-dalam, “Ape ente bilang? Ente bikin puisi, dan dimuat di koran?” katanya sembari merebut koran YMSF yang saya bawa. Dia bolak-balik lembarannya. Dia baca lembar puisinya, pasti fokusnya puisi saya.
Bang Teguh itu orangnya santai, dan hobi tertawa. Tapi kali ini nggak ada tawa. Dia serius membaca, bahkan saat melafaskan isi puisi saya: Mau kemana, Mas? “Aku mau mencari Tuhan yang semalam hilang di ranjangmu” Bang Teguh membaca sambil mengangguk-angguk, dan lalu katanya, “Hebat ente, Cil…! Ane belon pernah bikin puisi, eh…duluan ente dimuat koran. Bisa jadi WS Rendra, ente, nanti…!”
Bisa jadi Bang Teguh cuma basa-basi. Tapi Ihwal nama WS Rendra yang disebutnya, saya jadi ingat saat suatu kali jalan bareng dia dari Stasiun Jatinegara ke Pasar Meester. Tiba di Pasar Bebek dan Pasar Burung di Jln Matraman Raya, ketemu tukang loak yang neduh di depan Toko Buku “SB”. Di situ Bang Teguh ada membeli buku terbitan Tjupumanik – Cirebon, 1971, Blues untuk Bonnie karya WS Rendra, plus Majalah Play Boy edisi perdana terbitan tahun 1953 bercover Marilyn Monroo.
“Ente jangan lepas tuh kesempatan nulis di YMSF. Siapa tahu itu bisa jadi jalan ente keluar dari jalanan,” kata Bang Teguh, serius. Saya pun keranjingan menulis, sampai kemudian Mas Yatim Kelana di Remaja Yudha (dan Bang Teguh di Kobakan Air Kebayoran) sama kasih saran mirip, agar saya jangan melulu nulis puisi. Tapi juga coba menulis yang lain. Artikel atau berita, misalnya.
“Ente kan tahu seluk-beluk tempat-tempat ‘angker’ di Betokaw, tuh…! Nah, tulis aje jadi berita atau features. Gimana nulisnye? Jangan tanya. Lha, apan ente berpengalaman nulis tangan 20 lembar kertas bergaris ukuran folio,” kata Teguh, mbari mesem. Apa itu features? Sungguh saya belon pafam. Tapi BangTeguh benar. Saya pernah nulis berlembar-lembar, dan karenanya saya lantas lulus dari SMEA Negeri IX Jakarta.
Sebagai persyaratan untuk bisa lulus, semua murid kels III antara lain juga diwajibkan membuat 2 (dua) buah karya tulis, yakni ihwal manajemen sebuah pabrik tekstil di Raja Polah, Tasikmalaya, Jawa Barat (itu sudah saya rampungkan usai ikut study tour ke TKP dan Pangandaran), serta menulis sebentuk laporan berkait matapelajaran Civic (Kewarganegaraan, atau kini Pendidikan Moral Pancasila).
Menulis apa? Inilah yang membawa langkah saya minta advis ke Bang Teguh. “Ya, tulis aje. Ape, kek. Ente kan tukang jalan. Banyak kenal pelosok kota dan kehidupan orang didalamnya,” katanya, ringan. Saya garuk-garuk kepala. Minta advis malah disuru mikir. Tapi bisa jadi begitu itu cara Bang Teguh ‘mendidik’. Saya ajuin topik “Bahaya Narkotika Bagi Generasi Muda”. Eh, dia mendelik memandang saya, sambil dia acungin jempol.
Ini topik hari-hari yang saya lihat di jalan, Banyak anak sebaya saya mati over dosis gegara nyuntik LSD, fun, mbari nyedot gele alias majanake/ganja. Bahkan zaman itu ada Celli – obat buat anjing gila, dipake buat nyuntik ke badan, seperti pernah saya lihat di belakang areal Teater Terbuka TIM saat diajak Bang Teguh nonton pertunjukan Srimulat asal Surabaya. Korban nggak cuma anak pasar, tapi juga anak gedongan.
Itu yang coba saya tulis berhari-hari tiap sore atau di hari Ahad. Kadang ditulis tangan di buku tulis, kadang pinjem mesin ketik Brother punya Bang Teguh bila sedang nganggur. Sementara dia cuma cengar-cengir melihat saya kepayahan menulis, menghapus kata yang salah dengan cairan tip-ex, dan mengetiknya ulang. Nggak sekalipun dia kasih ajaran, selain kata, “Ayo tulis. Ente bisa…!”
Juga saat saya merasa cukup dengan apa yang ingin saya tulis. Bang Teguh lagi-lagi cuma bilang, “Ya udah…! Ente rapihin aje di Taman Puring…!” Taman Puring yang dimaksud adalah lapak jasa pengetikan yang ada di taman dekat Majestic itu. Saya langsung ngacir ke TKP. Esoknya, hasil ketikan saya serahkan ke guru Civic kami, Drs Suparnen Erdiana yang akrab dipanggil Pak Nen.
Siapa mengira tulisan Bahaya Narkotika Bagi Generasi Muda diumumkan Pak Nen sebagai karya tulis terbaik siswa SMEA Negeri IX Jakarta Angkatan Pertama tahun 1972. Bahkan di tahun 1977, saat saya dan Mas Uki Bayu Sedjati plus seorang teman Teater Bulungan datang berkunjung ke almamater saya itu, untuk keperluan melatih grup teater yang akan dibentuk di sekolah itu, Pak Er masih memuji karya tulis saya itu.
Bang Teguh? Tentu saja saya lapor sehari setelah karya tulis itu diumumkan jadi yang terbaik di angkatan saya, dan bisa jadi karena itu pula saya bisa lulus dari SMEA Negeri IX Jakarta. Apa reaksinya? Bang Teguh cuma kasih jempol sambil bilang, “Ane bangga sama ente, Cil…!” dan tangannya masuk ke kantong jaket saya, ambil 2 batang jisokam. Sebatang dinyalakan untuknya, sebatang untuk saya, hi…hi…hi… ***