Tinggal di Kompleks itu Siap Mental, Kalau di Kampung Siap Bahagia

Jangan mudah percaya, jika hidup di kompleks perumahan itu sifat orangnya individualis, mending kita tinggal di kampung, karena lebih guyup dan rukun.

Kenyataan itu tidak semua benar. Tinggal di kompleks perumahan itu sifatnya heterogen. Yang utama dan penting adalah kita bisa membawa diri dan luwes bergaul.

Ketika saya memutuskan untuk pindah ke suatu kompleks perumahan, prioritas utama yang saya dulukan adalah fasilitas pendukungnya lengkap dan mudah dijangkau.

Kelengkapan sarana fasilitas ini dimaksudkan untuk memudahkan anggota keluarga dalam menjalani aktivitas hidup keseharian.

Di kompleks, saya menempati rumah pakdhe yang pulang kampung. Saya mewanti-wanti pada istri agar pandai membawa diri, mudah bergaul, dan luwes.

Jika ada omongan atau sikap tetangga yang kurang berkenan, jangan mudah tersinggung dan memasukkan dalam hati. Caranya, dengan berpikir positif, berprangka baik, dan tetap ramah.

Sayangnya, perumahan yang belum lama kami tempati itu sebagian kebanjiran, termasuk rumah saya. Menurut tetangga, banjir yang pertama kali sejak duapuluhan tahun. Padahal, kompleks perumahan kami dilewati kali kecil pembuangan dari beberapa kompleks, bukan anak sungai. Barangkali di bagian hilirnya dimanfaatkan warga untuk bertani sayuran dan munculnya beberapa perumahan baru. Akibatnya, jika hujan deras air kali kecil itu tidak tertampung, lalu membalik kembali.

Gara-gara jika hujan deras sering kebanjiran, keluarga saya menjadi tidak kerasan. Lalu saya memutuskan untuk pindah. Rumah itu saya biarkan kosong.

Teror mulai muncul di grup WA warga, ketika rumah yang saya tinggalkan kosong itu ditumbuhi rumput dan dianggap sebagai sarang ular, berhantu, hingga ada warga yang menyarankan agar rumah itu dijual. Alasannya, rumah kosong yang tidak dirawat itu kesannya kumuh dan cepat rusak.

Istri saya mulai terhasut. Semula ia ingin ke luar dari grup WA dan arisan warga yang sebulan sekali, tapi saya cegah. (Meski, kami pindah rumah dan beda RT, kami tetap menjalin silaturahim dengan arisan).

Tujuan teror demi teror itu agar saya menjadi panas lalu menjual rumah itu dengan harga murah. Tapi, saya selalu mengingatkan istri dan anak-anak. Pakdhe dan budhe mewariskan rumah itu agar kita menjaga dan merawatnya.

Ternyata, teror itu tidak berhenti.

Ketika memperoleh rezeki, saya bermaksud merenovasi dan menaikkan rumah itu agar tidak banjir. Tapi rumah saya yang tinggi dianggap beberapa warga sebagai penghambat jalannya air!

Tak perlu panas hati, apalagi untuk menanggapi omongan dan komentar miring.

Hidup orang jujur dan benar, kendati banyak hambatan atau tantangan menghadang, jalannya selalu lurus dan fokus ke depan. (MR)

Rame-rame Menggarami Laut …

Keledai Terperosok di Lubang Yang Sama

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang