OLEH RAMADHAN SYUKUR
SUATU hari teman gue, cewek, misah misuh, “Sialan! Kecewa gue, Dhan!” Katanya waktu kami ketemuan.
Teman gue ini sudah lama sakit, karena dia bosen bolak balik rumah sakit, mahal pula, terpikirlah sesekali mencoba mendatangi ustad yang rutin nongol di televisi. Bukan ustad yang suka ceramah, tapi lebih ke pengobatan berbagai penyakit.
Berbeda dengan di tivi yang kayaknya serba gratis dan yang hadir bisa sembuh di tempat tanpa keluar jièn sepeser pun, “Eh begitu gue ke tempat prakteknya, langsung gue dimintai duit. Berapa coba? Enam jeti. Sinting. Lebih mahal daripada dokter. Langsung ajalah gue melipir. Pulang.”
Gue mendengar keluhan dan gaya berceritanya yang lucu, cuma ketawa cekakakan. Kasihan. Naif banget temen gue ini.
Sebagai mantan jurnalis media televisi, lalu gue ceritalah bahwa semua acara di tivi itu cuma setingan. Gak ada yang spontanitas. Apalagi tayang setiap hari.
Tapi kan gak semua penonton pinter dan percaya acara di tivi setingan. Orang yang diseting jahat, ya mereka percaya emang beneran itu orang jahat. Orang yang diseting baik, murah hati, mudah tersentuh, suka menolong, dan dermawan, ya mereka percaya dia itu orang baik.
Bapak tua berambut putih yang mengintili Wong Tajir baik hati dan suka bagi-bagi duit itu, adalah salah satu contoh orang naif yang gak ngerti soal setingan. Kayak temen gue.
Barulah setelah diomelin dengan kasar bahwa kalau mau duit itu kerja, bukan minta-minta, dia terperangah. Apalagi di depan matanya Wong Tajir pamer bagi-bagi duit sambil bilang, “Kalo mau duit tuh kayak gini. Kerja.”
Padahal awalnya dia berharap buku dagangannya dibeli walau gak dibutuhkan Wong. Mungkin dia lagi butuh duit. Apa jualan buku keliling gak termasuk kerja?
Seperti temen gue yang kecewa sama ustad sang penyembuh, si pak tua ini akhirnya juga kecewa dengan Wong Tajir sang dermawan.
Bapak gue pernah bilang lewat nasehat sederhana, “Jika agama mengajarkan ketika tangan kanan memberi jangan sampai tangan kiri tahu, itu artinya cuma Tuhan dan orang yang diberi yang tahu kamu orang baik.”
Kalau semua orang tahu dia orang baik, biasanya bukan orang baik.
Bahasa Jawa ngawurnya, Yen kabeh wong ngerti yen dheweke iku wong sing apikan, biasane dudu wong sing apikan.
Alias Wong Gemblung.