Jumat legi 19 February 2021
Oleh : Dahlan Iskan
PADA balapan vaksin dunia ini, Indonesia bisa menyalip di tikungan. Bisa seperti pembalap Michael Schumacher atau Valentino Rossi dulu.
Pembalap kita adalah: dokter cum jenderal Terawan Putranto.
Johnson & Johnson menyalip Pfizer dan AstraZeneca, dengan penemuannya: cukup satu kali suntik. Pfizer sendiri menyalip Tiongkok-Sinovac dalam hal afikasi yang lebih tinggi: 95 persen.
Kini Vaksin Nusantara-nya dokter Terawan akan menyalip di banyak tikungan sekaligus.
Mulai bulan Mei nanti. Tidak lama lagi.
Kalau, BPOM bisa mengeluarkan izin pemakaian darurat di bulan itu.
Uji coba pendahuluan sudah diselesaikan. Aman.
Uji coba tahap I sudah pula selesai. Hasilnya sudah dilaporkan ke BPOM. Juga sudah dilaporkan ke badan kesehatan dunia WHO.
Dari uji coba tahap I itu terlihat tidak satu pun relawan yang terkena efek samping. Berarti vaksin ini aman.
Minggu ini diharapkan badan obat dan makanan Indonesia itu mengizinkan dilakukannya uji coba lanjutan: uji coba tahap II. Dengan jumlah dan variasi relawan lebih banyak. Dengan variasi dosis lebih luas.
Pun kalau sukses, BPOM akan mengizinkan lagi segera dilakukan uji coba tahap II. Dengan demikian izin pemakaian darurat bisa didapat awal Mei 2021.
Bukan main kebanggaan nasional kalau itu terwujud.
Kalau semua tahapan sisa itu lancar maka Indonesia benar-benar akan bisa menyalip di tikungan. Sekaligus di banyak kelokan.
Pertama, Vaksin Nusantara ini akan bisa di tubuh kita seumur hidup. Tidak seperti vaksin yang sudah ada: hanya bertahan 1 tahun. Ada yang bilang hanya 9 bulan. Bahkan lebih pendek lagi.
Artinya, kalau pandemi tidak selesai 6 atau 9 bulan lagi kita harus vaksinasi lagi.
Kedua, suntiknya hanya sekali –pun tidak sakit. Lokasi penyuntikan tetap di lengan tapi tidak perlu dalam. Cukup mencapai bagian lemak. Karena itu arah jarum suntiknya tidak harus tegak lurus. Tidak seperti suntik vaksin yang ada selama ini: jarumnya harus mencapai otot lengan. Harus dalam. Posisi jarum pun harus tegak-lurus. Rasa sakit dari suntik vaksinasi yang ada sekarang ini timbul akibat teknik penyuntikan yang harus seperti itu.
Ketiga, tidak perlu disimpan di suhu dingin. Cukup di ruangan biasa. Puskesmas yang kulkasnya sudah penuh pun tidak harus beli kulkas baru. Pun kalau listrik mati. Tidak membuat Vaksin Nusantara sampai rusak. Berarti cocok sekali dengan kondisi Indonesia.
Indonesia benar-benar tiba-tiba unggul.
“Kan ini teknologi Amerika. Mengapa disebut Vaksin Nusantara?” tanya saya.
“Karena di Amerika sendiri belum dikembangkan. Pengembangan pertamanya dilakukan di Indonesia. Dengan peralatan sepenuhnya buatan Indonesia,” ujar Haryono Winarta.
Saya kenal Haryono itu. Saya selalu memanggilnya Ming. Nama Tionghoanya memang
Liu Ming Ming. Arek Suroboyo asli. Ming-lah yang mendampingi dokter Terawan. Mertua Ming memang punya pabrik obat besar di Surabaya. Yang selama ini juga memproduksi obat-obat resep dokter untuk pasien Covid-19.
Ming lulusan SD YPPI Kapasari, Surabaya. Lalu disekolahkan ke Singapura.
Ayahnya adalah kontraktor drilling minyak mentah. Maka Ming bisa langsung meneruskan kuliah di Amerika. Ia ambil ekonomi dan marketing. Sampai S-3 (PhD). Teman-teman sekolahnya di Amerika, kita sudah kenal semua: Erick Thohir, Sandiaga Uno, Moh Luthfi, dan Rosan Roeslani Semua sedang jadi menteri –mungkin Rosan menyusul entah jadi apa.
Jaringan Amerikanya itulah yang membuat Ming bisa dipercaya mengembangkan vaksin itu di Indonesia.
Amerika juga sangat percaya dengan kemampuan dokter Terawan. Apalagi Terawan sendiri yang memimpin tim Vaksin Nusantara ini.
Selama ini kita mengenal dokter Terawan dengan terobosannya. Terutama yang ia lakukan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Yang sangat terkenal adalah di bidang ”brain wash”. Yang saya pernah menjalaninya dua kali –yang kedua bersama istri. Setelah itu Terawan memperkenalkan fasilitas baru lagi di Gatot Subroto: cure cell. Dari Jerman.
Ketika Dokter Terawan menjadi menteri kesehatan, tentu ia menginginkan Indonesia bisa ikut bersaing di bidang vaksin. Apalagi di dunia ini baru ada enam negara yang mampu bikin vaksin. Indonesia tentu bangga kalau bisa menjadi negara yang ketujuh.
Maka semua proses perizinan awal Vaksin Nusantara ini sudah selesai di zaman ia jadi menteri kesehatan.
Kalau Vaksin Nusantara bisa menjadi kenyataan saya pun berani bilang: Terawan memang hanya sebentar menjadi menteri kesehatan tapi jejak yang ditinggalkannya sangat panjang dan dalam. Bagi bangsa ini.
Tentu ada nama lain yang harus disebut: Prof Dr Taruna Ikrar. Beliau orang Indonesia. Tapi menjadi dosen di University of California Irvine. Kampusnya sekitar 1,5 jam dari San Francisco ke arah Sacramento.
Aslinya Prof Ikrar dari Makassar. Masih kerabat dengan Kapolda Metro Jaya sekarang: Moh Fadil Imran. Setelah menjadi dokter dari Universitas Indonesia Ikrar pernah bertugas di Puskesmas Jakarta Selatan. Juga di beberapa daerah lainnya. Lalu ke Amerika Serikat.
Ketika Dokter Terawan menjadi menteri kesehatan, Prof Ikrar diangkat menjadi Ketua Konsil Kedokteran Indonesia. Itulah badan yang sangat menentukan dalam meregistrasi dokter. Baik lulusan dalam maupun luar negeri. Lalu memperbarui registrasi itu tiap lima tahun.
Pengembangan Vaksin Nusantara ini bekerja sama dengan Balitbang Kemenkes. Semua penelitian dan uji cobanya dilakukan di RSUD dr Kariyadi Semarang. Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Secara keilmuan, Undip akan punya sejarah baru. Nama Undip akan membumbung. Delapan ahli vaksin dari Amerika sekarang berada di Semarang. Bersama ahli dari Undip membidani Vaksin Nusantara ini. Peneliti utama Undip, seperti dr Djoko Wibisono, dr Muhammad Karyana, dan Dr Muchlis Achsan Udji Sofro tergabung dalam tim ini.
Semua relawan uji coba tahap I Vaksin Nusantara ini berasal dari masyarakat sekitar RS Kariyadi Semarang. Termasuk satpam dan tukang parkir rumah sakit. Mereka diambil dari 126 orang yang lolos seleksi kesehatan.
Ming sendiri sudah menjalani suntik Vaksin Nusantara ini. Demikian juga istri dan dua anaknya –yang kebetulan lagi libur dari sekolah mereka di Amerika.
“Sudah berapa lama disuntik Vaksin Nusantara?” tanya saya.
“Sudah lebih dua bulan. Awal Desember lalu,” kata Ming.
Saya lihat Ming segar sekali. Apalagi orangnya tinggi dan ganteng.
“Saya sengaja minta divaksin lebih dulu. Kalau ada risiko saya harus merasakan,” ujar Ming.
Untuk uji coba tahap II nanti dokter Terawan sendiri akan menjadi relawan. Demikian juga beberapa pengusaha terkemuka. Termasuk Tomy Winata. Saya dan istri juga minta dimasukkan daftar itu.
Saya ikut berharap bulan Mei depan Vaksin Nusantara sudah bisa dipakai secara darurat. Inilah jasa dokter Terawan dan Universitas Diponegoro yang sangat besar –mungkin terbesar– dalam ikut mengatasi persoalan nasional yang begini berat.
“Kenapa penemu Amerika itu mau menjadikan vaksin ini sebagai Vaksin Nusantara?” tanya saya. (Bersambung besok-Dahlan Iskan)