Seide.id -Baru-baru ini Kementerian Kesehatan bertindak menertibkan tayangan pengobatan alternatif yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu di media massa. Belum beredar pula tawaran terapi alternatif herbal yang bisa dibuat sendiri, mengklaim bisa menyembuhkan segala penyakit. Saya katakan, jangan lekas memercayainya. Kita perlu cerdas untuk tetap skeptis, tidak mudah menerimanya.
Kalau sekadar herbal, dan itu aman dikonsumsi, mungkin tidak merisaukan. Tapi kalau sampai merusak ginjal, hati, atau darah, apakah tidak merugikan masyarakat. Kasus ginjal rusak akibat mengonsumsi herbal Tiongkok (Obat Cina), sudah terbukti ada. Antara lain sebab kandungan wild ginger (jahe liar) yang nephrotoxic. Sekitar 7 tahun lalu banyak negara menolak herbal impor Mahwang, misalnya, karena tidak aman.
Tidak karena alasan dari alam, maka otomatis dianggap aman. Kita mengenal jamur beracun, ikan beracun, dan kita paham, bahan kasar (raw material) dari alam selain mungkin benar ada khasiatnya, juga ada bahan beracunnya yang perlu disingkirkan lewat proses mengubah bahan alam herbal menjadi obat (phytopharmaca). Perlu dibuat saripatinya zat berkhasiatnya. Dan untuk itu perlu ongkos besar. Awalnya jamu, lalu bahan berkhasiat terukur, dan naik kelas lagi baru menjadi phytopharmaca.
Dunia kedokteran bukan tidak menerima pengobatan alternatif. WHO mengelompokkan terapi alternatif yang masuk nalar medis sebagai complementary alternative medicine (CAM). Namun tidak serta merta semua yang alternatif bisa diterima dunia medis. Akunpunktur, akupresur, chiropractic, homeopathy, antara lain bisa diterima akal medis.
Makin suatu bahan berkhasiat atau cara pengobatan mengklaim bisa menyembuhkan penyakit apa saja, makin besar bohongnya.
Tidak mungkin satu bahan berkhasiat atau cara penyembuhan bisa untuk segala penyakit. Bukan karena suatu bahan alam mengandung antioksidan, misalnya, maka diklaim bisa menyembuhkan kanker karena pencetus kanker antara lain kekurangan antioksidan. Bukan hanya karena biji, buah, atau daun, atau akar mengandung zat antidiabetik, maka langsung diterima bisa menyembuhkan diabetik. Perlu proses panjang untuk naik kelas sebagai obat. Uji khasiat, uji binatang, uji manusia, uji klinis, berapa dosis terapetik, amankah bagi tubuh.
Contoh vitamin C. Jeruk buah yang kaya akan vitamin C. Tidak boleh mengklaim semua kasus kekurangan vitamin C bisa disembuhkan hanya dengan mengonsumsi jeruk. Satu jeruk berapa saja dosis vitamin C-nya belum tentu memadai untuk mencukupi kebutuhan vitamin C tubuh. Perlu beberapa buah jeruk untuk memenuhi kebutuhan vitamin C tubuh, sebagaimana juga perlu beberapa siung bawang putih untuk mendapatkan khasiat terapeutik.
Ikan gabus benar mengandung albumin tinggi. Albumin dibutuhkan untuk kasus ginjal yang sudah menurun fungsinya sehingga albumin bocor terbuang. Tapi tidak berarti semua kasus penyakit ginjal bisa diselesaikan dengan mengonsumsi ikan gabus.
Berapa banyak ikan gabus diperlukan untuk memberikan kecukupan albumin yang bocor pada kasus gagal ginjal, dan penyakit ginjal bukan cuma satu. Yang beredar di media massa, semua kasus ginjal diklaim bisa diselesaikan dengan makan ikan gabus. Ada pula daun, atau bahan alam yang diklaim membersihkan ginjal, yang di mata medis tidak masuk akal.
Bagi masyarakat awam, jangan lekas percaya. Kalaupun mau mengonsumsinya jangan berharap kesembuhan. Minum jamu untuk meningkatkan kesehatan, selama jamu bersifat aman.
Jangan sekali-kali memilih cara penyembuhan alternatif yang bersifat invasif, cara-cara yang memasukkan sesuatu ke dalam tubuh, termasuk bahan yang bersifat racun. Kalau hanya cara memijat, senam, atau cara lain, kendati pun tidak benar tidak lebih berbahaya daripada memasukkan sesuatu entah apa ke dalam tubuh.
Sayangnya, di negeri kita, pihak yang bukan punya latar belakang medis, bisa leluasa merdeka sebagai penyembuh atau penganjur pengobatan. Kalau tidak sampai merugikan kesehatan masyarakat yang memercayainya, masih mending, tapi korban hingga masuk ICU, dan meninggal karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis, kasus yang tidak tercatat.
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul