Ajarkan anak-anak nama ilmiah dari bagian tubuhnya, termasuk organ reproduksi senini mungkin, dengan penekanan tak ada bagian tubuhmu yang harus disembunyikan karena organ itu memalukan.
Trigger Warning : memuat kasus kekerasan seksual pada anak
Kami dibujuk melalui kata-kata halusnya, ia menceritakan sebuah kisah pilu yang membuat kami bersimpati, ia seolah akan menangis dan akhirnya memeluk kami. ~ anonim-16 tahun, santriwati di Jawa Timur.
Sebuah foto pakaian Islami korban kekerasan seksual yang didominasi warna putih dipamerkan pada event Pangarsa-arsa Paramarta Art Exhibition di Yogyakarta awal Mei ini.
Kutipan dan foto itu masuk dalam ruang percakapan tim media komunitas kami. Lalu diikuti link kumparan tentang kekerasan seksual oleh aktivis agama kepada duapuluh korban yang masih berusia anak.
Menyimak dua hal itu saja sudah membuat geram. Ditambah lagi, ada pendapat bahwa rehabilitasi bagi pelaku adalah solusinya.
Sederhananya, rehabilitasi kepada pelaku pelecehan berulang, apalagi terencana dan menggunakan relasi kuasa dengan hasil korban terluka fisik dan mental, tidaklah tepat. Karena bisa kita katakan kasus itu sudah ermasuk dalam tindakan kriminal.
Sambil menahan geram akan lalu lalang kasus itu, di hadapan saya seorang ibu sedang mengganti pakaian anak perempuannya yang berusia SD, di pinggir kolam renang tanpa berupaya melakukannya di dalam ruangan. Seketika otak saya menemukan relasi berita yang saya terima dengan kejadian di depan mata.
TERNYATA KITA TIDAK AWAS UNTUK MELINDUNGI ANAK-ANAK KITA AKAN OTORITAS TUBUH MEREKA SENDIRI.
Tindakan mengganti pakaian anak di area publik bukan pertama kali saya lihat. Seorang Bapak malah saya temukan sedang mengganti pakaian anak perempuannya sehabis berenang di pantai Selatan Bali. Mereka begitu santai, padahal ada begitu banyak pasang mata melihat. Sementara si anak sudah mulai menunjukkan perubahan tubuh sejatinya perempuan.
Saya berasumsi, mungkin hal itu akan sontak menjadi perhatian, bila fakta ini terungkap. Demikian banyak tagar pencarian para pemburu video porno dengan pemeran usia anak atau pra remaja sehari-hari di twitter. Lalu bertebaran komentar seksis di postingan yang ada anak-anak, baik reels maupun tiktok, atau YouTube Short. Beberapa akun mengatakan, “kalau gitu saya mau jadi guru olahraganya, kecil-kecil tet*knya gede”, atau “Duh, kutungguin gedean dikit, enak nih dijadiin pacar”
Apakah hal tersebut akan lebih menggugah kepedulian orang tua? Pasti tudingan kepada media sosial segera dituduhkan. Memberi efek buruk, menayangkan pornografi, anak jadi peniru ulung.
Namun, bila dikembalikan kepada orang tua, sudahkah mengatur setting parental control pada aplikasi hp yang mereka sukai. Terlebih lagi, sudahkah membicarakan sungguh-sungguh tentang pubertas, perubahan tubuh, kesehatan reproduksi termasuk bersikap asertif.
Bila belum juga, renungkanlah hal ini. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022, mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Sebuah kondisi yang menunjukkan GAWAT pada kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Tentang Kekerasan Seksual
WHO (2017) mendeskripsikan kekerasan seksual dapat berupa
a. Serangan seksual berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata)
b. Sodomi, kopulasi oral paksa,
c. Serangan seksual dengan benda,
d. dan sentuhan atau ciuman paksa.
Sementara Kemdikbud.go.id mendeskripsikan kekerasan seksual sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang; yang diasumsikan timbul karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.
Kasus pertama dan kedua yang saya kutip infonya di atas, jelas menunjukkan ada relasi kuasa di situ. Antara (pelaku) yang dihormati karena kedudukannya serta ketaatannya terhadap apa yang mereka yakini, dengan (korban) yang merasa berkewajiban menghormati pelaku.
Prihatin dan miris, jelas! Lalu bagaimana? Di twitter sampai ada kata-kata yang seringkali dijadikan cuitan bila ada kasus. “KEPADA SIAPA LAGI KITA HARUS PERCAYA?”
Ditunjang dengan fakta yang diungkap KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa maraknya kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang terdekat. Seperti, ayah anak, ibu, keluarga atau wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak.
Bertanggung jawab atas didik asuh memiliki keterkaitan akan relasi kuasa. Belum lagi reaksi orang tua umumnya ketika muncul pertanyaan anak semisal bayi datang dari mana, atau mengapa perempuan menstruasi, mengapa ibu bisa hamil? Sebisa mungkin orang tua menghindarinya, menepis dengan: hush, jangan tanya. Hal itu nggak usah diomongin, saru, nggak sopan, anak kecil nggak boleh tahu.
Pengalaman saya sebagai fasilitator kesehatan reproduksi di awal tahun 2000-an, topik tentang hamil menjadi salah satu yang TABU dan sulit untuk diobrolkan fasilitator yang dalam hal ini guru. Tak pernah saya paham mengapa demikian, padahal kita pun terlahir di dunia berasal dari proses kehamilan.
Melihat kondisi seperti itu, bukankah dengan menyatakan TABU, tak menghalangi anak dan remaja mengaksesnya di internet?
Sesungguhnya bila tidak menabukan, orang tua bisa mengakses informasi yang siap ajar di internet perihal bagaimana kesadaran otoritas tubuh dan informasi tentang kesehatan reproduksi. Apalagi mengingat orang tua saat ini yang memiliki anak usia anak-anak dan pra remaja adalah di kisaran usia 35 tahun ke atas, yang jelas bukan generasi baby boomer yang lebih gagap teknologi.
Jadi, bukan alasan tak ada informasi yang cukup. Melainkan masih minimnya kehendak dan keberanian yang cukup untuk mendiskusikan dan mengajarkannya.
Bekal Kesadaran Otoritas Tubuh
Lalu, bagaimana agar kita bisa membekali anak-anak dengan maraknya kasus kekerasan seksual?
Dr. Nienow, direktur klinik medis di The Chadwick Center for Children & Families at Rady Children’s merumuskan sejumlah tips untuk orang tua atau keluarga dalam hal otoritas tubuh. Sebuah konsep bahwa tubuh anak sepenuhnya milik anak, bukan orang tuanya, apalagi orang lain.
Tips ini diterjemahkan bebas dan sudah disesuaikan dengan situasi kondisi di Indonesia.
1. Ajarkan anak nama ilmiah dari bagian tubuhnya, termasuk organ reproduksi sedini mungkin dengan penekanan tak ada bagian tubuhmu yang harus disembunyikan karena organ itu memalukan.
– Penis, vagina, payudara adalah organ reproduksi seperti halnya hidung, lutut, ibu jari. TAK PERLU MEMBERI NAMA KHUSUS atau LELUCON kepada mereka.
Penis dan vagina berguna untuk saluran pembuangan cairan, juga merupakan organ yang digunakan untuk nantinya membuahkan anak. Payudara digunakan untuk menyusui bayi, bukan cuma hiasan atau obyek khayalan pornografi, jadi bukan organ yang memalukan untuk dimiliki.
– Anak-anak yang mampu membahasakan organ reproduksi dan tidak merasa malu memilikinya lebih BERANI untuk memberitahu bila ada yang terjadi pada organ tersebut. Termasuk pertama kali mengalami menstruasi atau ada orang yang sengaja maupun tidak menyentuhnya sembarangan.
– Pembahasan secara ilmiah itu juga membuat orang dewasa bisa lebih merespons dengan tepat semisal ada insiden. Contoh, anak perempuan yang mengatakan ‘kue ape*mku ada merah-merahnya’ , tak terlalu diwaspadai dibanding anak perempuan yang melapor ‘vaginaku ada merah-merahnya’
2. Mengajarkan anak untuk berani mengatakan TIDAK kepada orang dewasa atas tindakan mereka yang seolah menunjukkan keinginan bersahabat, tetapi tidak membuat nyaman. Alih-alih memberi peluang orang dewasa untuk memeluk atau mencium, ajarkan anak untuk segera menyodorkan tangan untuk berjabatan tangan, ‘tosss’ atau menumbukkan kepalan.
3. Ajarkan juga kepada anak, hal itu berlaku kepada anak lain, sebaya sekalipun. Tanyakan dulu, ‘boleh tidak aku memelukmu untuk mengucapkan selamat?’ misalnya.
4. Latihlah anak untuk membedakan mana sentuhan yang boleh dan tidak. Jelaskan nyaman atau tidak itu seperti apa, termasuk siapa saja yang boleh bersikap demikian kepada mereka.
5. Obrolkan dengan anak, hal apa saja yang boleh menjadi rahasia, dalam arti tidak berbahaya. Contoh : merahasiakan kejutan ulang tahun untuk Ibu mereka. Namun, tidak merahasiakan semisal mereka dipukul seseorang, atau ada yang menyentuh anggota tubuh mereka dengan tidak pantas.
6. Mengajarkan anak bahwa tindakan pelecehan yang terjadi BUKAN kesalahan mereka. Meski ada tendensi pelaku akan mencekoki mereka dengan, ‘pakai baju ini kamu jadi kelihatan genit, jadi wajar kamu dipegang-pegang’ Atau, ‘kamu nakal, jadi musti dihukum kayak gini’
Respons pertama ketika mengetahui kemungkinan anak dilecehkan adalah PERCAYA dan BERSEDIA MENDENGAR secara obyektif, tanpa ikut menyalah-nyalahkan anak mengapa hal itu terjadi.
7. Obrolkan dengan anak siapa saja orang dewasa yang bisa dilaporkan ketika ada kejadian. Intinya adalah yang mereka percayai, meski belum tentu orang tua. Bisa saja guru, nenek kakek, pengasuh dan lain sebagainya. Doronglah agar mereka mau segera mencari orang dewasa untuk melaporkan hal tersebut, agar segera dapat ditindaklanjuti.
Sungguh pekerjaan rumah sebagai orang tua masa kini demikian banyaknya. Namun, saya, kita, Anda, BISA mengambil bagian dalam mencegah kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimulai dari keberanian dan kemauan untuk berusaha MENGAJARKANNYA dari rumah masing-masing.
*Trigger Warning : memuat kasus kekerasan seksual pada anak
Kami dibujuk melalui kata-kata halusnya, ia menceritakan sebuah kisah pilu yang membuat kami bersimpati, ia seolah akan menangis dan akhirnya memeluk kami. ~ anonim-16 tahun, santriwati di Jawa Timur.
Sebuah foto pakaian Islami korban kekerasan seksual yang didominasi warna putih dipamerkan pada event Pangarsa-arsa Paramarta Art Exhibition di Yogyakarta awal Mei ini.
Kutipan dan foto itu masuk dalam ruang percakapan tim media komunitas kami. Lalu diikuti link kumparan tentang kekerasan seksual oleh aktivis agama kepada duapuluh korban yang masih berusia anak.
Menyimak dua hal itu saja sudah membuat geram. Ditambah lagi, ada pendapat bahwa rehabilitasi bagi pelaku adalah solusinya.
Sederhananya, rehabilitasi kepada pelaku pelecehan berulang, apalagi terencana dan menggunakan relasi kuasa dengan hasil korban terluka fisik dan mental, tidaklah tepat. Karena bisa kita katakan kasus itu sudah ermasuk dalam tindakan kriminal.
Sambil menahan geram akan lalu lalang kasus itu, di hadapan saya seorang ibu sedang mengganti pakaian anak perempuannya yang berusia SD, di pinggir kolam renang tanpa berupaya melakukannya di dalam ruangan. Seketika otak saya menemukan relasi berita yang saya terima dengan kejadian di depan mata.
TERNYATA KITA TIDAK AWAS UNTUK MELINDUNGI ANAK-ANAK KITA AKAN OTORITAS TUBUH MEREKA SENDIRI.
Tindakan mengganti pakaian anak di area publik bukan pertama kali saya lihat. Seorang Bapak malah saya temukan sedang mengganti pakaian anak perempuannya sehabis berenang di pantai Selatan Bali. Mereka begitu santai, padahal ada begitu banyak pasang mata melihat. Sementara si anak sudah mulai menunjukkan perubahan tubuh sejatinya perempuan.
Saya berasumsi, mungkin hal itu akan sontak menjadi perhatian, bila fakta ini terungkap. Demikian banyak tagar pencarian para pemburu video porno dengan pemeran usia anak atau pra remaja sehari-hari di twitter. Lalu bertebaran komentar seksis di postingan yang ada anak-anak, baik reels maupun tiktok, atau YouTube Short. Beberapa akun mengatakan, “kalau gitu saya mau jadi guru olahraganya, kecil-kecil tet*knya gede”, atau “Duh, kutungguin gedean dikit, enak nih dijadiin pacar”
Apakah hal tersebut akan lebih menggugah kepedulian orang tua? Pasti tudingan kepada media sosial segera dituduhkan. Memberi efek buruk, menayangkan pornografi, anak jadi peniru ulung.
Namun, bila dikembalikan kepada orang tua, sudahkah mengatur setting parental control pada aplikasi hp yang mereka sukai. Terlebih lagi, sudahkah membicarakan sungguh-sungguh tentang pubertas, perubahan tubuh, kesehatan reproduksi termasuk bersikap asertif.
Bila belum juga, renungkanlah hal ini. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022, mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Sebuah kondisi yang menunjukkan GAWAT pada kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Tentang Kekerasan Seksual
WHO (2017) mendeskripsikan kekerasan seksual dapat berupa
a. Serangan seksual berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata)
b. Sodomi, kopulasi oral paksa,
c. Serangan seksual dengan benda,
d. dan sentuhan atau ciuman paksa.
Sementara Kemdikbud.go.id mendeskripsikan kekerasan seksual sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang; yang diasumsikan timbul karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.
Kasus pertama dan kedua yang saya kutip infonya di atas, jelas menunjukkan ada relasi kuasa di situ. Antara (pelaku) yang dihormati karena kedudukannya serta ketaatannya terhadap apa yang mereka yakini, dengan (korban) yang merasa berkewajiban menghormati pelaku.
Prihatin dan miris, jelas! Lalu bagaimana? Di twitter sampai ada kata-kata yang seringkali dijadikan cuitan bila ada kasus. “KEPADA SIAPA LAGI KITA HARUS PERCAYA?”
Ditunjang dengan fakta yang diungkap KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bahwa maraknya kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang terdekat. Seperti, ayah anak, ibu, keluarga atau wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak.
Bertanggung jawab atas didik asuh memiliki keterkaitan akan relasi kuasa. Belum lagi reaksi orang tua umumnya ketika muncul pertanyaan anak semisal bayi datang dari mana, atau mengapa perempuan menstruasi, mengapa ibu bisa hamil? Sebisa mungkin orang tua menghindarinya, menepis dengan: hush, jangan tanya. Hal itu nggak usah diomongin, saru, nggak sopan, anak kecil nggak boleh tahu.
Pengalaman saya sebagai fasilitator kesehatan reproduksi di awal tahun 2000-an, topik tentang hamil menjadi salah satu yang TABU dan sulit untuk diobrolkan fasilitator yang dalam hal ini guru. Tak pernah saya paham mengapa demikian, padahal kita pun terlahir di dunia berasal dari proses kehamilan.
Melihat kondisi seperti itu, bukankah dengan menyatakan TABU, tak menghalangi anak dan remaja mengaksesnya di internet?
Sesungguhnya bila tidak menabukan, orang tua bisa mengakses informasi yang siap ajar di internet perihal bagaimana kesadaran otoritas tubuh dan informasi tentang kesehatan reproduksi. Apalagi mengingat orang tua saat ini yang memiliki anak usia anak-anak dan pra remaja adalah di kisaran usia 35 tahun ke atas, yang jelas bukan generasi baby boomer yang lebih gagap teknologi.
Jadi, bukan alasan tak ada informasi yang cukup. Melainkan masih minimnya kehendak dan keberanian yang cukup untuk mendiskusikan dan mengajarkannya.
Bekal Kesadaran Otoritas Tubuh
Lalu, bagaimana agar kita bisa membekali anak-anak dengan maraknya kasus kekerasan seksual?
Dr. Nienow, direktur klinik medis di The Chadwick Center for Children & Families at Rady Children’s merumuskan sejumlah tips untuk orang tua atau keluarga dalam hal otoritas tubuh. Sebuah konsep bahwa tubuh anak sepenuhnya milik anak, bukan orang tuanya, apalagi orang lain.
Tips ini diterjemahkan bebas dan sudah disesuaikan dengan situasi kondisi di Indonesia.
1. Ajarkan anak nama ilmiah dari bagian tubuhnya, termasuk organ reproduksi sedini mungkin dengan penekanan tak ada bagian tubuhmu yang harus disembunyikan karena organ itu memalukan.
– Penis, vagina, payudara adalah organ reproduksi seperti halnya hidung, lutut, ibu jari. TAK PERLU MEMBERI NAMA KHUSUS atau LELUCON kepada mereka.
Penis dan vagina berguna untuk saluran pembuangan cairan, juga merupakan organ yang digunakan untuk nantinya membuahkan anak. Payudara digunakan untuk menyusui bayi, bukan cuma hiasan atau obyek khayalan pornografi, jadi bukan organ yang memalukan untuk dimiliki.
– Anak-anak yang mampu membahasakan organ reproduksi dan tidak merasa malu memilikinya lebih BERANI untuk memberitahu bila ada yang terjadi pada organ tersebut. Termasuk pertama kali mengalami menstruasi atau ada orang yang sengaja maupun tidak menyentuhnya sembarangan.
– Pembahasan secara ilmiah itu juga membuat orang dewasa bisa lebih merespons dengan tepat semisal ada insiden. Contoh, anak perempuan yang mengatakan ‘kue ape*mku ada merah-merahnya’ , tak terlalu diwaspadai dibanding anak perempuan yang melapor ‘vaginaku ada merah-merahnya’
2. Mengajarkan anak untuk berani mengatakan TIDAK kepada orang dewasa atas tindakan mereka yang seolah menunjukkan keinginan bersahabat, tetapi tidak membuat nyaman. Alih-alih memberi peluang orang dewasa untuk memeluk atau mencium, ajarkan anak untuk segera menyodorkan tangan untuk berjabatan tangan, ‘tosss’ atau menumbukkan kepalan.
3. Ajarkan juga kepada anak, hal itu berlaku kepada anak lain, sebaya sekalipun. Tanyakan dulu, ‘boleh tidak aku memelukmu untuk mengucapkan selamat?’ misalnya.
4. Latihlah anak untuk membedakan mana sentuhan yang boleh dan tidak. Jelaskan nyaman atau tidak itu seperti apa, termasuk siapa saja yang boleh bersikap demikian kepada mereka.
5. Obrolkan dengan anak, hal apa saja yang boleh menjadi rahasia, dalam arti tidak berbahaya. Contoh : merahasiakan kejutan ulang tahun untuk Ibu mereka. Namun, tidak merahasiakan semisal mereka dipukul seseorang, atau ada yang menyentuh anggota tubuh mereka dengan tidak pantas.
6. Mengajarkan anak bahwa tindakan pelecehan yang terjadi BUKAN kesalahan mereka. Meski ada tendensi pelaku akan mencekoki mereka dengan, ‘pakai baju ini kamu jadi kelihatan genit, jadi wajar kamu dipegang-pegang’ Atau, ‘kamu nakal, jadi musti dihukum kayak gini’
Respons pertama ketika mengetahui kemungkinan anak dilecehkan adalah PERCAYA dan BERSEDIA MENDENGAR secara obyektif, tanpa ikut menyalah-nyalahkan anak mengapa hal itu terjadi.
7. Obrolkan dengan anak siapa saja orang dewasa yang bisa dilaporkan ketika ada kejadian. Intinya adalah yang mereka percayai, meski belum tentu orang tua. Bisa saja guru, nenek kakek, pengasuh dan lain sebagainya. Doronglah agar mereka mau segera mencari orang dewasa untuk melaporkan hal tersebut, agar segera dapat ditindaklanjuti.
Sungguh pekerjaan rumah sebagai orang tua masa kini demikian banyaknya. Namun, saya, kita, Anda, BISA mengambil bagian dalam mencegah kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimulai dari keberanian dan kemauan untuk berusaha MENGAJARKANNYA dari rumah masing-masing.
CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain