“Bapak seorang motivator?”
Pertanyaan itu nongol di laman. Nyong terperangah.
Motivator? Sesaat kata itu mampu menyihir Nyong. Keren, gagah, & wow!
Anehnya, jiwa Nyong bukan mengembang, karena bangga, sebaliknya malah langsung menciut. Nyong menutup wajah. Serem. Ngeri.
Bagaimana tidak. Nyong ini tidak lebih orang kampung, bukan pebisnis sukses, juga bukan kaum intelek.
Motivator, emang siapa yang Nyong motivasi?
“Bukan!” jawab Nyong, selang sehari kemudian.
“Kenapa gunakan #motivasi?”
“Apakah salah?”
“Tidak juga. Hanya kurang tepat. Sekiranya Anda sebagai seorang motivator, tulisannya tidak sedangkal itu. Orang yang berani memberi #motivasi tentu tulisannya greget dan hebat. Dijamin banyak pengikutnya. Sebaliknya bagaimana dengan Anda?”
“Oh, maaf! Nyong tidak pernah merasa hebat. Juga bukan tokoh partai, selebriti, atau orang ngetop lainnya. Lagi pula Nyong ini paling malas diikuti orang, jadi ga bebas.”
“Maaf tag-nya kudu diganti.”
“Apa hak Anda melarang? Apa Anda yang punya FB atau badan sensornya? Atau Anda takut tersaingi? Padahal, jujur saja, Nyong ga mau nyaingi siapapun. Nyong ini kuli. Sekali lagi, kuli. Nyong nulis untuk pribadi. Mewarnai hati. Apakah salah, kalau Nyong menyemangati diri sendiri?!”
“Tidak juga.”
“Kenapa nglarang? Kan Nyong membayar paketan di FB. Sekiranya Anda ini seorang motivator mosok takut tersaingi. Atau Anda sekadar berteori?!”
“Ngelarang tidak, hanya ngingetin. Tulisan Anda sulit dicerna, bahkan kurang menggigit.”
“Terima kasih, Anda mau ngingetin. Namanya juga baru belajar. Ibarat bayi yang belum tumbuh giginya, bagaimana bisa menggigit? Yang jelas, Nyong nulis itu tak lebih untuk diri sendiri. Jangan menilai rendah orang lain. Malu, ah!”
“Maaf! Berapa banyak pembaca yang memberi jempol & komen.”
“Lho … lho! Anda itu aneh, jika menulis sekadar mencari jempol & komen. Anda bukan badan sensor FB, kok berani menegur, melarang Nyong.
Kalau sekadar mencari jempol dan komen, mending Nyong makan di hotel berbintang, selfi dengan selebriti, atau jalan-jalan ke tempat wisata yang keren, dan seterusnya. Atau, jika perlu Nyong ngutang uang di bank untuk beli ratusan paketan hape untuk komentari tulisan sendiri. Bisa juga pasang iklan di medsos.
Pertanyaan untuk Anda, apakah tujuan Anda posting untuk mencari popularitas?
Nyong tidak begitu. Nyong nulis sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Syukur-syukur bermanfaat untuk orang lain.”
“Pantesan, tulisan Anda cenderung potret kehidupan, sok relijius, bahkan ada kutipan ayat segala….”
“Maaf, Nyong bukan orang relijius, tapi baru belajar untuk menemukan jatidiri agar tidak mudah nuruti kehendak sendiri. Sekiranya ada kutipan ayat yang disamarkan itu agar Nyong tidak dikapirunkan orang. Tahu sendiri, banyak orang mudah diprovokasi. Malas gunakan logika berpikir. Lebih celaka dan berdosa lagi, jika FB didemo karena tulisan Nyong.”
Nyong bergelak. Melucukan dan mentertawakan diri sendiri itu tak salah agar kita belajar berani untuk mawas diri dan rendah hati.
Juga, orang yang muncul di laman kita tak perlu ditanggapi secara responsif. Apalagi yang tendensius, negatifan, dan kontra produktif. Semua itu hanya membuang waktu dan energi.
“Berarti Anda seorang motivator ulung, karena peduli membimbing Nyong yang tengah belajar.”
“Saya malu dengan diri saya sendiri.”
“Lho? Kenapa?”
“Selama ini ternyata saya sibuk dengan diri sendiri. Saya ingin diakui di luaran. Dengan memberi seminar motivasi & nerbitkan puluhan buku, tapi saya melupakan keluarga sendiri. Saya pikir dengan memberi apa yang dibutuhkan keluarga, semua beres, ternyata tidak …
Selama ini saya hanya mengejar pengakuan diri, tapi saya melupakan keluarga ….”
“Oo ….”
Serasa ada yang membetot jiwa Nyong. Pengakuan dunia itu kosong, ketika kita menjauhi & meninggalkan Allah Yang Maha Memberi.
Nyong seperti diingatkan. Kita ini sejatinya kuli kehidupan. Bekerja di ladang Allah.
Kasih itu jalan ikhlas. Berbagi kebaikan itu membosankan, menjemukan, bahkan mampu menimbulkan antipati orang lain. Tapi kebaikan selalu menemukan jodohnya dan beranak pinak di hati insani.
Kita tidak bisa merobah tatanan dunia, tapi dengan rahmat Allah kita mampu perbaiki diri untuk memanusiawikan manusia agar hidup kita berkenan bagi Allah. (MR)