Sudah lama sekali kita sebagai bangsa tidak mendengar kabar gembira. Katakanlah dua tahun, sejak pandemi corona menyergap dunia, dan dengan cepat membekap Indonesia.
Sejak pandemi diketahui masuk ke Indonesia — ditandai dengan adanya dua perempuan , ibu dan anak terpapar di Depok — sejak itu, berbagai hal yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat umum, mulai menjadi aturan yang tidak bisa ditawar di banyak tempat. 3 M! Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Belakangan M yang cuma tiga itu ditambah lagi menjadi 5 M, yaitu Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Aturan 3 M sudah diberlakukan di tempat-tempat penting dan sarana transportasi. Orang tidak boleh lagi berada di tempat-tempat tertentu seperti perkantoran dan tempat pelayanan publik, naik kendaraan umum bahkan pribadi di jalan umum, tanpa menggunakan masker.
Tempat-tempat, alat dan sarana transportasi umum, perkantoran hingga rumah makan sudah menerapkan jaga jarak dengan menandai kursi yang tidak boleh diduduki. Ada pula rumah makan, perkantoran atau fasilitas publik lainnya yang menyediakan tempat cuci tangan, dan mewajibkan pengunjung untuk mencuci tangan terlebih dahulu bila ingin masuk.
Di media sosial dan di masjid-masjid atau surau kita jadi lebih sering membaca atau mendengar berita kematian. Tidak jarang yang meninggal dunia itu adalah keluarga, kerabat dekat / jauh atau teman.
Kita seakan tak percaya ketika orang yang kita kenal itu, mungkin memiliki hubungan sedarah dengan kita, pergi begitu cepat.
“Lho seminggu lalu kami masih ngobrol kok. Dia kelihatan baik-baik saja,” kata Si Pulan.
“Kemarin malah masih ngobrol di WA walau pun nafasnya agak tersenggal,” Si Badu menimpali.
Yang jelas banyak cerita, banyak kenangan yang diceritakan tentang si orang yang telah direnggut virus corona itu. Kita jadi semakin biasa mendengar kematian. Tertuduhnya siapa lagi kalau bukan Covid-19.
“Pokoknya kalau meninggal di rumah sakit, apapun penyakitnya akan dianggap Covid!” Si Pulan membuat kesimpulan.
Pemerintah, yang dipercaya oleh separuh rakyat lebih sedikit dalam Pemilu untuk menjadi penggerak negara ini, tak kalah sibuk. Setiap hari keluar angka-angka data Covid-19 yang meliputi jumlah terpapar, berapa yang sembuh, sisanya angka kematian.
Dalam hal penularan Covid-19 ini, kini sudah bermutasi menjadi varian baru yang disebut Varian Delta. Lebih cepat menular, lebih ganas, lebih cepat mencabut nyawa manusia.
Pemerintah, sekali lagi, sudah woro-woro supaya masyarakat lebih waspada, lebih ketat menjaga diri. Penggunaan masker yang dulu cukup satu, kini harus dua. Seperti iklan yakult saja.
Peringatan pemerintah bukan main-main. Data berbicara. Setelah tsunami pandemi covid-19 di India, kini Indonesia menjadi negara dengan penularan virus corona tercepat.
Sayangnya sebagian masyarakat masih terbelah menyikapi pandemi ini. Ada yang percaya, tidak sedikit pula yang tidak percaya. Nah yang tidak percaya ini bisa lebih bahaya dari virus varian delta itu sendiri, karena sering kampanye bahwa pandemi ini cuma ketakutan yang diciptakan, agar negara-negara berkembang terus-terusan seperti Indonesia ini mau mengimpor vaksin buat rakyatnya. Karena vaksin, salah satu obat yang dipercaya dapat mencegah bahaya virus corona.
Kampanye tidak sehat itu menimbulkan efek yang luar biasa, menjangkau sasaran yang luas, karena digemakan melalui media sosial yang ditonton oleh puluhan juta pasang mata di Indonesia.
Baik yang percaya maupun tidak percaya, datang dari berbagai latar belakang, baik usia maupun pendidikan. Kita mungkin heran jika banyak orang berpendidikan tinggi di Indonesia juga tidak percaya adanya pandemi corona. Tetapi sikap tidak percaya itu kadang hanya didasari oleh kepentingan politik.
Orang-orang atau kelompok yang memiliki kepentingan politik selalu berusaha untuk mendegradasi kinerja pemerintah dalam mengatasi pandemi ini. Bagi mereka apapun yang dilakukan pemerintah pasti salah. PSBB salah, PPKM salah, apalagi jika diberlakulan lockdown!
Hari ini kita mendengar ajakan berdemonstrasi untuk menentang Presiden Jokowi. Demonstrasi ini diberinama “Jokowi Endgame“. Penggagas demo ini seolah yakin, bahwa demo yang dilakulan kali ini akan menjatuhkan Jokowi dari kursi presiden yang telah didukinya selama satu setengah periode.
Demi tujuannya menjatuhkan Jokowi, baik penggagas maupun pelaku aksi demo menafikan pandemi yang saat ini masih ganas memakan korban. Mereka tidak peduli bahwa kerumunan yang akan terjadi bila demonstrasi benar-benar berlangsung, akan menjadi klaster baru yang akan menimbulkan efek berantai.
Agenda demonstrasi “Jokowi Endgame” makin membuat perang terhadap pandemi semakin lemah. Kita tidak tahu akan berapa lama lagi pandemi membelit bangsa ini. Harapan semakin tipis, bayangan bertambah kelam.
Beruntung hari ini di ajang angkat besi Olympiade Tokyo, ada puteri Indonesia yang memberikan kabar baik.
Windy Cantika Aisah, lifter muda berusia 19 tahun menjadi orang Indonesia pertama yang meraih medali di Olimpiade Tokyo 2020. Windy mendulang perunggu pada kelas 49 kilogram.
Pada pertandingan di Tokyo International Forum hari ini (24/7), Windy mencatat angkatan total 194 kilogram.
Keberhasilan Windy menjadi oase bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berada di tengah kegersangan.
Kita menunggu prestasi atlit lain, untuk membuktikan Indonesia belum “Endgame“, seperti harapan banyak politisi linglung di negeri ini.