Seide.id – Postingan saya beberapa hari lalu menulis Merawat Akal Sehat Bangsa, mengundang sejumlah komentar. Ada yang fokus pada kasus Will Smith aktor yang memperoleh Oscar, yang sebetulnya saya jadikan contoh pembelajaran saja: Bahwa gara-gara keputusannya menampar MC dalam acara penganugerahan Oscar saya mengangkatnya sebagai keputusan yang rendah kecerdasan emosinya, EQ-nya. Ini point-nya, bukan mempersoalkan berempati atau tidak berempati pada Will Smith.
Bahwa Will Smith tersinggung dan direndahkan harga dirinya, kita sepakat benar adanya. Tapi konteks postingan saya itu, bagaimana hikmah yang bisa dipetik, pembelajaran bagi kita, akibat keputusan itu diambil. Will Smith kena penalti dan sosoknya menurut istilah saya tercoreng.
Kita berandai-andai kalau saja keputusan menampar itu tidak dilakukan, mungkin menundanya tidak dilakukan di podium, di muka publik (dunia), sosok Will Smith tidak akan mengalami sebagaimana yang saya tulis sebagai tercoreng. Ini diungkap sebagaimana Daniel Goleman mengpuas soal EQ dalam bukunya, betapa penting peran dan perlunya emosi dipercerdas.
Bagi yang mendahulukan menjaga status sosial, tentu berpikir tidak melakukannya. Bagi yang perlu mengorbankan status siapa diri kita, berpikir biar saja tercoreng, asal terlampiaskan emosi mempertahankan harga diri. Dan ternyata Will Smith kena penalti 10 tahun tidak mendapat kesempatan nominasi Oscar, pengorbanan yang tidak murah. Harga yang harus dibayar. Seturut kecerdasan emosi, EQ, keputusan ini nilai EQ-nya tidak tinggi. Sudah saya sebut, peran EQ, beberapa kali lipat lebih besar dari peran IQ, juga selain supaya sukses seseogang lancar melaju, dan status diri tidak sampai tercoreng. Dan ini pilihan.
Sekali lagi saya mengangkat makna kebenaran, bahwa Will Smith benar adanya dia merasa tidak nyaman, dan harga dirinya digugah. Kita membaca bahasa orang bijak, tidak semua kebenaran patut diungkapkan. Dalam bahasa Daniel Goleman (Terima kasih saya sudah diingatkan oleh sahabat Simon Sanjaya ihwal bukunya ini), jangan ambil keputusan saat sedang emosi, cerdas mengendalikan emosi. Misal, kalau saja Smith menunda melampiaskannya, dilakukan bukan di muka publik (dunia), akibatnya tidak semerugikan itu. Kecuali Smith menerimanya sebagai sebuah pengorbanan.
Contoh lain sudah saya angkat, ungkapan klise kalau kita direndahkan dalam urusan kerja, “Dia atau saya yang keluar?” dengan nada ancaman. Apabila risikonya kita yang harus keluar, mungkin merugikan diri sendiri, kendala peluang meniti karier, dan kehilangan status, serta pekerjaan. Hanya apabila kita cerdas mengendalikan emosi, akibat itu tidak perlu ada. Point ini yang menjadi konteks postingan saya kemarin tersebut. Maka saya jadikan pembelajaran, ada hikmah yang bisa dipetik.
Ilustrasi yang saya pilih juga terlanjur bikin rancu seolah kita mempermasalahkan makna kebenaran. Tapi maksud saya mengangkat pokok kebenaran adalah bahwa orang yang berakal sehat, ialah orang yang tepat mendudukkan kebenaran.
Bicara soal kebenaran yang saya maksudkan ialah kebenaran yang lebih universal, yakni benar untuk orang banyak, pada setiap waktu, dan di setiap tempat. Kebenaran tentang keindahan, keelokan, dan keindahan sebuah musik dan lagu, dan syair, dan semua kreasi. Selain kebenaran ilahi bagi orang beriman.
Jadi sekali lagi maksud postingan saya itu, bagaimana kita belajar, pembelajaran kita, untuk memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Kita bisa melatihnya. Superego kita dikuatkan. Logika dilibatkan. Secara medis meningkatkan mekanisme agar tidak terjadi pembajakan bagian otak amygdala, sebagai gejala Amygdala Hijack.
Ada bagian otak bernama amygdala yang menjadi pusat emosi. Semua emosi lama dan baru tersimpan di situ. Dendam, iri, trauma masa lalu, berada di situ. Namun ada pula bagian otak depan frontale lobe yang menjadi pusat berpikir, ratio kita, akal sehat kita. Apabila superego kita tebal oleh pendidikan, nasihat, wejangan serta tata nilai agama, norma sosial, maka yang akan tercetus di amygdala akan terhubung dulu dengan sirkuit otak depan, sehingga keputusan kita tidak atau kurang emosional. Keputusan yang sudah diolah oleh akal sehat, oleh tata nilai. Dan ini menguntungkan diri kita ke depannya. Bukan merugikan. Di situ tinggi rendahnya nilai kecerdasan emosi seseorang ditentukan.
Orang yang terdidik, yang sehat bagaimana dibesarkan, tepat asah asih asuhnya, akan berkembang menjadi sosok yang tidak semata dikendalikan emosi amygdala otaknya. Lebih sabar, lebih bijak, dan lebih beradab. Hanya yang kurang pendidikan dan kurang nasihat serta wejangan selama perkembangan hidupnya, yang lebih lemah keputusan beradabnya.
Salam sehat,
Dr. Handrawan Nadesul
Ilustrasi gambaran otak anak yang salah dibesarkan, menyimpan trauma, sirkuit otaknya berubah, juga bagian amygdalanya. PFC itu bagian otak depan.
IKUTI : Merawat Akal Sehat Bangsa