Yang Ditolak Adalah Caranya ..!

Belajar Dari Kisah Anjing Dan Vitamin. Seorang lelaki, memiliki anjing doberman yang bagus sekali. Dia memelihara anjing ras yang mahal ini dengan teliti dan sepenuh hati.
Setiap hari anjing itu diberi vitamin.

Agar tidak memberontak, dia mengempit tubuh doberman itu dengan kedua pahanya yang kuat, membuka moncong anjing itu dengan tangan, lantas menyendokkan vitamin.

Ketika anjing itu semakin besar dan kuat, acara memberikan vitamin jadi perjuangan setiap hari.

Suatu hari, anjing itu memberontak hebat dan berhasil lepas. Lelaki itu jatuh terjengkang, sendok berisi vitamin terlempar ke udara dan isinya berceceran di lantai.

Herannya, si doberman menghampiri ceceran vitamin itu, dan menjilatnya dengan suka cita…!!!

Lelaki itu tiba-tiba dapat pencerahan. Ternyata, yang ditolak oleh doberman itu bukanlah vitaminnya …! Melainkan : caranya.


Itu adalah sebuah cerita yang pernah kubaca di salah satu buku Anthony De Mello jauuuuuh sebelum anakku lahir.

Kisah ini, membuat aku merenungkan diri, kenapa saat aku remaja dulu, aku banyak memberontak terhadap orang tuaku. Lantas aku sadar. Yang kutolak, bukanlah saran dan nasihat mereka. Melainkan cara mereka menasehatiku : mewajibkanku dengan nada memaksa dan pakai kekuasaan untuk menekan. Seringkali pakai acara mengomel dan menuduh macam-macam seperti ‘kamu ini kalau dikasih tahu, selalu nolak dulu…! Keras kepala…!’

Semakin mereka bersikap keras, semakin kuat aku memberontak.

Suatu hari ibuku ngomel “Kamu ini kalau dikasih tahu orang lain kok nurut…! Kalau ibu yang ngomong kok mbantah?” — saat itulah aku sadar. Ah ya. Tante itu ngomong padaku dengan cara yang simpatik. Mengajakku diskusi seperti orang yang setara. Dia tidak memaksa. Dia hanya mengajakku bicara secara rasional dan rileks. Dan aku, melihat bahwa usulannya masuk akal. Lalu aku setuju begitu saja.

Ternyata, ketika aku baca kisah anjing dan vitaminnya itu, aku sadar : yang kutolak adalah cara ibuku. Bukan saran dan nasehatnya…!


Para orangtua, jika remajamu mulai membantahmu dengan sengit dan memberontak…. mungkin inilah saatnya kalian mengubah cara kalian berkomunikasi.

Usia remaja, secara alamiah, adalah usia dimana anak mulai membangun jati dirinya sendiri. Mereka nggak suka ‘disuruh-suruh’ lagi sama orangtua, karena memang sudah waktunya bagi mereka : mengembangkan inisiatif, berlatih memiliki kehendak sendiri, dan menentukan sendiri apa yang baik dan buruk baginya… Apa yang ingin mereka lakukan dan tidak lakukan. Lalu diberi kesempatan untuk belajar dari keputusan-keputusannya sendiri yang masih keliru, tanpa dicerca dan dihina. Wajar lah membuat kesalahan. Namanya saja masih pemula. Calon dewasa-muda.

Anakku juga begitu kok ketika remaja. Untungnya dia terbiasa kuajak diskusi nalar sejak balita. Untungnya aku membesarkannya dengan memberikannya kemerdekaan untuk menentukan sendiri pilihan-pilihannya.
Jadi parentingku di usia remajanya relatif lebih mulus dibanding banyak orangtua-anak yang lain.

Meskipun begitu, bagiku, ini adalah masa-masa parenting yang paling menantang! Bagaimana tidak? Karena pengaruh hormonal, dia jadi mudah gusar, mendebat dengan kasar, dan emosinya luar biasa meledak-ledak. Aku jadi lebih banyak jengkel di masa-masa ini. Seumur hidupku jadi orangtua, di masa-masa inilah aku pertama kali bisa marah besar pada anakku.

Sampai akhirnya, di usianya yang ke 14 tahun, kami bersepakat : dia akan kubebaskan dari parenting, setelah dia umur 17 tahun kelak. Tapi selama 3 tahun ini, dia harus membangun dirinya, sampai memiliki karakter ini :

  • disiplin
  • tidak menunda-nunda
  • rapih
  • melaksanakan keputusan dan perencanaannya sendiri, sampai kelar
  • melakukan pekerjaan apapun dengan sempurna. Nggak boleh menyepelekan kualitas kerja hanya karena itu kegiatan sepele. Mencuci piring, misalnya. Jangan mentang-mentang dianggap sepele lalu boleh sembarangan, alias nggak bersih.

Dan kesadaran yang terakhir ini (yaitu kualitas kerja) adalah yang paaaaaling sulit…! Bertahun-tahun aku mencoba menjelaskan… dan baru ‘masuk ke kepalanya’ ketika umur 16 kuajak ke Jepang melihat-lihat kampus. Di negeri yang serba rapih dan orang-orangnya bekerja dengan standar kualitas yang tinggi itulah, aku berkata :

“Lihat. Kalau kamu mau sukses di negeri seperti ini… kamu perlu mengadopsi sikap ‘perfek’ mereka. Jangan bawa-bawa mentalitas ‘asal jadi yang penting kelar’. Bisa habis kamu, tersingkir di sini…!”

Karena dia sangaaaat ingin belajar dan tinggal di Jepang, dia tahu-tahu merubah dirinya sendiri.

Fiiiuh..! Akhirnya…! Setahun sebelum masa parentingku ‘expired’, anak ini sudah ‘get all the point’. Aku kembali jadi mamak yang rilex.

Setelah karakternya ‘jadi’…. sekarang terserah dia. Aku percaya, nggak ada anak yang sengaja bikin hidupnya menderita dan gagal.
Sukses tidaknya hidup seseorang, sungguh-sungguh ada di tangan orang itu sendiri. Orangtua hanya bisa mendidik dengan mencari-cari cara yang paling tepat bagi si anak…. Sebisa mungkin, caranya pas.

Dan ini bukan hal mudah, jika kita sebagai orangtua masih ‘self centered’, masih egois, merasa selalu benar, dan merasa berhak jadi ‘wakil tuhan’ yang berkuasa atas hidup anak.

Nana Padmosaputro

Bangunlah Hidup Dalam Hidupmu!

Avatar photo

About Nana Padmosaputro

Penulis, Professional Life Coach, Konsultan Tarot, Co.Founder L.I.K.E Indonesia, Penyiar Radio RPK, 96,3 FM.