Batas Keserakahan

Serakah01

Sukses, penampilan berkilau, meyakinkan, sekujur dihiasi barang mewah, adalah pencitraan para perampok dan pencuri yang mengubah diri – dari taring iblisnya yang tersembunyi, dan menutupinya dengan seulas senyum keramahan. Tentu dengan pamer amal juga.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

BATAS KESERAKAHAN – Pada masa ini, betapa sulit membedakan manusia yang “pintar berbisnis” dan “pintar menipu” atau “pintar mencuri”.

Kita dibuat terpukau oleh sosok yang piawai melipat gandakan kekayaan, “berbisnis”, dan memamerkan hasil suksesnya dengan gaya hedonismenya yang “sah” – seolah layak mendapatkannya, karena mereka “kerja cerdas” dan “kerja keras”.

Namun tak lama setelah itu, kita diberi kenyataan: dia mendapatkannya dari mencuri. Merampok. Menggarong. Bersekongkol dengan oknum perusahaan, pejabat BUMN dan penjaga kekayaan dan penegak hukum kita.
Kita mudah silau. Terpukau. Kagum. Heran. Gumun. Lalu kita tertipu.

Atau para penipu memang semakin lama semakin lihai?

Dalam tampilan sang pebisnis, atau dermawan, berpenampilan eksekutif sukses, agamis, keserakahan memamerkan jati dirinya. Taring sejatinya.

Berturut turut publik kita dipertontonkan oleh orang-orang serakah yang tingkat keserakahannya tak terbayangkan! Absurd. Pejabat pajak yang memiliki kekayaan ratusan miliar. Selebgram agamis yang menampung transkasi bandar narkoba, dan supermodel jelita dengan citra baik, selama puluhan tahun – ternyata menampung dari kekayaan yang didapat dari mencuri dari suaminya yang pebisnis tambang. Triliunan rupiah kekayaan negara konon diraupnya.

Sukses, penampilan berkilau, meyakinkan, sekujur dihiasi barang mewah, adalah pencitraan para perampok dan pencuri yang mengubah diri – dari taring iblisnya yang tersembunyi, dan menutupinya dengan seulas senyum keramahan. Tentu dengan pamer amal juga.

Lihatlah, tak cukup rumah megah, perabotan mewah, seluruh barang ‘branded’ bergeletakan di rumahnya; pasangan sempurna, melainkan juga pesawat jet pribadi, kolam renang pribadi – dan semua didapat dari mencuri. Merampok. Menggali yang bukan haknya.

Kapankah puas dianggap puas, cukup dirasakan cukup. Bagi yang serakah, kepuasan adalah langit batasnya.

PANGGUNG sejarah bangsa kita telah menempatkan ‘mereka’ sebagai generasi penerus, pengisi kemerdekaan. Mereka bukan dari generasi gerilya, yang mengangkat senjata, bambu runcing, bertaruh nyawa, berlari di tengah desingan peluru, dengan hanya baju melewat di badan.

Juga bukan dari kalangan aktifis dan mahasiswa pendemo yang digebugi aparat, lari dari pengejaran dan penangkapan. Tidur tak tenang, makan tak jelas.

Dia anak orang kaya yang duduk manis di sekolah, diantar orangtuanya, dimanjakan semua kebutuhannya. Gizi terjamin. Dan ketika diberi kesempatan, ternyata dia menjadi pencuri. Menjadi bagian dari komplotan pencuri.
Pendidikan yang baik, gizi yang baik, keluarga yang baik, tuntunan agama yang baik, pengasuhan yang baik – ternyata – juga memproduksi “perampok yang baik” ?

Tapi apakah itu sepenuhnya karena kesalahannya?

Dia tenang dan asyik mencuri, karena kita : pemilik sah negeri ini, lalai menjaga kekayaan kita. Sebagian dari saudara kita yang ditugasi menjaga, justru memberi peluang pada para pencuri untuk melakukan aksinya.
“Serakah itu baik! ” kata Gordon Gekko, seorang perampok perusahaan kaya dan tidak bermoral yang diperankan oleh aktor Michael Douglas dalam film karya Oliver Stone, WallStreet (1987).

“Serakah menjadi bensin yang mampu menggerakkan ekonomi. Serakah adalah bahan bakar yang baik dalam perekonomian untuk membuatnya bergerak. Tanpa ada sifat serakah, ekonomi akan berhenti dan lesu, ” kata Gekko.

SERAKAH telah menjadi sifat manusia sejak awal penciptaan. Sejak kanak-kanak manusia sudah memiliki hasrat serakah. Keinginan untuk memburu kepentingan diri dan hasrat menguasai adalah memang sifat dasar manusia.

Keserakahan dalam diri manusia tidak akan pernah hilang, sampai ia terbaring di sebelah ajal.
Filsuf Plato sangat mengecam kekayaan dan kemewahan. Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, maka – untuk itu – manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.

Aristoteles menganggap bahwa kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya lah yang relatif tidak terbatas.

Bernard de Mandellive, dalam buku The Fable of the Bees (1714) menganggap sifat rakus manusia yang selalu lebih mementingkan diri sendiri akan memberi dampak sosial bagi masyarakat.

Manusia punya sisi watak serakah yakni perilaku tidak pernah merasa puas atas segala nikmat yang telah didapatkan.

Serakah dilakukan demi kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan identik dengan kepemilikan dan kekayaan selalu identik dengan kebahagiaan. Dan itu universal.

Keserakahan cenderung tidak peduli pada nasib orang lain dan lingkungannya, masyarakatnya, yang membesarkannya. Juga bangsanya.

Dia mencari kepuasan sepenuhnya untuk diri sendiri.

“Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak bisa memuaskan keserakahan dari setiap manusia, ” kata Mahatma Gandhi.

Kita melihat contohnya dengan kasat mata. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.