Frans Magnis Suseno Foto : Wikipedia
Seide.id – “Wong Jowo ojo nganti ilang Jawane“, “Wong Jowo iku kudu Njawani“, kalimat wejangan dalam bahasa Jawa tersebut seraya mengisyaratkan, bahwasanya akibat perkembangan arus globalisasi yang sangat pesat berdampak pada perilaku masyarakat lokal.
Masyarakat lokal khususnya di Jawa, saat ini seperti kehilangan jati dirinya. Sebagian dari mereka cenderung bersikap individualias dan kurang guyub rukun.
Banyak generasi muda yang tidak paham unggah-ungguh atau tata krama terhadap orang yang lebih tua. Ada yang paham, tapi tidak mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena itu jelas sangat tidak mencerminkan warisan luhur orang Jawa pada masa lampu yang sangat mengedepankan etika.
Etika orang Jawa yang adiluhung itu menarik minat seorang rohaniwan Jerman, Franz Magnis Suseno yang populer dengan nama Romo Magnis Suseno (86), untuk menelitinya.
Romo Magnis hijrah ke Indonesia sejak tahun 1960. Kecintaannya pada tanah air, akhirnya ia memperoleh status sebagai Warga Negara Indonesia.
Romo Magnis Suseno yang seorang rohaniwan itu ahli filsafat, dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya.
Penelitiannya tentang tingkah laku orang Jawa dibukukan dengan judul “Etika Jawa” pada tahun 1984. Buku tersebut bertujuan untuk mengadakan sebuah studi filosofis dan kontruksi terhadap moral kongkret masyarakat Jawa.
Bagaimana konsep dasar dalam Etika Jawa menurut pandangan Romo Magnis?
Dalam buku “Etika Jawa”, Romo Magnis menyebut bahwa ciri khas kebudayaan Jawa adalah kemampuan masyarakat membiarkan dirinya dibanjiri gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar, namun tetap bisa mempertahankan keasliannya.
Hindu, Buddha, dan Islam yang masuk ke Pulau Jawa pada akhirnya bisa dirangkul dengan baik dan membuat kebudayaan Jawa mampu menemukan identitasnya.
Berbeda cerita dengan adanya modernisasi atau globalisasi yang dampaknya berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan, posisi kebudayaan Jawa justru semakin tenggelam identitasnya. Jika generasi muda acuh tak acuh terhadap arus globalisasi dan tidak ada filterisasi, maka orang Jawa akan kehilangan Jawanya.
Etika Jawa menurut pandangan Romo Magnis Suseno didefinisikan sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui, bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.
Dengan kata lain, melalui etika tersebut masyarakat Jawa mampu menemukan jawaban atas pertanyaan terkait, bagaimana harus membawa diri, bersikap, dan tindakan yang harus mereka kembangkan agar jadi manusia yang berhasil dalam hidup.
Ciri Penting Etika Jawa
Dalam buku “Etika Jawa”, disebutkan jika ciri pentingnya adalah hal yang menyangkut hubungan dalam kelompok personal atau kongkret. Sedangkan hubungan kelompok nonpersonal atau abstrak dan perspektif manusia secara universal tidak memperoleh tekanan.
Tuntuan Sosial dalam Etika Jawa
Etika Jawa memiliki tuntutan sosial berupa kewajiban mencegah konflik dan memelihara suasana rukun.
Selain itu, kewajiban untuk menghormati kedudukan semua pihak dengan mempergunakan tata-krama yang tepat.
Tuntutan sosial ini didukung oleh latar belakang watak orang Jawa yang memiliki perasaan malu dan sungkan. Dua perasaan khas mengenai hubungan antarpribadi dan sikap moral seperti kesediaan untuk membatasi diri demi kelompok (_sepi ing pamrih_) dan untuk memenuhi kewajiban yang diterima dari kedudukan dan tugas masing-masing (_rame ing gawe_).
Melalui penjabaran di atas, masyarakat Jawa diharapkan mampu untuk mengimplementasikan konsep dasar etika Jawa seperti _sepi ing pamrih, rame ing gawe_ dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping itu, masyarakat Jawa dalam menghadapi arus modernisasi diharapkan mampu memegang teguh ajaran moral leluhur Jawa.
Referensi : Buku Etika Jawa, Franz Magnis Suseno
Elisabeth Philip, Tokoh Pembangkit Ekonomi Warga Desa Tlogoweru Demak