Bergelar Belum Tentu Pintar

Kita masih nengagungkan gelar akdemik. Lupa kalau bergelar akademik saja bukan jaminan kepintaran, dan kecerdasan. Maka jangan rancukan pendidikan dengan kecerdasan.

Orang tidak sekolah bisa saja cerdas. Sebaliknya orang bisa saja berderet gelar akademik tinggi, namun tidak cerdas. Apalagi bila dikaitkan dengan kecerdasan lainnya, sebut saja kecerdasan emosi (Emotional Intelligence), kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence).
Diakui kecerdasan emosional jauh lebih besar perannya membawa orang menjadi sukses, ketimbang hanya kecerdasan intelegensi (Inteligence Quotient).

Gelar-gelar akademik tinggi tidak terkait dengan tingkat kecerdasan. Kecerdasan berkaitan dengan apakah orang berkarya, bukan karena latar belakang, melainkan berkaitan dengan responsibilitas. Gelar akademik tinggi tidak berkarya, tanda bukan cerdas.

Saya ingat di lingkungan Kompas-Gramedia tempat dulu saya banyak menulis, gelar semua dari atasan sampai bawahan tidak ditulis. Bahkan Pak Jakob Oetama sendiri tidak mencantumkan gelar akademiknya.

Mas Taufiq Ismail ketika minta kartu nama saya dulu, tahun 90-an ketika saya sowan ke rumahnya, heran sekaligus memuji,karena saya tidak menuliskan gelar dokter saya pada kartu nama, bukan supaya dipuji, tapi karena yakin itu tidak perlu.

Mencantumkan gelar akademik sebetulnya beban moral bagi pemiliknya apalagi bila tidak berkarya. Gelar baru sebagai pernyataan bahwa kita telah menempuh pendidikan akademik. Bagaimana itu ditempuh, dan seberapa hasilnya, itulah latar belakang saja. Nilai kita ada pada apa karya kita di atas semua gelar akademik kita.

Yang keliru tentu sistem pendidikan yang menguji memori yang dimiliki anak didik, bukan menguji kecerdasannya. Pak Harto tidak sekolah tinggi, tapi terbilang cerdas. Kita suka heran ada anak tukang becak bisa meraih sekolah tinggi, tentu bukan karena tukang becak tidak bersekolah maka tukang becak dianggap tidak cerdas.

Kalau pendidikan hanya menguji memori, menguji apa yang kita hapalkan, belum tentu menilai tingkat kecerdasan. Ranking tinggi karena hapal mati, belum tentu mencerminkan kecerdasan anak. Anak cerdas yang malas menghapal, nilai uji hapalannya rendah saja bisa jadi tidak masuk ranking. Tapi ranking sekolah tidak tinggi bisa sukses dalam hidupnya kelak. Mengapa? Oleh karena untuk sukses perlu kecerdasan tinggi. Jadi keliru kalau menilai prestasi hanya dari nilai kemampuan memori, dari gelar akademik, dari kemampuan menghapal saja.

Untuk sukses perlu berakal sehat, perlu kreatif, perlu mampu mengendalikan emosi juga. Kreativitas terkait kecerdasan. Peran emosi besar membawa kita sukses hidup. Keputusan penting dalam hidup yang direcoki emosi, bisa membatalkan laju jenjang kesuksesan. Mengambil keputusan penting saat emosi, pasti salahnya. Demikian pula peran kecerdasan spitirualitas, terkait dengan banyak keputusan yang memberi kita kesuksesan hidup.

Jadi hapuskan ranking di sekolah, karena bisa bikin rancu, seolah anak ranking kelak pasti sukses hidupnya, dan anak tidak ranking pasti gagal. Sekarang sudah terbukti ilmiah, ranking tidak perlu untuk menilai kesuksesan hidup kelak. Juga sekolah unggulan, juga perlunya ujian, juga metoda pendidikan yang masih mendahulukan hapalan belaka. Sekolah di Finlandia, misalnya, tidak ada PR, tidak ada ujian, tidak ada rakning, tapi dinilai pendidikannya terbaik di dunia.

Kita melihat pendidikan yang memacu anak untuk meraih nilai tinggi, bikin sedih anak yang tidak ranking. Padahal ranking itu prestasi yang mungkin semu, mungkin masking effect, seolah anak ranking selalu hebat, dan anak tidak rakning tentu stupid.

Kasihan pendidikan yang memacu anak dapat nilai tinggi karena hapalan. Rapor bagus hanya karena kuat menghapal, tidak lebih bernilai ketimbang rapor tidak bagus, tapi hanya bagus nilai bukan hapalannya.

Anak kita banyak kehilangan masa bermainnya, harus les ini itu, hilang rasa persahabatannya, menjadi egois, mau menang sendiri, tidak mau kalah. Di Singapura terkenal anak dengan tabiat “kiasu”, mau menang sendiri, berbeda dengan pendidikan yang dibina kerja sama antar murid, mendahulukan sikap memikirkan juga orang lain (thinks for others). Ini bagian pengembangan kecerdasan sosial (Social Intelligence)

Sekolah Katolik umumnya mungkin kalah prestasi akademiknya dibanding sekolah Kristen yang meraih banyak prestasi akademik. Pendidikan yang benar tidak cukup hanya mengejar pestasi akademik melainkan juga terciptanya karakter anak. Peran karakter melampaui prestasi akademik. Peran anak didik luwes bergaul, bertoleransi, cerdas berelasi, hubungan antar manusia yang supel, pandai bergaul, dan tahu tata krama. Hal-hal non akademik begini yang kurang mendapat perhatian pendidikan kiwari.

Anak perlu menjadi orang baik selain cerdas. Orang pintar banyak, tapi orang baik tidak banyak. Untuk menjadi orang baik perlu pendidikan karakter. Perlu soft skill juga, tak cukup materi akademik, termasuk perlunya “tacit knowledge”, yang luput dari mata ajar akademik.

Sekolah yang baik bukan semata alih ilmu, sama penting sekolah memberikan pendidikan supaya anak didik kelak menjadi seseorang, menjadi somebody.

Salam mendidik yang benar,
Dr HANDRAWAN NADESUL

Dokter Bisa Salah Pasien Belum Tentu Selalu Benar