Oleh DAHONO PRASETYO
Pesan di WA darinya masuk berturut turut. Kemudian foto screnshoot saldo rekeningnya. Yang terakhir pesan permohonan bantuan aku baca:
“Kalau tidak merepotkan mas, saya minta tolong ditransfer 10 ribu saja. Saldo saya tanggung 41 ribu, jadi gak bisa tarik di ATM”
Segera aku balas:
“Tunggu sebentar ya kang, nanti kalau sudah transfer saya kabari”
Istilahnya memancing saldo. Bagi yang punya rekening ber-ATM pasti tahu. Di masa Pandemi yang melelahkan ini butuh empati lebih agar kita tidak merasa sendiri. Usai kutransfer 10 ribu dari ATM sekaligus menarik selembar uang 50 ribu, saldoku tinggal menyisakan 18 ribu.
“Aku sudah transfer kang. Posisi dimana sekarang?”
“Ok. Makasih mas. Nanti saya cek. Saya lagi di rumah, ngumpul sama anak anak” balasnya.
Selanjutnya kupacu motor ke arah kediamannya. Semenjak puasa aku melewatkan silaturahmi dengannya, kupikir 1 jam cukup untuk melihatnya langsung dia sedang baik-baik saja.
Gorengan pisang, tahu, ubi sengaja kubeli untuk bumbu ngobrol sambil ngopi nanti.
“Assalamualaikum, kang Joko” ucapku di balik pintu sambil mengetuk.
“Wa’alaikum salam, eh mas Pras. Tadi nggak bilang kalau mau mampir” jawab kawanku sedikit terkejut atas kedatanganku.
Dan kamipun ngobrol sambil ngopi. Plastik berisi gorengan sebagian sudah berpindah di piring samping kopi kami. Sempat aku lihat tadi di dalam rumah seorang ibu dan 3 anaknya berebut isi plastik. Aku senyum sambil menyesal karena hanya membeli sedikit, tak terpikirkan 4 perut lain di dalam rumah petak ini.
Ngobrol kamipun lebih fokus pengalaman masing-masing menyikapi situasi yang sedang kurang menentu ini. Beberapa kali terpotong oleh kesibukan dia menjawab panggilan telefon. Nyaris 5 menit sekali HP dia berbunyi. Aku perhatikan nada bicaranya hampir sama.
“Trima kasih, nanti saya cek. Yang penting sudah berhasil terkirim”
Kira kira kalimat itu yang selalu ada dalam pembicaraan menjawab telefon.
“Maaf ya mas, saya beneran lagi gak ada kerjaan. Sudah 2 bulan pabrik merumahkan sebagian karyawannya, saya salah satunya. Paling sesekali narik ojol” jelasnya sebelum kutanya.
“Saya juga mas, sampeyan tahu sendiri dari dulu nggak pernah punya kantor. Kerja serabutan sambil kirim tulisan di media” jawabku sambil menyeruput kopi.
“Mas pasti tanya ngapain saya terima telp berkali kali”
“Hehe iya, penasaran saya”
“Ee.. saya kasih tahu tapi jangan cerita ke siapa-siapa ya. Tadi mas terima pesan transfer 10 ribu dari saya kan? Nah itu bukan satu satunya. Saya juga kirim ke teman teman lainnya. Saya cuma minta keikhlasan uang recehan mereka kok” jelasnya. Jidatkupun mendadak normal lagi. Aku jadi faham modus belas kasihannya.
“Ah, otak isengmu belum berubah juga ternyata. Sekarang kalau boleh tahu, saldo rekeningmu ada berapa?” tanyaku
Sedikit otak atik HP kemudian dia tunjukkan m-banking cek saldo. Aku lihat jumlahya 800 ribuan. Kali ini jidatku kembali berkerut.
“Teman teman banyak yang baik hati kok mas. Saya minta cuma 10 ribu, eh.. dia malah transfer lebih. Ada yang 50 ribu bahkan 100 ribu” jelasnya dengan raut wajah memohon pengertianku.
“Ya sudah meskipun aku cuma transfer sesuai permintaanmu, lalu tahu ceritamu ini, aku ikhlas kok.”
“Iya mas. Trima kasih atas pengertiannya. Tapi tolong jangan cerita ke teman teman kita ya?” pintanya serius
“Nggak lah… aku tahu kondisimu dan kamu jujur cerita modus itu karena percaya padaku kan? Itu yang terpenting”
Dalam perjalanan pulang aku begitu terngiang kalimat terakhir kawanku.
“Saya sadar kok mas, uang yang saya dapat dengan cepat, habisnya juga cepat. Bayar kontrakan sudah nunggak 2 bulan”
Dan memang begitulah, dia melakukannya bukan untuk memperkaya diri, sekedar bertahan hidup. Dan seperti yang kusaksikan sendiri, dia tetap saja hidup dibawah ideal. Rumah masih ngontrak, motor jadul bukan matic, istri dan 3 anaknya masih berebut sekedar makan gorengan bawaanku.
Siapapun pasti nggak tega mengumpat kebohongannya.
Depok Juli 2021