Oleh FANNY JONATHAN POYK
Hidup ini mirip sebuah cerita pendek dengan konflik yang beragam. Ingin mencari hal-hal sempurna dalam kehidupan pastinya tidak mungkin. Rasa bahagia itu relatif. Orang yang kaya raya dengan harta berlimpah pun selalu gelisah dalam hidupnya; kegelisahan itu bisa berupa dia takut hartanya habis dan jatuh miskin, atau bingung karena semua sudah didapat dan endingnya mencoba hal-hal yang dianggapnya eksperimen yang unik dan mengasyikkan, jadi jungkies narkoba sambil ngisep sabu sebong dua bong misalnya.
Di tembok absurd yang berbeda, pada ruang tersembunyi dari para pelaku kehidupan, ada cerabut duka yang berkolaborasi dengan situasi terkini, yaitu kecemasan dan ketakutan menghadapi datangnya serangan virus covid dengan varian baru, beta. Rasa pedih hingga di titik nol yang berpadu dengan ‘hopless’ yg kadang timbul tenggelam, secara kemanusiaan kita berperang dengan musuh tanpa bayangan. Inilah masa-masa menakutkan yang harus dihadapi dengan tanya, “jika aku terpapar, apakah aku harus meninggalkan dunia ini?”
Media sosial menjadi hiburan juga hamparan kata yang setiap saat menyampaikan pesan turut berdukacita, Innalillahi Wa Inalillahi Rojiun, RIP dengan emoticon sosok wajah yang sedang menangis.
Meski demikian, euforia medsos terus berkembangbiak dengan gencar, kabar kematian seolah menjadi catatan masa yang berjalan cepat dan penuh elegi, lalu ada juga iklan pakaian, sepatu, tas, makanan, foto selfie dengan pemandangan nan indah yang semuanya menggambarkan dunia dengan carut-marutnya.
Di sisi lain PPKM yang sedang berlangsung menggambarkan bagaimana cemasnya pemerintah dengan situasi yang ada. C-19 menggannyang tanpa belas kasihan. Yang terpapar dan yang tewas melaju tanpa hambatan. Dan setiap kebijakan selalu ada hasil yang menohok hati, kita akan makan apa bila ini terus berlangsung? Apakah pemerintah akan memberi kita makan? Dilema.
Sementara dari lorong-lorong Rumah Sakit, para tenaga kesehatan berjibaku menolong mereka yang terpapar, banyak di antara mereka yang terkena covid dan pergi meninggalkan dunia. Ya, jika keluhan lapar, bayar uang sekolah, bayar listrik, air yang kesemuanya tidak mengenal serangan C-19 dan harus berjalan seperti biasa, maka kehidupan yang muram menghantui setiap saat. Sekarang tinggal nurani yang berkata, mau pilih pergi dari dunia atau bertarung dengan rasa lapar? Sementara di jalanan yang yang sunyi suara ambulance terus bernguing-nguing bagai Batman yg sedang mencari orang-orang yang terkena pandemi di kota Gotham. Miris.
Begitulah yang terjadi. Jika dahulu di masa yang epic Nabi Nuh dan keluarganya selamat dari terjangan air bah disebabkan Tuhan melihat manusia semakin jahat, apakah situasi ini sejajar dengan masa itu? Masa di mana saat ini manusia tak lagi berempati pada bumi dan sesamanya.
Entahlah, kita tunggu jawaban dari Sang Empunya Semesta agar belaskasihan diberikan kepada kita. Mari kita bersembunyi di ruang sunyi, mengadu padaNya secara vertikal dalam lantunan doa penuh ketulusan tanpa rekayasa juga konspirasi tamak dengan beragam dalih…Dia yang ada di tempat tersembunyi tahu siapa diri kita…