Seide.id – Waktu saya di Siem Reap tinggal sehari lagi. Besok harus kembali ke Pnomp Penh karena luasa kembali ke Jakarta. Ketika pemilik penginapan memberitahu bus ke Bangkok lebih murah, hanya 8 dolar, saya agak menyesal juga mengapa harus pulang melalui Pnomph Penh. Saya bayangkan asyik juga kalau pulang melalui Bangkok, menemui pengalaman baru. Apalagi saya belum pernah ke Bangkok. Tetapi karena tiket ke Jakarta sudah dibooking melalui Pnomh Penh saya tidak bisa apa-apa.
Mungkin suatu saat kalau ada waktu dan kesempatan, bisa melakukan perjalanan panjang dari Vietnam – Kamboja – Thailand, dengan bus.
Malam terakhir di Siem Reap saya tidak ke mana-mana. Hanya mencari makan di pinggir jalan. Ada penjual makanan di pinggir jalan, tetapi di depannya di pasang meja-meja dan kursi. Saya memesan seporsi nasi goreng. Uniknya nasi goreng itu juga dikasih kuah dalam mangkok. Rasa kuahnya mirip dengan kuah sayur ikan ketika pertama kali saya makan dalam perjalanan Pnomh Penh – Siem Reap. Ada bumbu yang baunya hampir mirip daun seledri. Harganya 3 dolar.
Usai makan saya kembali ke penginapan, lalu tidur. Pagi hari esoknya saya ke luar jalan kaki menuju Taman Siem Reap. Hanya mengenakan celana pendek dan membawa kamera. Taman Siem Reap tidak jauh letaknya dari penginapan, kira-kira hanya setengah kilometer.
Saya memotret apa saja yang saya temui di sepanjang jalan. Anak-anak sekolah yang menyeberang dengan tertib. Ketika mereka menyeberang jalan – walau jalan raya utama di Siem Reap tidak telalu ramai kendaraan – mereka memasang barikade dari besi yang dibuat segi empat dan memiliki penyangga di bawah. Barikade besi itu portable bisa diangkat dengan mudah.
Setelah rombongan anak-anak sekolah menyeberang, siswa lainnya mengangkat portal itu. Arus lalu lintas kembali mengalir.
Di samping sebuah pertokoan saya melihat seorang bocah lelaki berusia sekitar 15 tahun sedang tertidur pulas. Lembaran uang Kamboja berserakan dari kantongnya hingga ke bawah. Nampaknya anak ini tunawisma.
Sebelum Taman Siem Reap ada sebuah jalan tempat penjual bunga-bunga seperti bakung dan burung-burung pipit. Burung-burung itu dibeli oleh orang-orang yang ingin melepasnya kembali.
Bagi masyarakat Tionghoa, setiap menjelang dan saat perayaan Tahun Baru Imlek, ada tradisi yang biasa dilakukan, salah satunya disebut fang sheng atau menerbangkan burung pipit. Melepas burung dipercaya akan mendatangkan karma baik, selain menjadi symbol kesinambungan alam. Apakah yang dilakukan masyarakat di Kamboja seperti itu, saya kurang paham juga.
Dari tempat itu saya berjalan ke Taman Siem Reap. Saya melewati jalan raya di depan taman yang terdapat kediaman pribadi Raja Kamboja Norodom Sihanaouk. Rumahnya menghadapi taman dan berada di pojokan jalan. Tidak terlihat ada penjagaan pasukan keamanan yang mencolok. Di jalan raya ada seorang perempuan paruh baya sedang membersihkan sampah dedauan di jalan dengan sapu panjang.
Di perempatan jalan ada baliho besar dengan gambar isteri Raja Madame Norodom Monineath Sihanouk (terlahir dengan nama Paule Monique Izzi, kelahiran 18 Juni 1936). Dia adalah ibu suri Kamboja. Ia menjadi ratu permaisuri Kamboja dari 1952 sampai 1955 dan kembali dari 1993 sampai 2004, sebagai istri Raja Norodom Sihanouk.
Taman Siem Reap tidak terlalu besar. Mungkin luasnya hanya dua kali lapangan bola. Berada di tengah-tengah jalan utama di Siem Reap tempat beberapa Gedung penting, selain tempat kediaman Raja Norodom Sihanaouk, berada.
Di pinggiran taman terdapat pohon-pohon besar. Di jalan kecil sebelah Timur terdapat wihara di pojokan. Di jalan itu pula banyak gadis-gadis yang menjual duren menggunakan sepeda motor.
Di taman ada beberapa jenis tanaman hias, bangku-bangku taman yang ditiduri oleh seorang tuna wisma, dan ada sepasang kekasih sedang berpacara di bangku panjang lainnya. Sebuah bus membawa wisataan – tampaknya dari Jepang – berhenti di samping taman. Penumpangnya turun lalu berkeliling seputar taman sambal memotret-motret.
Beberapa pedagang souvenir termasuk anak-anak menawarkan dagangan mereka. Di Taman Siem Reap ini burung-burung bebas berkeliaran, termasuk burung-burung jalak yang di Indonesia menjadi salah satu burung yang diburu.
Usai berkeliling taman dan memotret, saya kembali ke penginapan, karena sekitar pukul 11.00 saya harus menuju ke agen bus yang akan membawa saya kembali ke Pnomh Penh.
Pukul 11.00 saya ke luar penginapan, lalu menyetop tuktuk untuk menuju agen bus. Sebenarnya saya sudah berjanji dengan Charoen, tapi karena Charoen belum terlihat, saya memesan tuktuk lain. Ketika saya sampai di agen bus Charoen menelepon. Saya menyesal telah naik tuktuk lain.
Bus berangkat dari Siem Reap pukul 12.00 dan sampai di Pnomh Penh pukul 17.30. Di jalan bus sempat berhenti di tempat yang sama ketika berangkat, yakni di rumah makan di pasar Kompong Thom.
Sampai di Pnomh Penh saya langsung memesan tuktuk ke bandara. Meskipun jadwal penerbangan ke Jakarta baru esok hari pukul 08.00, saya tidak mau tidur di hotel atau penginapan, takut bablas ketinggalan pesawat. Bisa repot.
Saya langsung masuk ke ruang tunggu bandara, lalu duduk di coffee shop untuk memesan kopi. Saya menikmati kopi dan roti yang cukup besar, lalu menulis artikel di tablet yang saya bawa. Saya sudah bertekad untuk diam di tempat itu sampai pagi, tidak usah ke luar bandara. Kalau perlu tambah kopi dan roti lagi supaya perut terisi. Jika ingin istirahat, tempat duduknya lumayan enak seperti sofa. Asyiklah pokoknya buat tempat begadang.
Saya berpikir ada dua keuntungan yang saya peroleh: tidak perlu keluar uang untuk membayar hotel, juga pagi harinya bakal terjamin tidak akan ketinggalan pesawat.
Malam semakin larut. Beberapa toko di dalam bandara mulai tutup. Coffee shop tempat saya duduk juga akan ditutup. Waduh! Berarti saya harus mencari tempat lain. Ternyata bukan hanya toko dan coffe shop itu yang tutup, pada pukul 24.00 bandara juga akan tutup. Semua orang yang berada di dalam bandara diminta ke luar. Termasuk saya! Celaka!
Akhirnya saya ke luar, ada beberapa calon penumpang lain pula yang ikut ke luar. Tidak sampai sepuluh orang, dua di antaranya bule. Kami hanya duduk-duduk di bangku panjang yang ada di luar bandara. Masih ada sebuah tempat ngopi yang buka.
Di luar ternyata banyak nyamuk! Jadi semalam-malaman hingga menjelang pagi, tak henti-hentinya tangan terus menepuk nyamuk yang hinggap.
Tidak jauh dari tempat saya duduk, ada seorang wanita tidur di kursi panjang. Dia hanya mengenakan T’shirt dan celana pendek. Karuan saja kulitnya yang mulus jadi santapan nyamuk-nyamuk yang nakal. Dia pun nampaknya tidak bisa tidur karena dikerubutin nyamuk. Ingin rasanya berbaik hati mengusir nyamuk, tapi takut dia salah sangka.
Pukul 05.00 bandara dibuka lagi. Saya cepat-cepat masuk, lalu mencari WC untuk membuang ampas dalam perut yang sudah berontak. Pukul 07.00 semua penumpang diminta check-ini. Pada pukul 08.00 pesawat yang saya tumpangi dari Pnomh Penh menuju Jakarta take-off. hw