Emak Emak Berjilbab Teriak ‘Biadab’

Emak emak teriak Biadab

Hal yang menyedihkan adalah jilbab berhenti sampai menutup kepala. Tidak dengan perilaku, adab dan akhlaknya. Sehingga, pada jangka panjang, munculah emak emak ‘biadab’ itu. Mengenakan jilbab satu hal, meluapkan kata kata kotor dan menista, sebagai hal yang lain lagi.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

RAMAI di media sosial emak emak berjilbab meneriaki KPU dengan kata kata ‘biadab’. Teriakan itu lalu digubah jadi lagu disko, dangdut koplo dan rock. Lewat teknologi audio canggih, kata kata yang terucap berubah menjadi lagu.

Yang mau saya bahas bukan ide kreatif menyikapi emak yang mengamuk hebat itu – yang diubah menjadi lelucon, parodi dan karya seni. Melainkan akhlak si emak emak, yang berjilbab dan meneriakan kata ‘biadab’ itu. Tak cuma kepada KPU melainkan juga kepada presiden. Kepala negara

Perempuan berjilbab itu bukan turun dari langkit dan ‘njedul’ dari bumi, sebagaimana cerita dunia pewayangan. Melainkan orang biasa yang berubah karena lingkungan, didikan, indoktrinasi dan pengarahan sosok di balik layar yang memberikan pembenaran, cuci otak – sehingga meneriakan kata ‘biadab’ di depan gedung KPU – Komisi Pemilihan Umum lumrah adanya. Menjadi bagian dari demokrasi. Kebebasan berbicara.

Kita pertanyakan, dikemanakan akhlaknya? Jauh dari etika dan tata krama orang Indonesia bahkan orang timur. Bagaimana mengenakan jilbab tapi tak ada adab, tak berakhlak?

Agama yang mendekatkan pengikutnya kepada Tuhan dan kebenaran memberikan dorongan untuk menistakan lain, yang dianggap “tidak benar” oleh mereka. Ya, Tuhan!

SAYA mencoba berbaik sangka, para perempuan yang memutuskan berjilbab adalah mereka yang telah mendapat petunjuk (hidayah) dari Allah, berada di jalan yang lurus dan konsisten dengan kebaikan (istiqomah), berupaya terus menunjukkan sikap dan perbuatan manusia rendah hati dan tidak sombong (tawadhu).

Tapi saya keliru. Jilbab ya jilbab, sama dengan jeans belel, kaos ‘hoodie’ dengan penutup kepala, rok mini, atau jaket – bagian dari fashion semata.

Semakin banyak saja, saya menjumpai dan menghadapi muslimah berjilbab yang tak berakhlak. Saya merasakannya menghadapi petugas bandara berjilbab di negara negara jiran. Jilbab sekadar kain penutup kepala tak ada kaitannya dengan ‘attitude’, akhak, adab dan etika. Pakai jilbab tapi tak punya tata krama. Minus etika. Berjilbab tapi ketus, bermuka masam, melotot dan berteriak, tak hanya saya jumpai di Indonesia, melainkan juga di Malaysia dan Singapura.

Penggunaan jilbab marak sejak awal 1980an, sebagai dampak gelombang Revolusi Iran dan maraknya penyebaran Wahabi dari Arab Saudi ke seantero dunia. Meski beda mazab, Suni dan Syiah, dua perempuan Islam dari Arab maupun Iran sama sama pakai jilbab hitam.

Pada awal 1980an, jilbab ditentang pemakaiannya di sini. Rezim Suharto keras melarangnya, karena dianggap sebagai bagian dari menyebaran Islam ekstrim kanan, paham kaum Fundamentalis radika. Belakangan setelah Suharto tumbang, kampanye jilbab marak, memanfaatkan kebebasan reformasi.

Hal yang menyedihkan adalah jilbab berhenti sampai menutup kepala. Tidak dengan perilaku, adab dan akhlaknya. Sehingga, pada jangka panjang, munculah emak emak ‘biadab’ itu. Mengenakan jilbab satu hal, meluapkan kata kata kotor dan menista, sebagai hal yang lain lagi.

Perempuan penipu, koruptor, pezina, penamung duit transaksi narkoba, bahkan germo, ada yang berjilbab juga. Bahkan belakangan ini muncul kelompok ‘The Nurul’, komunitas penggemar pesta kaum berjilbab. Mereka kumpul, joget joget, tidak minum alkohol. Tapi hura hura. ‘The Nuruls’ dikonotasikan juga dengan perempuan sok alim yang gemar mengurusi kehidupan orang lain.

Di sisi lain, jilbab juga menjelma sebagai sekte tersendiri, paham anti yang lain. Islam yang berbeda. Meski sama sama muslimah, perempuan berjilbab merasa lebih bersih, lebih suci, dapat hidayah, dan punya legitimasi untuk menasehati orang lain, dakwah, meski dengan basa basi; “Sekadar mengingatkan, ya, agama kita…..” . Mereka rajin mengatur penampilan orang lain: “Mbak cantik lho, lebih cantik bila berjilbab” dan seterusnya. Mereka bergabung dalam klub Hijabers.

Sebaliknya, perempuan muslim yang tidak berjilbab mendapat perlakuan yang berbeda dari yang berjilbab. Kastanya direndahkan. Dalam acara foto bersama, ada yang disisihkan, “maaf ini foto khusus yang berjilbab saja, ” curhat seorang netizen yang mengalami pengalaman yang tak menyenangkan.

Para pesohor yang sudah berburqa, sekujur tubuhnya tertutup kain hitam, hanya dua bola matanya yang nampak, sebagai simbol menjauhi maksiat dan menjauhi ‘dunia’ – pun masih ngomong politik yang sektarianistik. Bahkan melontarkan tuduhan keji terhadap penyelenggaraan pemilihan presiden 2024.

Pesohor yang lain, yang dulunya banyak gaul dengan bule, hidup bebas, biasa tampil mengeksploitasi sensualitasnya, lalu hijrah, menjadi isteri pendakwah Arab, nyinyir menasehati agar calon presiden yang dipilih fasih membaca Quran.

Belakang dapat cemooh, setelah memamerkan wajahnya yang penuh bercak hitam. Kulitnya melepuh. “Karma gak pakai lama, ” kecam netizen, mensyukuri. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.