Ibu (Tak) Boleh Sakit

Ibu (Tak) Boleh Sakit

Seorang ibu, dalam kondisi apapun seakan tidak boleh sakit. Ibu dibutuhkan sebagagai pendamping dan teman berkomunikasi suami dan anak dan support system yang diperlukan dalam sebuah keluarga.

Sebuah meme di pinterest, menggambarkan perbedaan situasi yang terjadi dalam sebuah keluarga. Ada tiga gambar di sana, anak sakit, ayah sakit dan ibu sakit. Pada gambar anak dan ayah yang sakit, yang tampak mereka digambarkan dalam keadaan istirahat, untuk kembali pulih.

Namun, gambar ibu yang sedang dalam kondisi sakit, di tangan, kaki, dan badannya tersampir beban pekerjaan domestik yang tak bisa ditinggalkan.

Benarkah demikian yang terjadi? Atau hal itu melebih-lebihkan saja kondisi yang sebenarnya?

Sesungguhnya saya baru mengalaminya sejak seminggu lalu. Sekeluarga kami berbarengan sakit. Cucian bisa diserahkan kepada laundry, kecuali pakaian dalam. Pekerjaan bisa dialihkan ke teman sejawat. Makanan bisa diserahkan kepada aplikasi online, tetapi menyapu dan bersih-bersih rumah mau tak mau harus dikerjakan sendiri.

Jadi dalam keadaan tubuh lemas, kepala sakit, nasi tetap harus dimasak, air minum tetap harus diisi ulang, dan lantai tetap harus disapu dan dipel.

Mengasihani dirikah saya? Atau meromantisasi sebuah hal yang sudah umum, wajar terjadi?

Coba simak keluh kesah seorang Ibu berikut ini.

“Aku kadang merasa ya ampun jadi ibu begini ya … aku kerja dari pagi sampai sore kadang anak-anak nggak peduli, apakah ibunya capek, apakah ibunya sudah makan dan minum yang cukup. Kadang kalau di rumah kerjaan banyak dan nggak ada yg mau tau, kok hidupku gini ya. Kadang aku merasa nggak waras, apalagi begitu mulai marah-marah, nggak jelas apa yang kutumpahkan. Nanti kalau aku sakit, baru tahu rasa semua. Eh beneran aku sakit, tapi tetep aja aku kesel dengan kerjaan rumah yang makin tak beres karena aku sakit.”

Berlebihankah dirinya? Mungkin ada yang santai berkomentar, “Ya gitu kalau mau jadi ibu. Kalau nggak mau gitu nggak usah nikah aja!”

“Toh, ibu kudu kuat. Jangan cengeng dan banyak ngeluh.”

Saya melihat terjadi tindakan yang tidak memanusiakan sosok Ibu. Seperti tulisan saya dua minggu lalu, ketika ibu diharapkan kuat dan tak punya kelemahan, tanpa sadar kita mengajarkan anak-anak untuk tidak manusiawi juga dalam memandang orang tuanya.

Ibu dalam Kebanyakan Keluarga Asia

Keluarga Asia yang dimaksud di sini adalah tipikal keluarga kebanyakan di Indonesia yang hidup bersama dalam sebuah lingkaran kekerabatan. Di mana umumnya Ibu berdiam di rumah dan memegang tampuk utama dalam asuh didik anak.

Tipikal ini yang kemudian banyak dibenturkan sendiri oleh pendukung dan penolaknya dalam masyarakat, baik di kehidupan nyata maupun dunia maya.

Banyak diungkap bahwa yang devoted, ibu mengabdi adalah yang 24 jam siaga di rumah, tanpa ada kepentingan lain. Begitu mereka bekerja, dan mengalihtangankan anak kepada pengasuh, kakek nenek atau kerabat lain, ‘skor’ keibuan mereka langsung ‘jatuh’ dan ditempatkan pada posisi ‘boleh disalahkan’ bila anaknya tak bertumbuh kembang dengan baik. Padahal rumah tangga atau keluarga baru akan berjalan baik dan memberi nilai lebih kepada anak-anak, ketika suami dan istri bekerja sama.

Apa yang terjadi kemudian? Beberapa netizen di twitter yang sedang mendiskusikan pengasuhan, memberi beberapa pendapat menarik.

Ibu adalah sosok paling penting bagi anak. Tapi ketika mereka tak puas dengan hidupnya sendiri, umumnya mereka akan melimpahkan hal itu ke orang lain. Suami yang pemarah, abusive, nggak akan dilawannya. Ibu yang frustrasi dan merasa tak berdaya akan melampiaskan ‘luka’ itu ke anak-anak, ‘karena kalian nakal, ibu jadi yang dimarahi. Karena ulah kalian, ibu yang dipukul.’ Playing victim jadinya. Hal itu sungguh tak sehat, kondisi toksik dalam konsep pengasuhan.

Netizen lain malah berpandangan lebih jauh.

Yang terjadi kemudian, orang-orang yang tidak mengerti bagaimana pengalaman buruk dan strugglenya sosok ibu, bahkan akan “menghakimi” dengan standar nilai agama/budaya. Masyarakat tak akan pernah mengerti sampai mereka yang mengalami dan menjalaninya sendiri. Orang-orang yang memiliki kemewahan dlm menjalani standar umum, tidak akan mau terusik dengan realitas yang tidak sesuai atau berseberangan dengan standar itu.

Saya sepakat dengan kedua pendapat itu. Demikian mudahnya kita menetapkan standar kepada orang yang menjalani hidupnya berbeda, dan hal itu sungguh tidak fair sebenarnya.

Kesehatan Ibu = Utama

Pada awal tulisan, penggambaran ibu yang sakit adalah disaster bagi keluarga itu benar adanya.

Mungkin sudah saatnya saya, dan Anda para Ibu perlu mempertimbangkan kembali tentang apapun yang berkaitan dengan kesehatan kita.

Sebaiknya tidak lagi menjustifikasi bahwa anak-anak perlu makanan sehat dan bergizi, sementara ibunya sudah cukup, diet saja dengan memakan secuil dua cuil jatah anaknya. Ibu perlu juga mengonsumsi makanan minuman sehat, perlu merawat tubuh dan dirinya, wajib beristirahat dengan cukup. Sudah saatnya kita bicara bahwa Ibu perlu memiliki kondisi tubuh yang sehat dan prima; bukan seolah melakukan pengorbanan besar bagi keluarga.

Karena tanggung jawabnya banyak. Sebab dia perlu waktu untuk memastikan anak-anaknya bertumbuh dengan baik, baik fisik maupun mental. Dengan alasan Ibu yang sehat dan tidak sakit-sakitan; akan lebih tidak membebankan pikiran suami dan anak-anaknya.

Saya tidak menyinggung soal apakah pemikiran macam ini seolah Ibu menjadi tidak setara, atau Ibu yang memegang beban paling banyak dalam keluarga. Juga bukan seolah memosisikan Ibu harus kuat setiap saat.

Namun, Ibu yang sehat memungkinkan menjadi support system yang baik untuk seluruh anggota keluarga. Fisik dan mental ibu yang terjaga dengan baik, memungkinkannya mendampingi, menjadi teman diskusi suami dan anak-anak mewujudkan impian dan cita-cita mereka.

Yuk, Mulai Sayangi dan Cintai Ibu sebagai Manusia!

Aplikasi Kecantikan di Medsos Bikin Penggunanya Mengalami Gangguan

PsikologisPsikopat Terselubung

Sembuh Berkat Jamur

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta