Kriteria wanita cantik, berubah dari masa ke masa. Sepanjang hidup, wanita “ dipaksa” mengikuti selera zaman, selera yang membuat kriteria tentang kecantikan.
“Grandpa, Am I Pretty?”
“Olive, you are the most beautiful girl in a whole world.”
“No. You’re just saying that.”
“No, I’m not. I’m madly in love with you. It’s not because your brain or your personality. It’s because you’re beautiful inside and out.”
Credit : Little Miss Sunshine, 2006
Penggalan percakapan seorang kakek dan cucunya yang berlangsung hangat dalam salah satu adegan film, bukanlah wacana baru. Bahkan dalam dongeng yang biasa dikisahkan untuk anak-anak, semisal Putri Salju saja, Ratu Jahat masih digambarkan mempertanyakan kecantikannya pada cermin ajaib.
Waktu berlalu, generasi bersalin nama, kini omongan netizen soal cantik bukan sekadar gimmick iklan skincare semata. Melainkan juga perundungan terang-terangan kepada pembuat konten. Coba saja kata cantik kita masukkan dalam mesin pencari, aneka pendapat, mulai dari yang sopan hingga memicu kita meradang, banyak bertebaran.
“Cantik sih, tapi gemuk!”
“Kalo lebih putih, pasti lebih cantik!”
“Segitu cantik aja, diselingkuhin. Kalau nggak?”
“Dia cantik sebelum oplas! Sekarang kok ‘kaku’”
“Wajar kalau pilih-pilih peran, cantik sih orangnya.”
Belum lagi judul untuk click bait.
Lima perempuan cantik yang bisa bikin Ronaldo berpaling dari Georgina
Atau
Atlet Voli Cantik Mengaku Ingin Jadi Barbie
Dstnya, dstnya.
Tak heran bila pandangan masyarakat masih berpegang bahwa cantik atau penampilan fisik menawan menjadi standar untuk menilai berharganya seorang perempuan. Seperti sebuah privilese. Bukan bagaimana karakternya, apa latar belakang pendidikannya, berbagai prestasi atau pandangannya.
Perempuan cantik digadang-gadang lebih cerdas, lebih lucu, lebih supel, lebih sehat dan lebih sukses. Pandangan ini menempatkan mereka pada posisi menguntungkan dalam dunia kerja, koneksi yang lebih terjamin, lebih bisa memilih berbagai alternatif, populer dalam interaksi sosial, bahkan hal yang paling mendasar, diperlakukan sebaik-baiknya sebagai manusia. Seolah yang buruk rupa, tak ada artinya, bahkan keberadaannya sebagai manusia sekali pun.
Menyedihkan ya, tapi begitulah kenyataannya. Tak heran, ketika lewat sebuah iklan berbagai kompetisi di Instagram dengan salah satu kategori, mencari perempuan paling cantik atau lelaki paling ganteng, saya langsung bertanya-tanya; kok, sudah masuk era 5.0, masih ada saja kompetisi yang menilai kualitas fisik?
Meski alih-alih penyelenggara mungkin mengklaim, nantinya pemenang adalah mereka yang terkategori Beauty with Brain; saya makin tak nyaman lagi. Bukankah hal itu sama dengan frasa ‘buruk’ yang seolah membenarkan perempuan tak pernah diplot untuk memiliki kecerdasan? Atau dengan bahasa percakapan, tak apa-apa bodoh asal cantik.
Satu hal yang pasti, apakah pembaca lelaki bersedia mengakui perempuan yang memiliki kecantikan dan kecerdasan adalah Big Combo; karena (mungkin) bersinggungan dengan insekyur lelaki?
Cantik dari Masa ke Masa
Orang-orang Yunani Kuno percaya bahwa proporsi sempurna di mana letak mata, alis, hidung, mulut adalah kunci kecantikan perempuan. Nama yang disebutkan seperti Aspasia dan Phryne-yang lalu dikenal dengan nama Aphrodite Anadyomene, malah berasal dari perempuan pekerja rumah bordil, bukan kalangan bangsawan, yang lebih memerhatikan bentuk tubuh.
Dari patung peninggalan masa itu yang ditemukan, justru tidak langsing tetapi besar dan berlekuk. Hal ini sekaligus menunjukkan status bahwa pemilik tubuh demikian dari kalangan kaya.
Bergeser ke Dinasti Han, ada tradisi perempuan membebat kakinya agar tidak membesar dan melebar. Perlukaan pada area kaki seperti itu sungguh tidak manusiawi. Saya sempat berasumsi istilah Beauty is Pain jangan-jangan bermula dari era ini.
Diikuti perempuan abad 17 yang membebat pinggangnya dengan korset karena standar lingkar pinggang harus tak lebih dari 50cm. Obsesi memiliki lingkar pinggang kecil ini masih terus berlangsung, meski saya setuju bila dikaitkan dengan kesehatan.
Di media sosial saya menemukan ada kriteria lingkar pinggang malah selebar kertas A4 bila ditempelkan di punggung. Wow! Padahal dari pengalaman seorang teman yang pernah pingsan saat makan malam bersama kekasihnya di resto, karena sepanjang acara pinggang dan perutnya sesak dengan korset yang ‘menyiksa’.
Berlanjut ke generasi Baby Boomers. Mereka mahfum kecantikan legend seperti Marylin Monroe, Greta Garbo, Grace Kelly maupun Inggrid Bergman. Klasik, demikian komentarnya. Lalu, nama Audrey Hepburn, Elizabeth Taylor, Lady Di, dstnya hingga Keira Knightley, Song Hye Kyo, Dian Sastro, telah memperluas skala perbedaan kecantikan itu dari masa ke masa.
Tak dipungkiri konstruksi pandangan masyarakat dan evolusi produk kecantikan yang membangun struktur pemikiran perempuan tentang bagaimana rupa cantik yang seharusnya.
Tak heran, produk industri yang merambah masalah perempuan tak habis-habisnya berinovasi. Untuk mata berwarna yang ‘cantik’ perempuan rela menggunakan lensa kontak artifisial. Padahal, tanpa mempertimbangkan kecocokan dan kebersihan saat menggunakan, acapkali membuat radang dan meningkatkan risiko kebutaan.
Belum lagi tentang warna rambut. Berganti-ganti pewarna rambut kimiawi yang tak selalu aman, bisa merusak struktur dan pigmen rambut, bahkan memungkinkan risiko kanker.
Beauty is Pain menjadi sebuah dark truth dari masa ke masa bahwa untuk menjadi cantik, perempuan memang (wajib) harus merasakan sakit dalam prosesnya, tak bisa tidak, mau tidak mau harus dijalani. Sebuah kenyataan yang tak mengenakkan, walau definisi cantik, kriterianya sangat personal dan tak bisa diperbandingkan.
Cantik versi Saya
Sebagai perempuan yang tak terlahir cantik (lagi-lagi menurut saya), tanpa berpegang pada standar apapun atau manapun, saya sendiri punya tiga kategori.
Pertama, CANTIK YANG PERLU DIRAWAT.
Perempuan ini memiliki struktur fisik yang sudah bagus, cantik sejak lahir. Namun, kecantikan alamiah ini perlu di-maintain agar awet.
Karena menua, garis kerutan, hormon penuaan, kerontokan rambut atau perubahan pigmen rambut yang kini memutih, termasuk efek-efek kehamilan, melahirkan, menyusui, termasuk berkurangnya hormon saat fase menopause, sungguh tak bisa dihindari.
Tanpa perawatan dan pemeliharaan, kecantikan ini bisa berangsur memudar. Komentar terburuk yang mungkin muncul adalah ‘seperti tidak terawat atau terurus’, atau ‘mudanya sih cantik’. Plus, tentu saja kecantikan fisik ini perlu diikuti karakter dan kepribadian yang baik.
Kedua, CANTIK YANG PERLU DIPERJUANGKAN.
Perempuan ini menyadari tak terlahir dengan struktur fisik yang baik. Mungkin hanya bagian mata yang bagus atau rambutnya yang indah atau tubuhnya yang tak bisa menggemuk.
Mereka perlu ekstra dalam menonjolkan kelebihan yang dimiliki dan mengoreksi yang perlu disempurnakan. Dan, itulah gunanya make up, skin care dan perawatan kecantikan lainnya. Komentar terburuk yang mungkin muncul, ‘pasti dia pake filter, aslinya nggak kayak gitu’, atau ‘foto sama aslinya beda!’
Tantangan untuk kategori kedua ini adalah, kondisi kurang pada fisiknya bisa menjadi bumerang, bila dia tak berkarakter baik. Ucapan, ‘muka jelek, hati jelek, bikin ilfeel aja!’ Karenanya, kekurangan fisik diri lebih baik dialihkan perhatiannya pada karakter dan kepribadian yang baik.
Ketiga, CANTIK KARENA BERDAYA
Pernah melihat seorang perempuan yang biasa-biasa saja, tapi ketika dia melakukan sesuatu, menunjukkan karyanya, mereka tampak cantik dan menarik? Mereka pun tampak nyaman dengan tubuh atau fisiknya, bergerak bebas, pun berbicara dengan percaya diri.
Asumsi saya karena ada vibrasi positif yang terpancar dari dirinya, termasuk semangat, hal baik dan kesungguhan melakukan sesuatu. Selama mereka konsisten berkarya, penampilan fisik yang biasa saja seolah tak menjadi hal penting yang perlu diperhitungkan.
Tinggal dirawat benar, dirias dengan tepat, termasuk berpakaian yang sesuai bentuk tubuh, penampilan fisik mereka akan makin setara atau menjadi penyempurna potensi yang ditunjukkan.
*
Lalu, para pembaca mau cantik versi siapa, sewaktu tuntutan publik akan terus berkembang sebagai berikut,
“Dia cantik!”
“Dia cantik, cerdas dan berwawasan.”
“Dia cantik, cerdas, berwawasan, enak diajak ngobrol, dan baik.”
“Dia cantik, cerdas, baik, bikin nyaman, dan wife material.”
“Dia cantik, cerdas, baik, wife material dan tepat kujadikan ibu anak-anakku.”
Dstnya, dstnya.
Seriuskah (masih) mau (terus) mengikutinya sepanjang hidup kita?
Meluruskkan Ihwal Food Additive
SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain
“Make Me a Sandwich” Meme Stereotip untuk Perempuan Sebagai Penghuni Dapur