Tempo hari ada foto-foto viral tentang perilaku orang Jepang mutakhir. Ada sepasang manula sedang melakukan ibadah umrah atau haji. Mereka ‘tertangkap kamera’ dari belakang sedang memunguti sampah di sepanjang tepi jalan ke arah hotel atau tenda tempat mereka menginap.
Lalu ada seorang perempuan juga sedang melakukan ibadah di suatu lapangan di Mekah atau Madinah. Sang perempuan nampak sedang membantu beberapa orang petugas kebersihan memunguti sampah yang berserak setelah ditinggalkan oleh jema’ah lain.
Yang masih segar dalam ingatan adalah foto 2 orang remaja wanita memunguti sampah di jalan, di bawah pepohonan sepulang menonton Asian Games di Jakarta.
Seorang teman iseng berkomentar dengan nada bertanya: “Orang yang mengapload foto itu di medsos, setelah motret dan terkagum-kagum terhadap remaja Jepang itu,…trus bantuin mungutin sampah, gak yee..?!”
Adakah semua itu pencitraan. .?
Terserah sampeyan menilainya, dunsanak.
Ada 2 ciri penting yang selalu mengingatkan kita kepada bangsa Jepang. Yaitu: Seppuku (dunia lebih mengenalnya dengan: hara kiri) dan Kamikaze.
Ke 2 hal itu adalah tentang bunuh diri. Bukan sembarang bunuh diri. Tapi bunuh diri untuk menjaga kehormatan.
Seppuku adalah tindakan bunuh diri untuk menjaga kehormatan.
Seorang Samurai adalah semacam kesatria yang dipercaya untuk menjaga keselamatan pejabat negara atau bangsawan. Samurai tak cuma hebat dalam hal main pedang dan beladiri, tapi juga harus pintar, terdidik dan-yang paling penting-selalu menjaga kehormatan.
Samurai, biasanya bekerja atau tepatnya mengabdi kepada seorang bangsawan.
Samurai yang tak mempunyai induk semang disebut: Ronin. Samurai selalu membawa 2 buah pedang. Pedang yang lebih panjang disebut Katana. Yang lebih pendek disebut Tanto. Orang sering salah kaprah, menyebut samurai, padahal yang dimaksud adalah katana.
Katana digunakan untuk bertarung membela kehormatan bangsawan dan membela diri. Jika tersudut atau kalah, misalnya katana mencelat entah ke mana atau patah-mematah, maka pendang pendek bernama tanto itulah yang digunakan untuk pertahanan terakhir atau bunuh diri.
Jika sang samurai mengaggap dirinya gagal menjaga kehormatan, gagal melakukan tugas, tak becus sebagai samurai, maka ia akan menebusnya dengan melakukan seppuku.
Upacara seppuku dilakukan dengan sangat khidmat. Seorang samurai telebih dulu mandi dan membersihkan seluruh tubuhnya. Jika sudah bersih, sang samurai nengenakan pakain serba putih. Makan dengan makanan paling enak yang disukai dan menggunakan peralatan makan terbaik.
Setelah makan, minum, sang samurai duduk di suatu ruang terbuka dikelilingi para pejabat negara dan didampingi oleh seorang ahli pedang yang nanti akan memenggal kepalanya. Lalu sang samurai menulis kata-kata terakhir, berupa puisi. Meletakkan kuas, menggantinya dengan tanto, pedang pendek yang akan merobek perutnya. Dengan dagu terangkat penuh hormat, lalu tanto di hujamkan dengan mantap ke perut agak ke kiri, perlahan tapi bertenaga.
Setelah itu, tanto merobek ke kanan dan sedikit ke atas, supaya usus terburai. Lalu tanto diletakkan di piring bekas makan sang samurai.
Setelah itu seorang ahli pedang menyelesaikan upacara itu dengan memenggal kepala sang samurai. Kepala sang samurai tak boleh terlepas dari lehernya. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang ahli pedang untuk menyelesaikan tugas itu.
Jika seorang samurai atau ronin tak mempunyai seorang ahli pedang sebagai pendamping, maka kematian akan lebih perlahan dan menyakitkan, karena usus terburai dan sang samurai atau ronin tewas kehabisan darah.
‘Bunuh diri demi kehormatan’ yang lain adalah kamikaze.
Sebetulnya arti harafiah kamikaze adalah: hempasan angin kencang. Dalam idiom kita mungkin setara dengan angin puyuh, angin topan atau angin puting beliung.
Kamikaze adalah tindakan. Ketika seorang pilot pesawat tempur ‘ditugaskan’ untuk meledakkan dengan cara menghujamkan pesawat yang dipilotinya ke badan kapal induk musuh.
Biasanya pilot yang melakukan tindakan kamijaze, berputar-putar terlebih dulu sebelum menghujamkan pesawat tempurnya, supaya tepat mengenai sasaran yqng sangat krusial, misalnya perbekalan amunisi atau melumpuhkan senjata yang penting di kapal musuh.
Entah bagaimana dulu pada perang dunia ke-II, seorang Jenderal (Yamamoto?) bisa mendoktrin pasukan pilot pesawat tempurnya untuk melakukan tindakan itu.
Itulah tindakan ‘menjaga kehormatan’ di zaman dulu di Jepang.
Sekarang? Paling-paling pejabat Jepang akan mundur dari jabatannya sebelum diadili dengan menyembunyikan wajah sedemikian rupa supaya tak tertangkap kamera.
Bukannya menebar senyum sumringah sambil dadah-dadah…
Atau senyum-senyum berkelit dengan berbagai alasan..
Senyum teruss..
Aries Tanjung