Kenaikan Biaya Kuliah yang Ugal Ugalan

Education

Ugal ugalan karena naiknya mencapai 350%. Padahal mutu pendidikan tinggi Indonesia masih dipertanyakan. Kampus-kampus Indonesia belum bersaing di kancah internasional. 19 Kampus Universitas Negeri Indonesia terbaik masih di urutan ke 231 hingga 1401 di dunia.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

ANOMALI KAMPUS YANG UGAL-UGALAN – Ada anomali, dari keinginan penentu kebijakan negara kepada generasi muda dan praktik lapangan orang orangnya di Kementrian Pendidikan – Ristek, khususnya terkait pendidikan tinggi. Kepala negara dan para menterinya optimis kita menghadapi “generasi emas” menyongsong “bonus demografi”, tapi pintu pendidikan tinggi menyempit aksesnya – lantaran biaya untuknya menjadi sangat mahal.

Bagaimana melahirkan generasi emas, jika pendidikan menengah hanya “pengantar umum” menuju perguruan tinggi. Tanpa skill. Lapangan kerja menuntut kelulusan sarjana pengisinya. Padahal, kita memasuki zaman A.I. – ketika pekerja berpengetahuan (knowlege worker) lah yang menentukan perubahan negara dan kesejahteraannya, dan lapangan kerja menuntut pengetahuan yang semakin kompleks.

Sekadar lulusan SMA, bisa jadi apa?

Memang banyak orang sukses dengan ijazah sekolah menengah – setelah gigih berwiraswasta. Para inovator yang kini jadi orang superkaya – bahkan drop out – seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, Michael Dell, Ted Turner. Tapi itu bukan gambaran umum. Berapa prosentase mereka di tengah populasi pekerja? Sukses mereka sangat kasuistis.

Demo mahasiswa akibat mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) – foto: ist.

Pendidikan tinggilah yang menjadi pelicin jalan sukses, dan mengubah nasib bangsa. Bahkan China berubah dari negara miskin terbelakang menjadi makmur dan maju, setelah mengirimkan ratusan ribu warganya untuk menempuh pendidikan di kampus terbaik di Amerika dan Eropa. Jepang bangkit dari kalah perang menjadi negara industri baru karena pendidikan juga.

Tokoh tokoh elite negeri ini pun yang kini menduduki jabatan penting – meraih pendidikan di universitas terbaik. Secara umum, pendidikan tinggilah yang memutuskan rantai kemiskinan mereka.

Sehingga saya pun jadi heran dengan pernyataan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebut pendidikan tinggi sebagai “pendidikan tersier, sehingga tidak wajib”.

Menurut saya, pernyataan tersebut kian aneh.

SEBAGAI orangtua yang masih menanggung biaya pendidikan anak anak di perguruan tinggi dan menengah, saya terkena dampak langsung kebijakan baru ini dan mempertanyakan.

Sementara alokasi anggaran negara terus meningkat, hingga Rp.665 triliun per tahun atau 20% dari APBN keseluruhan, tapi pendidikan semakin sulit dijangkau oleh warga kebanyakan. Pendidikan tinggi semakin elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.

Bagaimana remaja miskin mengubah nasib mereka, jika untuk kuliah biayanya meroket saat ini. Bayangkan kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di Unsoed (Universitas Sudirman, di kampung saya, Banyumas) untuk mahasiswa baru sampai 350%.

Orangtua yang ancang ancang membiayai kebutuhan dengan asumsi kenaikan 10-20% langsung lemas. Pintu perguruan tinggi otomatis tertutup untuk mereka. Bukan hanya orang miskin, bahkan warga yang kecukupan saja, tersentak dengan kenaikan 350%. Tak heran jika, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menyebut uang UKT di banyak kampus itu ugal-ugalan. Sebab selain meroket, juga dilakukan di tengah proses belajar mahasiswa.

DIBANDINGKAN dengan negara ASEAN lain, warga Indonesia tergolong rendah partisipasinya di perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS tahun 2023, angka partisipasi kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang 43 persen, Thailand 49 persen, dan Singapura 91 persen. Alih alih mengejar ketertinggalkan dengan biaya terjangkau, malah kampus kampus negeri kompak menurunkannya dengan tarif baru yang super mahal.

Tak bisa dielakkan, rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya.

Di sisi lain, selain mahal, mutu pendidikan tinggi Indonesia masih dipertanyakan. Meskipun biayanya terus melangit, kampus-kampus Indonesia belum bersaing di kancah internasional. Times Higher Education mencatat 19 kampus negeri dan Universitas Indonesia (UI) sebagai kampus Indonesia dengan ranking dunia tertinggi hanya berada di urutan 237 dunia dan 1401 dunia.

KENAIKAN BIAYA, untuk kebutuhan apa pun, wajar. Tapi mengapa harus gila gilaan? Ugal ugalan. Padahal terkait pendidikan, sebagai syarat wajib kemajuan bangsa.

Ngeri membayangkan jika bangunan kampus menjadi “mall” megah, yang menampilkan etalase barang impor dan mewah, dimana warga umumnya hanya lalu lalang, sebagai penonton dan menjadikannya tempat rekreasi belaka?

Semoga Komisi X yang membidangi pendidikan di DPR RI benar benar mewakili rakyat – tak hanya mengeluh dan mengecam, tapi tak ada daya untuk mengubah dan membatalkannya. ***

S

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.