Kuliner Nusantara, Bir Kotjok Bogor

Bir Kotjok, tak beda jauh dengan Bir Pletok ataupun Wedhang Uwuh – Foto Heryus Saputro Samhudi.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 03/06/2022 – “Bapak ini gimana, sih? Masa anak mau dikasih bir? Kalo mabok gimana?” protes Ibu kepada Bapak suatu siang tahun 1960an, di seberang jalan gerbang utama Kebun Raya Bogor (KRB). Pasalnya, usai jalan-jalan keliling KRB dan Museum Zoologi, Bapak memampirkan kami ke depan Kelenteng Hok Tek Bio (Vihara Dhanagun) di seberang depan KRB untuk menikmati Bir Kotjok.

Syukurlah Bapak segera meredakan protes Ibu, sambil menjelaskan bahwa namanya memang memakai kata ‘bir’, tapi sama sekali tidak memabukkan dan tidak mengandung alohol. Bahkan Bir Kotjok diracik dengan menggunakan ramuan yang berkhasiat baik bagi kesehatan tubuh peminumnya, yakni menggunakan bahan dasar rimpang jahe (Zingiber officinale Rosc) dan tumbuhan berkhasiat obat lainnya.

Untuk lebih menenangkan hati Ibu, bahkan Bapak meminta Si Mamang menjelaskan lebih rinci bahan minuman yang dijualnya, sekaligus bertanya mengapa sampai diimbuh kata bir? Ibu tersenyum mengangguk-angguk mendengar kisah Bir Kotjok. Ibu juga segera ingat Tanah Betawi, kota kelahirannya, yang juga punya minuman tradisional khas bernama Bir Pletok. Apa bedanya?

Budaya meracik minuman sehat dari jahe bukan hal baru di Indonesia. Sejak zaman Sriwijaya hingga Majapahit, bahkan di abad-abad sebelumnya, banyak literasi mengungkap keberadaan minuman sehat dari jahe, yang secara umum kita kenal sebagai Air atau Wedhang Jahe.

Zaman bergerak maju, pemahaman orang akan budaya kuliner kian terbuka, dan Air Jahe tersaji pun dengan berbagai varian.

Bir Kotjok Bogor didagangkan sejak tahun 1965

Air Jahe yang dicampur cairan gula ditambahi kue-kue bola ketan ukuran kelereng, muncul dalam budaya kuliner Jawa sebagai Wedhang Ronde. Kehadiran para pelaut (scout) di Bandar Jakarta tempo doeloe juga menghasilkan jenis minuman hangat segar yang populer sebagai Sekoteng (dari kata Scout), yang tak lain adalah air jahe manis yang diimbuhi irisan roti tawar, rebusan kacang ijo dan goreng kacang tanah.

Budaya kuliner Betawi juga punya Bir Pletok yang bahan ramuannya sama persis dengan Wedhang Uwuh di telatah budaya Yogyakarta dan sekitarnya. Bedanya hanya terletak di cara penyajiannya. Bir Pletok disajikan sudah dalam bentuk minuman jadi, sementara Wedhang Uwuh umumnya dijual masih dalam ramuan bungkus/kemasan, dan baru diseduh air panas bila ada pemesan.

Berbeda dengan Wedhang Jahe, Ronde dan Sekoteng yang air rebusannya bening kekuning-kuningan. Bir Pletok atau Wedhang Uwuh tersaji dalam nuansa bening merah marun, tersebab penggunaan kayu pohon secang (Caesalpinia sappan L.). Di Gayo Aceh. Batak, Makassar dan bahkan di Malaysia, secang disebut sepang. Maka masyarakat menyebut minuman serupa Bir Pletok itu sebagai Air Sepang.

Sebagaimana Air Sepang, Bir Pletok dan Wedhang Uwuh, Bir Kotjok Bogor juga menggunakan sedikit irisan kayu secang, hingga menghasilkan air rebusan dengan warna kemerah-merahan, walau tak semerah Bir Pletok. Ramuan lainnya sama dengan minuman berbasis jahe lainnya, yakni kulit kayu manis, serai wangi dan kapolaga, plus gula pasir dan garam secukupnya.


Zaman terus berlanjut. Budaya kuliner kian beragam bentuk dan modelnya. Tapi siapa mengira bila pada siang menyengat itu (10/05/2022) saya masih menemukan (lagi) Bir Kotjok di Jalan Surya Kencana – Kota Bogor, persis di seberang gerbang utama KRB, tidak jauh dari lokasi Kelenteng Hok Tek Bio yang (sejak Mas Presiden Joko Widodo berkantor dan tinggal di Istana Bogor) kini kian tertata apik.

Bir Pletok konon sudah ada sejak masa Pakuan Pajajaran – Foto Heryus Saputro Samhudi.

Siang itu saya dan Resti dicangking tiga penyair (Mas Adri Darmadji Woko, Eddy Pram Duane, dan Lily Multatuliana Iskandar yang teman sekelas Resti di SMPN 1 dan SMAN 2 Bogor) blusukan ke berbagai spot tua di Kota Bogor, diakhiri dengan mampir ke sentra kuliner di Pasar Bogor Lama dan Jalan Suryakencana yang kini punya pedestrian bagus, dan (antara lain) menemukan lagi Bir Kotjok.

Eman, si pedagang, adalah generasi ketiga pewaris resep Bir Kotjok Bogor Si Abah yang memulai usahanya tahun 1948. Abah yang dimaksud, dan kini sosoknya dijadikan ikon ‘bir dingin’ itu, tak lain adalah kakeknya dari pihak ayah. Dulu, Abah biasa dapat panggilan meracik minuman itu di acara perayaan pernikahan, khususnya kaum Tionghoa. Karenanya juga sempat dikenal sebagai Bir Penganten.

Selain terima order, Abah juga berkeliling ke tempat-tempat keramaian, semisal di KRB di tiap Minggu, dan tahun 1965 mulai mangkal di sekitar Jalan Suryakencana. Sejak itu dikenal Bir Kotjok Bogor si Abah, yang tahun 1980-an sempat dipegang sang bapak, dan mulai tahun 2008 resep tradisional racikan keluarga itu resmi diturunkan kepada Eman.

Kenapa disebut Bir Kotjok? Karena minuman sehat berbahan dasar jehe itu, disajikan dalam keadaan dingin dengan remukan es-batu, dan dituang ke dalam eskan atau cangkir kaleng besar bertutup, lalu dikocok-kocok sejenak, sebelum kemudian dituang ke dalam gelas saji. Hasilnya? Akan terjadi proses persenyawaan kimia. Ada busa tebal terkumpul di atas wedhang, dan sepintas memang mirip bir. ***

03/06.2022 PK 14:47 WIB.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.