Meditasi di Tanah Suci

Oleh HENRI NURCAHYO

HARI-hari ini adalah saatnya umat Islam menjalankan ibadah haji. Meski dihambat oleh pandemi Covid, namun pelaksanaan rukun Islam kelima ini masih tetap berlangsung, meski amat sangat terbatas jamaahnya. Saya memang belum pernah menunaikan ibadah haji, namun saya punya pengalaman tersendiri saat umrah atau disebut haji kecil.

Bagi saya, menjalankan ibadah umrah bukan sekadar ritual Islam biasa melainkan sebuah laku meditasi di tanah suci. Tidak sekadar menghapal doa-doa dan bacaan yang entah apa artinya, namun bagaimana menjalani ritual itu dengan khusuk dan hikmat.

Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa meditasi itu identik dengan Hindu dan Buddha. Padahal makna sesungguhnya adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita sehari-hari. Barangkali dalam Islam bisa disamakan dengan I’tikaf, meski tidak sepenuhnya begitu. Satu hal yang diajarkan dalam meditasi adalah, bagaimana kita mampu melepaskan diri dari semua kemelekatan (harta, anak, istri, jabatan dan sebagainya).

Retret Meditasi

Dua tahun sebelum umrah, kebetulan saya ikut retret meditasi Vipassana di Brama Vihara Arama, Singaraja, Bali, selama sepuluh hari. Aturannya adalah, tidak boleh bicara, tidak boleh membaca, tidak boleh memikirkan apapun. Semua aktivitas hanya boleh meditasi. Here and now. Itu prinsipnya. Meditasi bukan berarti harus duduk bersila dan memejamkan mata. Itu meditasi Samanta namanya. Kali ini meditasi Vipassana. Kita bisa melakukan apa saja dengan penuh penghayatan dan konsentrasi. Meditasi bisa dilakukan sambil makan, berjalan, duduk dan sebagainya. Bahkan tidur pun bagian dari meditasi. Karena substansi meditasi adalah konsentrasi pikiran. Maka saat berjalan sejauh sepuluh meter saja bisa dilakukan dalam tempo lima menit. Saking pelannya. Meskipun berjalan cepat juga tidak dilarang.

Sepulang dari retret di Bali, ada teman yang bertanya; “Apakah sampeyan pindah ke agama Buddha?”

Tentu saja tidak. Justru selama retret 10 hari, saya bisa mengerjakan sembahyang lima waktu secara penuh tanpa bolong satupun. Hanya saja waktunya saya kira-kira, sebab selama berada di vihara yang terletak di ketinggian bukit itu tidak pernah terdengar suara azan sama sekali dari toa sebagaimana di rumah. Saya juga bisa sembahyang secara tuma’ninah, full konsentrasi, karena saya melakukannya sebagaimana meditasi. Semua gerakan dan bacaan dalam sholat betul-betul saya hayati. Inilah manfaat belajar meditasi. Kalau toh saya mbolos Sholat Jum’at, semoga Allah mengampuni, karena memang tidak ada masjid yang dapat saya jangkau dari lokasi vihara ini. Maklum, ini di Bali.

Berangkat dari pengalaman meditasi itulah maka saya mempraktekkannya ketika menjalankan ibadah umrah di tanah suci Makkah. Ketika ritual tawaf mengelilingi Ka’bah semula saya melafalkan doa-doa sebagaimana diberi tahu oleh pembimbing dari travel, tetapi saya pikir-pikir, “kok jadi teknis banget sih.” Maka saya abaikan bacaan itu tetapi saya konsentrasi terhadap semua gerakan kaki saat melangkah, konsentrasi bahwa saya sedang mengarus bersama ratusan Jemaah lain yang sama-sama tawaf. Saya juga konsentrasikan penuh pikiran saya terhadap batu besar hitam bernama Ka’bah yang selalu berada di sebelah kiri.

Gerakan Hubungan Dengan Tuhan

Saya menikmati betul bagaimana rasanya berjalan berdesak-desakan dengan banyak orang dari berbagai negara mengelilingi Ka’bah. Gerakan memutar ini berlawanan dengan arah jarum jam, yang dalam konsep Hindu dan Buddha namanya Prasawya. Gerakan ini dimaksudkan untuk membangun hubungan vertikal dengan Tuhan. Sedangkan gerakan searah dengan jarum jam namanya Pradaksina, ditujukan untuk membentuk moralitas. Keliling candi Borobudur misalnya, dilakukan dalam gerakan pradaksina.

Sementara dalam budaya Jawa juga ada tradisi berjalan melingkar berlawanan dengan arah jarum jam yang dilakukan pada perayaan malam satu Suro. Hal ini dimaksudkan untuk membangun hubungan ilahiah antara manusia dengan Tuhan. Prasawya dalam tradisi Jawa ini dilakukan dengan cara mengitari benteng.

Nah saya menganggap sedang melakukan gerakan Prasawya karena makna tawaf ini adalah sebuah ritual untuk membangun hubungan vertikal dengan Tuhan. Bukankah Ka’bah atau Baitullah secara harafiah berarti “rumah Allah”. Saya mencoba membayangkan sedang berjalan mengelilingi sebuah rumah dimana Tuhan bersemayam di dalamnya.

Bagai Sebatang Kayu Hanyut di Sungai

Saya berkonsentrasi penuh terhadap semua langkah saya, semua gerakan saya, semua ucapan saya, kesemuanya adalah demi Allah semata. Maka doa yang saya gumamkan sambil menjalankan tawaf hanyalah: Subhanallah walhamdulillah walaillahallallah, allah huakbar.” Itu saja. Saya lakukan terus menerus, berulang-ulang tanpa saya hitung, penuh konsentrasi, bahkan saya sampai menangis. Dan ketika saya tidak bisa menangis lagi, perasaan saya jadi plong. Lega. Hilang sudah semua beban. Saya terus menggumamkan satu-satunya bacaan itu. Terus mengarus bersama ratusan jamaah lainnya. Mengarus saja, seperti sebatang kayu hanyut di sungai.

Begitu pula ketika saya menjalankan ritual Sya’i, yaitu berjalan hilir mudik antara “bukit” Syafa dan Marwah. Saya hanya berjalan saja, mengarus bersama ribuan jamaah lainnya sambil membayangkan betapa susahnya Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim, berlari-lari mencari mata air di antara kedua bukit itu. Sayang sekali jarak sekitar 400 meter itu telah dikungkung oleh sebuah bangunan mewah dan berpendingin. Padahal, andaikan tetap dibiarkan terbuka terkena sinar matahari langsung justru jamaah lebih bisa merasakan apa yang juga dialami oleh Siti Hajar. Kedua bukit di masing-masing ujung itu sudah berubah menjadi gundukan batu-batu yang menurut saya kehilangan nilai sakralnya. Terus terang, dibanding ritual tawaf, saya kurang merasakan sentuhan tersendiri.

Mendapakan Ketenangan Bathin

Lantas, apakah ibadah umrah yang saya lakukan ini dianggap ”salah” karena menghubungkan dengan ritual Hindu Buddha? Semoga saja tidak. Tapi kalau toh dianggap salah, saya percaya Tuhan Maha Pengampun. Bagi saya, ibadah umrah adalah sebuah ritual yang sakral, bukan menjadi perjalanan wisata sebagaimana yang dipromosikan oleh biro travel. Sehingga sepulang dari umrah saya bisa mendapatkan ketenangan batin, bukan sekadar kesenangan batin….

(foto-foto dokumentasi pribadi dan viva)

Avatar photo

About Henri Nurcahyo

Penulis, Ketua Komunitas Seni Budaya Brang Wetan, Pengajar Mata Kuliah Kajian Panji di Universitas PGRI Adibuana (UNIPA), tinggal di Sidoarajo.