Entah mengapa wisatawan dari negara-negara muslim dari Timur Tengah tidak tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat wisata halal, katakanlah seperti Aceh. foto Herman Wijaya.
Oleh HERMAN WIJAYA
USAI mengikuti sebuah acara di Banda Aceh, saya memutuskan untuk pergi ke Sabang di Pulau We, untuk melihat bagian paling Barat Indonesia dan obyek wisata yang ada di sana.
Pukul 17.00 ferry tiba di Pelabuhan Sabang. Selesai makan, saya menaiki sepeda motor sewaan menuju Kilometer Nol Indonesia di Pulau We. Jalannya mulus, jarang kendaraan yang lalu Lalang. Perjalanan kira-kira 30 menit, saya sampai di Kilometer Nol. Membeli tiket lalu masuk ke area tugu yang terkenal itu. Pengunjung tidak telalu banyak, hanya sekitar 10 orang. Mungkin semuanya keluarga.
Usai melihat-lihat sebentar, saya memutuskan mencari penginapan. Kebetulan ada sebuah nama yang direkomendasikan oleh seseorang. Dia mengelola penginapan di Pantai Iboih.
Sebelum tidur saya berjalan menelurusi jalan setapak di tepi pantai, mendengar orang bermain gitar. Rupanya suara itu dari sebuah kafe. Ada seorang anak muda lokal yang sedang main gitar, di harapan 4 orang turis asing (bule). Walau pun cukup terkenal, Pantai Iboih tidak terlalu ramai turis asing.
Subuh esoknya saya kembali ke Pelabuhan, untuk mengejar kapal penyeberangan. Lagi, penumpang ferry juga tidak telalu banyak. Tetapi saya melihat ada 3 orang gadis tak mengenakan jilbab. Nampaknya wisatawan yang datang ke Pulau We.
Tanpa kesan yang terlalu mendalam, saya meninggalkan Pulau We. Sesampainya di Pelabuhan Ulelhue, sopir becak yang saya tumpangi sehari sebelumnya sudah menunggu. Dia menawarkan untuk melihat beberapa obyek wisata di Aceh, seperti kapal penyuplai listrik yang terbawa gelombang tsunami dan kini jadi obyek wisata, Musium Tsunami, serta tempat kubah Masjid yang terbawa gelombang saat tsunami, di Lokngha.
Dari ketiga obyek wisata yang saya datangi itu, tidak nampak kesan sebagai sebuah obyek wisata, karena jarang sekali wisatawan yang datang, baik warga lokal maupun wisnus dan wisman. Dalam kacamata saya sebagai wisatawan, terus-terang, obyek-obyek itu memang tidak menarik!
Pariwisata di Provinsi Aceh sejauh ini memang kurang bergeliat. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menyatakan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) mengunjungi Provinsi Aceh sepanjang 2019 mencapai 34,4 ribu orang. Saat pandemi begini jumlahnya jelas menurun.
Secara kumulatif dari Januari hingga Desember 2019, wisman terbanyak berasal dari Malaysia sebanyak 19.642 orang, kemudian Inggris 3.075 orang, Amerika Serikat 1.373 orang, Jerman 1.189 orang, dan Tiongkok 1.015 orang.
Mengapa pariwisata Aceh kurang diminati wisatawan mancanegara?
Aceh, yang sekarang bernama Nagroe Aceh Darussalam, memang tidak memiliki aspek lengkap yang dituju oleh wisatawan. Hukum Syariah yang diberlakukan di Aceh, menyebabkan wisatawan menghadapi berbagai pembatasan. Tidak mungkin wisatan bisa sebebas di Bali atau Lombok pada wilayah tertentu.
Di Aceh tidak ada tempat hiburan. Bahkan bioskop pun tidak ada lagi. Pasangan non muhrim dilarang makan atau ngopi semeja di Aceh. Sementara transportasi untuk menjangkau obyek-obyek wisata alam di Aceh juga sangat mahal karena letaknya yang berjauhan. Hanya wisatawan yang memiliki minat tertentu saja yang datang ke Aceh. Misalnya untuk menyelam di Pulau Rubiah, melihat orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser.
Kuliner Aceh memang terkenal enak. Tetapi tanpa harus ke Aceh pun orang di Jakarta bisa menemukannya di berbagai tempat.
Pariwisata merupakan sumber devisa penting bagi suatu negara. Sebelum pandemi, devisa yang dihasilan dari pariwisata Indonesia mengalahkan migas.
Sebuah negara atau daerah yang memiliki pariwisata hebat, rakyatnya dapat hidup dengan sejahtara.
Thailand, Selandia Baru, Islandia, Qatar, Meksiko dan Islandia adalah negara-negara yang penghasil terbesarnya dari pariwisata. Bali di Indonesia, menjadi daerah yang hidup karena pariwisata.
Namun jangan bicara halal / haram terkait pariwisata Bali. Daya tarik Bali adalah, selain obyek wisata yang melimpah, seni dan budaya lokal yang dipengaruhi oleh Agama Hindu. Dari aktivitas modern hingga mendekati alam tersedia di Bali. Selain itu wisatawan juga merasa lebih bebas dalam beraktivitas.
Wisata Halal
Mengingat besarnya potensi pariwisata di Bali, Menteri Pariwisata Sandiaga Uno berkali-kali menyampaikan agar Bali juga menyediakan wisata halal, bagi wisatawan muslim. Alasan Sandi, ada 1,8 miliar muslim dunia yang aktif berwisata keliling dunia.
Layanan pariwisata halal — yang dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) — meliputi hotel tempat wisatawan menginap, objek pariwisata dan aksesibilitas, untuk memberikan pengalaman terbaik bagi turis Muslim.
Tidak dijelaskan secara rinci wisata halal yang seperti apa akan diterapkan di Bali, mengingat semua obyek wisata di Bali terbuka untuk umum.
Jika kita ke Bali, sejak menjejakkan kaki di bandara saja, kita akan merasakan nuansa Bali dengan pengaruh Agama Hindunya sangat kuat. Sesajen ada di mana-mana, masyarakat Bali yang kerap menjalankan ritual agama di tempat-tempat umum; hotel yang memiliki pura kecil dan lain sebagainya.
Apakah hal-hal seperti itu harus disingkirkan demi memfasilitasi wisatawan muslim dari mancanegara?
Ada kenyataan yang terasa pahit dialami oleh Indonesia dengan datangnya wisatawan dari Timur Tengah. Kebanyakan yang datang justru mengincar Kawasan Puncak, Bogor. Semua orang sudah tahu apa tujuan wisatawan dari Timur Tengah ke Puncak. Menurut anggota DPR Fadli Zon, wisatawan Timur Tengah lebih tahu Puncak dibandingkan Indonesia.
Entah mengapa wisatawan dari negara-negara muslim itu tidak tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat wisata halal, katakanlah seperti Aceh.
Menjadi tantangan besar bagi Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata untuk membuat wisata-wisata di tempat halal menjadi ramai, bukan menjadikan tempat ramai seperti Bali sebagai Kawasan Wisata Halal. Tanpa turis muslim yang jumlahnya 1,8 milyar di dunia itu, Bali tetap ramai.
Sayangnya sejak dulu pejabat Menteri Pariwisata selalu memasukan nama Bali dalam “proposalnya”, seolah kemajuan pariwisata Bali adalah berkat sentuhan tangannya. Padahal tanpa keterlibatan tangan Menpar, pariwisata Bali tetap ramai. Bali lebih terkenal dari Indonesia di mata turis mancanegara.
Sejauh ini, sebagai Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno hanya menjalankan agenda rutin dan normatif. **