Monolog Pagi Sebatang Pohon

Oleh EFFI S HIDAYAT

Saat jalan pagi, saya selalu senang berjumpa dengan tanaman-tanaman hijau termasuk pohon besar yang berdiri kokoh. Dengan spontan saya menengadah, menjulurkan leher sepanjang yang saya bisa –berusaha menajamkan mata, melemparkan pandangan sejauh-jauhnya ke batas langit lepas di atas kepala saya.

Tak peduli kerap mata saya siwer terpincing silau tertimpa cahaya sinar matahari yang menembus ranting-ranting pohon ‘nakal’ yang menjulur ke sana ke mari tak tentu arah.

Entahlah… buat saya itu indaaaah banget! Amazing! Membayangkan batang yang kecil terjulur, kurus kering, gundul sekali pun tanpa daun (ada pula yang gemuk bahenol bergerumbul dedaunan) kok, bisa, ya, saling bekerja sama topang-menopang tanpa peduli besar dan kecil perbedaan?

Mereka rela menyangga sarang yang dibangun tanpa lelah oleh induk burung sebagai rumah berteduh yang nyaman bagi ‘bayi-bayi’ mereka yang menceriap mencericit menyanyikan lagu pagi pembuka hari.

Daun-daun hijau di sekeliling
tunas muda pun bersorak menyambut kehidupan baru. Rimbun, rindang menaungi saya yang merasa aman terlindungi pula berada di bawahnya. Sungguh keteduhan yang tiada tara saya rasakan….

Sehingga tanpa sadar, saya akan mengamati begitu dekat dan lekat. Jemari saya akan meraba, menelusuri urat-urat batang pohon yang menyembul; merasakan betapa indah denyut nadi kehidupan di dalamnya.
Ya, sebahagia itu saya. Seolah-olah sedang bersua dan berbicara dengan “jiwa tua” yang bijaksana, telaten mengunyah remah-remah pengalaman sepanjang kehadiran usia.

  • “Berapa lama sudah Eyang Puteri, Eyang Kangkung, Mbah… atau apa-lah istilah jiwa tua (saya menganalogikan gender mereka begitu, red. ) telah berdiri kokoh di sini …sendirian menahan terjangan angin badai, hujan yang menerpa, maupun panas membara sang surya?”
  • “Betapa sabar tanpa penat, Eyang tetap bertahan bersikukuh tak menjerit jika ada manusia seperti kami yang tanpa malu datang mengencingi, memangkas,memotong, bahkan memukul, membakar… menembus tubuhmu dengan paku dan palu hanya untuk memasang iklan atawa baliho demi kepentingan mereka semata?”

Dan, pohon besar itu hanya tersenyum menjawab lontaran-lontaran pertanyaan saya. Sambil tetap membiarkan tangan saya di dadanya, sehingga saya merasa hangat dan nyaman berbincang tentang segala.

Ya, ya. Akar-akarnya yang menerancap kuat ke dalam ibu bumi, saya bayangkan adalah pusat keteguhan tekad niat dan hasratnya yang bulat : memberi kehidupan bagi tunas-tunas muda yang tumbuh, membagi perlindungan bagi makhluk lain yang datang di sekitarnya tanpa pernah mengeluh….

Sungguh mulia jiwa pohon tua yang saya rasakan. Sungguhan malu saya bersidekap adem aman nyaman di bawahnya tanpa pernah mau tahu ; betapa selama ini ia telah menjadi payung agung yang tetap tak peduli sebanyak apa pun bintang jasa seharusnya disematkan di dadanya….

Dan, begitulah pagi ini, leher saya terkulai dengan kesadaran penuh menunduk hormat penuh hikmat di bawahnya. Terlebih, jika saya membayangkan betapa keluh dan peluhnya para ilmuwan mencemaskan tentang ancaman “climate change”. Melebihi daripada pandemi yang sedang terjadi.

Mobilitas manusia yang semakin tinggi, penggunaan energi kian tak terduga, berarti tekanan terhadap sumber daya alam pun semakin nyata terasakan. Lihat saja akibat-akibat eksploitasi berlebihan terhadap bumi. Apa dan siapa sejatinya akar penyebab krisis banjir yang melanda AS dan Asia Tenggara. Termasuk, gelombang panas kebakaran hutan yang mencapai rekor di Amerika dan Australia. Dan, jangan lupa : badai angin topan di Afrika dan Asia Selatan baru-baru ini — semuanya tercatat dalam Journal BioScience. Sungguh memprihatinkan suhu panas permukaan laut global (termasuk kebakaran hutan!) yang mencapai rekor peningkatan terus menerus di banyak tempat dan negara terhitung sejak tahun 2019.

Maka, terimalah salam takzim penuh penghormatan dan pengharapan dari saya, wahai para pepohonan tua maupun tunas muda. Tidaklah berlebihan jika saya berharap sedikiiit saja kesadaran terbaik, terutama dari negeri kita sendiri, Indonesia. Di mana tak dapat kita pungkiri, betapa para warganya masih sangat sulit dan ribet tiarap diajak disiplin. Bersiap diri dari segi siaga, eling waspada, menyoal sistem kesehatan, apalagi masalah lingkungan hidup dunia. Jangan sampai, Jakarta pun tenggelam seperti yang telah diramalkan banyak orang….

Berkah dalam.
#marirawatbumi #lingkunganhidup #climatechange #pohon
Foto: fi.

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang