Nagaland

Seide.id – Kemarin, aku menonton saluran Natgeo-Wildlife di Nagaland. Feature tentang habitat di hutan yang diklaim oleh presenternya sebagai salah-satu dari sedikit ‘hutan-perawan’ yang masih tersisa di bumi. Habitat hutannya, yaa sama dengan habitat-habitat yang kita kenal di hutan-hutan hujan di negara-negara beriklim tropis. Ada trenggiling, macan kumbang, beberapa jenis monyet, ular, bermacam unggas termasuk rangkong, kucing hutan dan Harimau. Ada yang jarang kita lihat: red panda. Panda adalah beruang khas China. Red panda menurut para ahli hewan, sebetulnya lebih dekat ke-musang daripada beruang.

Nagaland, melempar ingatanku, paling sedikit kepada 4 hal. Jubing, Dayak, Amy Tan dan Shangri La.

Mari kita mulai dari Jubing. Hobinya main gitar. Main gitarnya menurutku “terlalu jago untuk sekadar hobi”. Dia adalah teman, tepatnya atasanku di tempat kerjaku dulu. “Tentu aku tak ingin seumur hidup menjadi wartawan. Aku ingin melakukan sesuatu yang aku cintai dengan sepenuh hati”. Aku fikir dia hanya bergurau. Ketika selangkah lagi dia menjadi orang nomor 1 di media, tempat kami bekerja, dia malah memilih keluar. Lalu dia memilih ‘jalan pedang’, eh jalan gitar, sesuatu yang dilakukannya dengan sepenuh hati.

“Awalnya memang berat, katanya. Karena terbiasa jadi orang gajian, hahaha”. Tapi sekarang dia sudah menjadi salah-seorang gitaris klasik kondang, sejajar dengan gitaris-gitaris kondang dalam khasanah musik Indonesia. Dengan suatu ciri khas, apa yang disebut: finger-style.

Jubing pernah diundang untuk bermain gitar di Nagaland. Sebuah wilayah ‘antah berantah’ dalam perjalanan kariernya. Baik secara harafiah, yaitu perjalanan yang dilakukan di luar Indonesia sebagai wartawan, apalagi sebagai pemain gitar. Perkenalannya dengan orang yang mengundangnya bermula ketika Jubing main di suatu acara kesenian (antar negara mustinya(?). ‘Kontingen’ dari Nagaland pun main. Lalu, ketua rombongan mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon. Menawarkan main di ‘kampung halamannya’. Tapi, sang ketua rombongan ‘tak bisa menjanjikan apa-apa’. Hanya tiket pergi-pulang saja. Jubing langsung mengiyakan.

“Ternyata…jauuuh, Ries. Dari New Delhi(?), aku musti naik pesawat lagi. Tapi, negrinya indah, menakjubkan. Dan pengalamannya mengasyikkan”, katanya.

Tahukah dunsanak, bahwa Nagaland itu adalah salah-satu Negara bagian India? Tidak? Hehe, tak apa. Karena bahkan menurut Jubing, banyak warga India yang dijumpainya tak tahu bahwa Nagaland adalah bagian dari India, negaranya.

Secara geografis (lihat pera), jika dilihat dari peta, wilayah Nagaland, memang nampak seperti terpisah dari India. Terjepit di antara Nepal dan Bhutan di utara agak ke barat. Cina di utara agak ke-timur, Bangladesh, persis di selatan dan Myanmar di selatan agak ke timur. Bahwasanya Nagaland masih wilayah India, di peta, itu hanya seperti ‘celah kecil’ saja yang menyambung ke-wilayah India. ‘Celah kecil’ di peta itu, tentu dikenyataannya adalah suatu wilayah yang lebarnya beberapa kilometer.

Kata ‘Naga’ dalam Nagaland, bukan berarti naga mahluk mitologi Cina yang mirip kadal raksasa, bersayap, bertanduk mirip tanduk rusa, bersungut panjang, bermata melotot dan bisa menyemburkan api dari mulutnya itu.

Naga yang sesungguhnya himpunan atau terdiri dari beberapa suku itu, berasal dari atau bisa juga diucapkan Na’ka, istilah Myanmar kuno yg berarti: “Orang yg hidungnya memakai anting-anting” atau “orang yang tubuhnya ditindik (juga ditato?).

Nagaland adalah wilayah yang tekstur tanahnya sebagian besar berbukit (dengan ketinggian 2000 sampai hampir 3000 an meter DPL). Sebuah wilayah yang sangat elok. Dengan wilayah hampir sepertiga Jawa Barat dengan populasi 2 juta jiwa, Nagaland adalah wilayah yang jauh dari padat (populasi seluruh India, konon 900an juta jiwa – terpadat di dunia!, Cina 1,2 milyar, tapi bukan yang terpadat, karena wilayah Cina jauh lebih luas drpd India).

Warga Nagaland sebagian besar menempati wilayah yang berbukit nan sejuk. Mereka berburu dan bercocok tanam. Jika kita melihat wajah orang-orangnya, pakaian tradisional, kebudayaan, keyakinan, baik secara sekelebat atau secara detail, tak bisa tidak, kita akan menyamakannya dengan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan ada yang mengatakan: Suku bangsa Nagaland (terdiri dari berbagai suku) dengan suku Seediq di Taiwan adalah ‘saudara’.

Suku-suku di Nagaland memang sangat mirip dengan Dayak. Baik postur, wajah, pakaian maupun senjata tradisional berupa golok panjang yang mirip dengan mandau di Kalimantan. Bahkan ikon burung rangkong! Tapi suku Seediq di Taiwan lebih mirip suku asli Mentawai.

Di antara Nagaland dan Dayak, selain wajah, postur tubuh, pakaian, adat istiadat dan burung rangkong sebagai ikon dan animisme sebagai keyakinan, ada satu kemiripan lagi, yaitu mengayau. Mengayau adalah semacam “mengoleksi” kepala-kepala musuh ketika memenangkan peperangan dalam suatu perang anrar suku. Sekarang, tentu sudah tak dilakukan lagi.

Akan halnya Amy Tan dan Shangri La, hal lain lagi yang mengingatkanku tentang Nagaland.

Orang-orang Cina menyebut Shangri La (2 kata yang ‘terlanjur’ kita ketahui sebagai 1 kata, dan dijadikan nama real estate pada awal-awal real estate dikenal di sini). Shangri La berarti sesuatu yang elok, indah menakjubkan, misterius, agak berbahaya (?), bahkan mungkin mitos tentang surga. Nah orang-orang Cina percaya tempat dengan keelokan seperti itu, ada di bagian selatan Cina. Yaa,… di wilayah antara Cina, Himalaya, India, dan Myanmar. Yaa,… di sekitar Nagaland itu.

Amy Tan, dalam novelnya yang berjudul “Penyelamatan yang sia-sia”, bercerita tentang keelokan yang mengandung misteri. Dia tidak secara spesifik menyebut dan percaya ada atau tidak wilayah yang disebut Shangri La itu. Dalam novelnya, dia bercerita tentang 11 orang ilmuwan, seninam dan petualang yang ingin menjelajahi wilayah yang berbatasan dengan Myanmar itu.

Mereka menyusuri mulai pegunungan Himalaya di wilayah Nepal. Dari Nepal, terus ‘terpaksa’ masuk kembali ke-wilayah Cina, Bhutan,… terus menyusuri Bangladesh, lalu Kashmir. Di perjalanan, dia melukiskan bahwa wilayah yang mereka jelajahi itu, keindahannya belum pernah mereka lihat di mana pun di dunia. Dalam perjalanannya, pemimpin kelompoknya sekaligus pemandu para petualang itu, hilang secara misterius.

Para petualang mulai bingung. Berselisih faham dan berdebat. Bertarung antara nalar kenyataan dengan mitologi dan dugaan-dugaan. Apakah perjalan yang menantang itu tetap akan dilanjutkan atau kembali ke titik awal. Kembali ke-‘peradaban’?

Hari-hari ini (sejak dulu sebetulnya), generasi muda Nagaland mendesak untuk merdeka. Sebetulnya sudah sejak India dimerdekakan oleh Inggris. Entah kenapa India tak mau melepas wilayah itu. Wilayah yang warga India sendiri bahkan tak tahu bahwa Nagaland, tanah berbukit, cantik, yang wilayah dan warganya lebih Myanmar daripada India itu secara administratif adalah bagian dari India.

Ngomong-ngomong… suku Naga yang di dekat Tasikmalaya itu,… apakah ‘saudara’ mereka juga..?

—————————————–

Ilustrasi: 1. Lukisanku tentang suku Dayak di Kalimantan yang mirip suku Nagaland…(akrilik di karton duplex dimounting di papan berukuran: 115x80cm).

Lukisan ini pernah aku pamerkan beberapa waktu lalu di Balai Budaya, Menteng – Jakarta, bersama beberapa pelukis lain. Bertema: “Lokal Jenius”.

Lukisan itu sempat ada yang mempertanyakan: Kenapa lelaki Dayak yang sedang menggigit senjata tajam itu, bagian tajamnya di dalam (sisi yang digigit). Gak salah tuh?

Aku menjawab dengan gurau dan diplomatis (..ngeyel sebetulnya). Aku bilang: “Itu sengaja untuk menunjukkan kesaktian sang lelaki. Tapi sesungguhnya, boleh jadi aku salah..

2 ‘Bercak’ merah itu adalah wilayah Nagaland. Pantas saja jika banyak warga India yang (kata anak milenial) ‘gak nyadar’ jika Nagaland itu adalah bagian dari India.

(Aries Tanjung)

https://seide.id/chiklid/