(Bagian II – Selesai)
Neta S Pane lahir di Medan, pada 18 Agustus 1964. Keluarganya berasal dari Sipirok, Tapanulis Selatan. Ayahnya seorang wartawan. Masa kecilnya sangat prihatin, tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran Kota Medan.
“Di rumah cuma tumpukan koran aja yang banyak,” tuturnya suatu ketika.
Karena melihat kemiskinan keluarganya yang hidup dari penghasilan ayahnya sebagai wartawan, Neta bercita-cita ingin masuk ke dunia film dengan harapan kehidupannya menjadi lebih baik dibandingkan orangtuanya.
Selepas SMA ia merantau ke Jawa. Tidak langsung ke Jakarta, melainkan melanjutkan study ke sebuah akademi publisistik di Yogyakarta. Barulah setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta ia datang ke Jakarta.
Neta menuturkan ketika itu kehidupannya sangat sulit. Dia lalu menemui sahabatnya, Zoel Fauzy Lubis, yang belakangan juga dikenal sebagai wartawan.
Di masa itu Zoel masih berdagang mainan di pasar, dengan cara digelar di pinggir jalan. Sesekali Neta ikut menemani. Ia senang bersama Zoel karena sering diajak makan di rumah makan Padang, walau duitnya pas-pasan.
Bila malam, keduanya sering tidur di atas los-los pedagang di pasar.
Keingginan Neta untuk menjadi bintang film sangat besar. Ia mengikuti casting di beberapa produser film. Namun garis tangannya tidak menjadi artis, dia lalu melamar ke Harian Merdeka bersama Zoel Fauzy Lubis, keduanya diterima bekerja di suratkabar milik tokoh pers BM Diah itu.
Ketika masih menjadi wartawan Merdeka diam-diam melamar ke Pos Kota Grup. Neta diterima di Harian Terbit. Dari sana dia ditugaskan untuk menangani Harian Pos Film. Neta dijanjikan tambahan gaji yang cukup besar bila berhasil meningkatkan tiras Pos Film. Jabatannya sebagai Redaktur Pelaksana (Redpel).
Sebagai Redpel Neta berhasil meningkatkan tiras suratkabar tersebut. Gajinya dinaikan, tetapi kecil sekali. Dia lantas mengundurkan diri dan pindah ke beberapa media lain, sampai akhirnya memutuskan berhenti jadi wartawan setelah mendirikan Indonesia Police Watch (IPW) tahun 2004 bersama Pengacara Johson Panjaitan. Belakangan Neta menangani sendiri LSM yang didirikannya itu, dan dia menjadi Ketua Presidium.
Sebagai Ketua IPW, Neta dikenal berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengkoreksi institusi atau pejabat di kepolisian. Karena itulah ia dengan cepat menjadi sahabat media massa karena siaran pers yang dibuatnya selalu layak terbit / muncul.
Neta pernah mengatakan bahwa IPW tidak memiliki kantor. Kandang Ayam – sebuah tempat berkumpul mantan wartawan dan tokoh-tokoh lintas profesi berkumpul di Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun, Jakarta Timur – menjadi tempatnya menghabiskan waktu atau beristirahat dari kepenatan dan keriuhan Jakarta. Neta sendiri tinggal di Bekasi.
Jika tidak ada kegiatan penting, pergi ke luar negeri atau ke daerah, Neta pasti datang ke “Kandang Ayam”. Di Kandang Ayam pula dia sering menerima tamu-tamunya atau wartawan yang ingin mewawancarai.
Di Kandang Ayam, Neta kerap dijuluki Pangeran Kandang Ayam. Sebab dialah satu-satunya warga Kandang Ayam yang tidak pernah melepas sepatu apabila masuk ke Lantai 2, tempat seluruh penghuni dan tamu-tamu bertemu.
Terlepas dari itu, Neta Saputra Pane adalah lelaki yang sangat murah hati dan dermawan. Penggemar cerutu ini tak segan-segan menawarkan cerutu kepada siapapun bila ia sedang membawa stok cerutunya.
Dalam hal cerutu, Neta bukan hanya konsumen, dia juga berbisnis cerutu. Untuk itu dia pernah mengunjungi tempat pembuatan dan pasar cerutu terkenal di dunia, di Havana, Cuba dan di Spanyol. Dari cerutu itulah, menurutnya, dia bisa membiaya kehidupannya.
Lelaki tiga anak – seorang di antaranya telah memberi cucu — yang sangat menyangi seorang cucunya ini, harus diakui, adalah seorang yang ramah dan ringan tangan dalam menolong orang lain. Ia tak segan-segan berbagai rejeki yang diperolehnya dengan rekan-rekannya di Kandang Ayam atau siapa pun yang dikenalnya.
HUT Neta terakhir yang dirayakan di Kandang Ayam, 18 Agstus tahun lalu, berlangsung cukup meriah. Sebagian besar sahabatnya yang biasa datang ke Kandang Ayam, ikut datang merayakan. Nonnie Rialini Rering, wartawati Sinar Harapan.net membuatkan kue ulang tahun khusus untuknya. Ada sumbangan wine yang datang dan whysky berusia tua. Makanan jelas melimpah ruah. Dan Di tengah-tengah acara, Neta tiba-tiba mengeluarkan bundle uang ratusan ribu rupiah. Semua yang datang, masing-masing menerima lima lembar!
Menjelang lebaran 1 Syawal 1442 H lalu, dia juga membagi-bagikan uang koleksi lembaran Rp.75 ribu kepada semua orang yang menemuinya ketika itu. Semuanya dilakukan dengan ringan.
Kamis (27/5/2021) Neta datang ke Kandang Ayam. Dia sempat bertemu dengan Yosep “Mbah Cocomeo” Erwiyantoro, Ketua Tim Investigasi IPW yang sehari-hari menghabiskan waktu di Kandang Ayam, dan Pak BM, seorang tokoh dari Semarang.
Tanggal 28 Mei 2021 Mbah Cocomeo bersama beberapa warga Kandang Ayam lainnya berangkat ke Pangdaran untuk memenuhi undangan mantan Menteri KKP Susi Pujiastuti. Neta S Pane sendiri tidak ikut.
Sejak itu warga Kandang Ayam tidak pernah lagi bertemu dengan Neta S. Pane. Bahkan telepon genggamnya tidak bisa dihubungi. Tanggal 4 Juni dia berkomunikasi dengan Mbah Cocomeo, mengabarkan dirinya terserang covid, dan minta dibantu untuk mendapatkan tempat perawatan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Beberapa rekan yang memiliki hubungan pekerjaan dengan Wisma Atlit sudah menyiapkan tempat, tetapi akhirnya Neta memilih untuk dirawat di RS. Mitra Keluarga Bekasi Barat.
Tanggal 8 Juni 2021, Neta S Pane memposting status yag mengabarkan dirinya terpapar covid-19. Foto yang ditampilkan ia sudah mengenakan ventilator. Kami semua, dan orang-orang yang mengenalnya mendoakan agar Neta S. Pane dapat melewati saat-saat yang benar itu, dan bisa berkumpul kembali bersama-sama. Namun takdir berkata lain. Rabu, 16 Juni 2021 pukul 10.00 WIB, Neta S. Pane dikabarkan menghembuskan nafas terkahir.
Neta meninggal di RS. Mitra Keluarga Bekasi Barat, dan dimakamkan di TPU Pedurenan Bekasi , sesuai dengan protocol pemakaman covid-19.
Kepergian Neta adalah kehilangan besar bagai warga Kandang Ayam. Neta adalah seorang sahabat, teman berdiskusi, sekaligus pengayom bagi warga di Kandang Ayam.
Namun seperti kata pepatah Cina, “Setiap perjalanan ada akhirnya”. Neta Saputra Pane telah menghakhiri perjalanannya di dunia. Dan dia telah mewarnai perjalannya dengan tinta emas. (*)