Nonton Drama Keluarga Thailand

How To Make03

Film sukses tak selalu lahir dengan ide ide besar penuh adegan fantastis dan kolosal. Drama keluarga yang mencerminkan kehidupan sehari hari yang “related” dengan kita – berpeluang jadi box office. Asal digarap dengan baik. foto foto : GDH559

SEBUAH film drama keluarga dari Thailand membuat kejutan dengan meraup 800 ribu penonton dalam 8 hari penayangan di bioskop kita. Belum pernah terjadi! Bikin penasaran.

Hampir pasti, film drama keluarga ini akan menembus 1 juta pemirsa, karena sampai semalam – ketika saya nonton di Cinépolis – Mall Detos, Depok Town Square Jl. Margonda, ruang Theatre 1, masih penuh. Tak kurang 70% kursi teater terisi.

Hal yang mengejutkan adalah film ini “hanya” berkisah tentang hubungan cucu dan nenek dan kronik seputar warisan. Kisah “biasa” saja. Namun dengan penggarapan yang luar biasa, menjadikan penayangannya mendapat 131 layar di CGV (655 pertunjukan), 79 layar Cinepolis (399 pertunjukan), dan 93 layar XXI (468 pertunjukan). Fenomenal!

Saya pun terkejut dan gembira. Sebab, apresiasi film penonton kita meningkat, dimana bentangan banyak layar bioskop bukan semata untuk film aksi, thriller, horor, animasi dan Imax, dan hiburan ringan lainnya. Melainkan film drama keluarga. Kronik kehidupan sehari hari. Juga asal negara produksinya, Thailand, yang selama ini kurang mendapat apresiasi maksimal. Padahal kita sama sama negara ASEAN.

Kisahnya tentang keluarga keturunan China di Bangkok yang beragama Budha, yang di kalangan tua masih teguh memegang tradisi – namun cenderung diabaikan di kalangan muda. Protret sosial yang umum di kota kota di kawasan Asia Tenggara.

Fokus utama cerita ada pada pemuda M (diperankan oleh Billkin Putthipong Assaratanakul) yang putus sekolah pada tahun keempat dan terobsesi menjadi seorang ‘game caster’. Kepada Mamanya, Xiu (Sarinrat Thomas), dia menjanjikan akan membelikan apartemen dan memberikan jatah bulanan jika sukses menjadi ‘gamer’ kelak. Namun nyatanya karirnya lambat – kalau bukan mandek (stuck). Tak banyak menghasilkan uang. Malah masih merayu ibunya untuk dibelikan komputer baru dari uang tabungan Mamanya itu.

Mendadak M punya ide aneh, setelah mendapati sepupunya, gadis Mui (Tontawan Tantivejakul), berhasil mendapat warisan dari merawat kakeknya lantaran tekun merawat almarhum semasa terbaring sakit. Pemuda M kemudian mengincar neneknya, Amah (Usha Seamkhum), yang diketahui menderita sakit kanker stadium 4.

Cucu yang selama ini cuek mendadak membaik-baiki neneknya. Tentu Neneknya pun paham maksud cucunya itu. Dan tak mudah bagi M mengambil hati sang nenek. Amah adalah nenek yang mandiri, teliti, menuntut, dan tak mudah puas. Sudah lama hidup sendiri, Amah biasa mengatur dirinya sendiri. Sehingga M selalu salah dalam berbagai inisiatif melayani neneknya.

Di luar itu, M juga harus bersaing dengan paman pamannya, Khiang dan Soi, yang juga mengincar kekayaan sang Nenek, terutama paman ke dua Soi (Pongsatorn ‘Phuak’ Jongwilas) yang hidupnya gagal dan terlibat banyak hutang.

Film ini menggambarkan tentang kehidupan kita di Asia Tenggara umumnya, yaitu tentang hari tua dan hidup sendiri. Tentang warisan para manula yang diperebutkan – setidaknya diincar oleh anak cucu. Anak-anak yang sibuk dengan keluarga masing masing datang dan berkunjung “kalau ada maunya”. Lalu di tengah kesendirian itu justru dia tahu tak akan hidup lama lagi.

BERDURASI dua jam lima menit, pada akhirnya saya terhanyut oleh kisah How To Make Millions Before Grandma Dies. Perlahan, namun terus menaik, film ini sungguh menggugah emosi. Sutradara berhasil mengembangkan karakter tokoh tokoh yang ditampilkan.

Film yang aslinya berjudul Lahn Mah ini unggul dalam skenario dan penceritaan. Sutradara Pat Boonnitipat, yang sebelumnya sukses dengan film laris Bad Genius (2020) dan Project S the Series (2017) kembali mengarahkan para aktornya tampil natural.

Tak semata pada M sebagai cucu dan Ammah sebagai neneknya, kehadiran kakak ke adik, menantu ke mertua, hingga antar sepupu, juga memperkaya kisah keluarga ini. Ada banyak simbol Budha dan tradisi China di film ini.

Tak diragukan, How To Make Millions Before Grandma Dies adalah salah satu film keluarga terbaik tahun ini. Film dengan adegan-adegan yang realistis ini sungguh menyentuh perasaan .

Berbaik baik melayani Nenek demi warisan menjadi daya tarik penonton film Thailand ini. Related dengan kehidupan sehari hari kita.

Film Lahn Mah – How to Make Millions .. menjadikan Thailand dan Indonesia begitu dekat. Dalam drama dan bertema keluarga kita punya kebudayaan yang sama. Setengah cerita beralih kepada sosok Nenek yang melihat dunia terasa lebih berat.

Adegan saat kesakitan akibat kanker yang dideritanya dengan memanggil arwah bapak ibunya sangat memilukan. Perubahan fisik Amah yang digambarkan dalam film ini juga meyakinkan dan membuat kita turut merasakan rasa sakit yang ia derita.

Usha Seamkhum, wanita 76 tahun yang baru pertama berakting film layar lebar ini tampil natural memerankan nenek Amah yang mandiri dan kemudian sakit sakitan. Dia tahu sejak awalnya, bahwa cucunya, yang mendadak baik, punya niat lain. Tapi dia juga tak menolaknya.

Film produksi GDH 559 ini, di negerinya, telah menjadi film terbesar di box office Thailand dengan meraup U$D 8,1 juta (300 juta Bath) pada tanggal 24 April setelah menduduki puncak tangga lagu box office lokal selama 21 hari berturut-turut, melampaui film laris AS Godzilla X Kong: The New Empire, Civil War, The First Omen, dan Ghostbusters: Frozen Empire.

Di luar Thailand, film yang meraih penghargaan Most Trending on Social 2024 dari Kazz Award 2024 ini mendapatkan distribusi di 12 negara. Selain Indonesia (Falcon Pictures), film ini juga dirilis di Filipina (Westec Media) Laos (M Pictures), Malaysia (Golden Screen), dan Singapura (Golden Village Pictures), Vietnam (Blue Lantern) Kamboja (Westec Media) Taiwan (Catchplay).

Film sukses tak selalu lahir dengan ide ide besar penuh adegan fantastis dan kolosal. Drama keluarga yang mencerminkan kehidupan sehari hari yang “related” dengan kita – berpeluang jadi box office. Asal digarap dengan baik. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.