Halim Perdanakusuma Jadi Ajang Pertikaian Unsur AD di Tahun 1965, ‘Tuan Rumah’ AU Jadi Penengah

Seide.id – Pagi, 2 Oktober 1965, Pilot Komodor Udara* Ignatius Dewanto dan kopilot Kapten Udara Willy Kundimang mendaratkan Cessna L-180 tanpa pemandu di Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma.

Setelah memarkir pesawat, keduanya turun.

Tiga anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando Pasukan Khusus atau Kopassus– menghampiri sembari menodongkan senjata AK-47. Begitu tahu mereka berhadapan dengan seorang perwira tinggi, mereka segera memberi hormat. Setelah menjelaskan tujuannya, mereka minta izin melucuti senjata –kecuali Dewanto.

Toto, sapaan akrab Dewanto, dan Kundimang tak melawan sesuai perintah Laksda Sri Moelyono Herlambang, petinggi AU yang menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Dwikora I, agar sedapat mungkin menghindari kontak senjata.

Kelima orang tersebut lalu menuju hangar dan bergabung dengan prajurit Yon-1/RPKAD lainnya. Tuan rumah menjamu dengan ramah. Maklum, banyak di antara mereka saling kenal dan pernah menjalani operasi militer bersama dari Trikora di Papua hingga konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Di tengah obrolan santai, terdengar rentetan senjata. Rupanya terjadi baku tembak  antara pasukan Batalyon 454 Banteng Raiders asal Semarang, Jawa Tengah dengan RPKAD.

Batalyon 454 Banteng Raiders asal Semarang, Jawa Tengah.

Wakil komandan Yon 454 Kapten Inf. Koentjoro mendapat perintah dari atasannya, Mayor Sukirno, untuk mempertahankan Halim dan tak boleh ada pasukan manapun masuk kecuali AU.

Di sisi lain, RPKAD di bawah Kolonel Inf. Sarwo Edhie diperintahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menduduki Halim.

Perintah itu keluar menyusul kekhawatiran Soeharto akan terjadinya serangan Angkatan Udara terhadap Makostrad. Dalam pandangan PangKostrad Mayjen Soeharto, AURI  mendukung G30S pimpinan Letkol Untung.

Terjadi benturan perintah. Satu pihak diperintah untuk mempertahankan wilayah, pihak lain diminta merebut. Maka, tak heran bila terjadi kontak senjata.

“Kalau pertempuran itu kita biarkan, Halim bisa habis! Kamu tahu Willy, di Halim ada aset negara yang sangat berharga, yaitu pesawat. Selain itu banyak keluarga AURI,” kata Toto kepada Kundimang, sebagaimana dimuat dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 yang disunting Aristides Katoppo.

Toto dan Kundimang berinisiatif melerai. Dengan jip Nissan Patrol, mereka menembus hujan peluru menuju posisi pasukan Raiders. Kundimang menemui Koentjoro dan memintanya menghadap Toto.

Koentjoro sempat marah. Setelah dijelaskan Jenderal Dewanto ingin bertemu untuk menyelesaikan pertempuran, Koentjoro mengajak dua anak buahnya.

Di depan Dewanto, Koentjoro menjelaskan alasan penempatan pasukannya di Halim. Toto mengapresiasi sikap profesionalnya dan kemudian memerintahkan Koentjoro agar menahan tembakan. Pertempuran mereda.

Kundimang, dikawal seorang prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT), lalu ditugaskan menyerahkan surat yang ditujukan untuk Sarwo Edhie. Berbekal kain putih sebagai lambang perdamaian dan pita merah-hijau di bahu kiri, tanda pengenal dari Raiders, Kundimang dan prajurit PGT berjalan ke tempat pasukan RPKAD.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)

Sesampai di sana, karena Sarwo Edhie masih dalam perjalanan ke Halim, mereka ditemui Mayor Inf. Goenawan Wibisono. Setelah menyerahkan surat, mereka kembali. Pita pengenal dari RPKAD tersemat di bahu kanan.

Di tengah penantian kedatangan Sarwo Edhie yang hampir sejam, dua dentuman keras tiba-tiba terdengar dan diikuti rentetan senjata. Pasukan Raiders bahkan melepaskan bazoka begitu melihat kedatangan panser Ferret Mk-1/1 dari arah RPKAD. Padahal panser itu berbendera putih dan dikirim untuk menindaklanjuti upaya perundingan.

Koentjoro, atas perintah Toto, akhirnya memerintahkan pasukannya menahan tembakan.

Kundimang kembali ke posisi RPKAD. Goenawan mengatakan Sarwo Edhie minta Toto yang datang. Setelah mendapatkan pinjaman mobil, Kundimang menjemput Toto.

“Sebagai yang empunya Halim, saya akan menjemput tamu saya,” kata Toto.

Ketegangan sempat terjadi antara Toto dan Koentjoro yang bersikeras menjaga Halim. “Saya mengerti sikap Kapten, tapi untuk apa Kapten melaksanakan perintah dengan harus menutup pintu rumah saya?” kata Toto.

Toto dan Kundimang bertemu Sarwo Edhie yang setuju mengakhiri pertempuran. Maka jip Kundimang dan Toto kembali ke posisi Raiders. Goenawan ikut bersama mereka. Sesampai di tujuan Koentjoro memberi hormat kepada Toto dan berpelukan dengan Goenawan.

Koentjoro mengatakan kepada Toto bahwa dia akan menarik pasukan Raiders ke arah timur menuju Bekasi.

Pertempuran yang menewaskan seorang prajurit RPKAD dan Dua orang anggota AURI yang berjaga di depo Perminyakan Lapangan udara Halim Perdana Kusuma itu terhenti.

Beny Rusmawan, Sumber: Historia.id dan buku ‘Menyibak Kabut Halim 1965’

*Komodor Udara, kalau sekarang Marsekal Pertama, atau Brigadir Jendral dalam AD. Jendral bintang satu.

Avatar photo

About Gunawan Wibisono

Dahulu di majalah Remaja Hai. Salah satu pendiri tab. Monitor, maj. Senang, maj. Angkasa, tab. Bintang Indonesia, tab. Fantasi. Penulis rutin PD2 di Facebook. Tinggal di Bogor.