Ini olahraga luar ruang sekaligus olahraga wisata yang penuh risiko. Banyak hal perlu disiapkan oleh seorang pilot paralayang (yang dulu popular sebagai terjun gunung) sebelum benar-benar siap terbang sendiri: mengembangkan payung, lompat dari ketinggian bukit, mengapung dan mengendalikan ‘sayap terbang’ di ketinggian langit, dan mendarat dengan baik dan benar.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 08/06/2023 – “Setelah terkatung-katung selama 2 jam di udara, akhirnya mendarat juga di Terminal Bus Giri Adipura, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah,” ucap Lody Korua (66 tahun) di Face Book, sore pukul 16:53 WIB tanggal 04 Juni 2023. Tak lupa dia sertakan pose diri saat bergantung di glider/parasut OZONE SwiftSix, suasana lengang terminal tempatnya mendarat.
Lody terbang paralayang (tahun 1990an para pencinta alam Indonesia menyebut aktivitas ini sebagai ‘terjun gunung’) dari ketinggian bukit Waduk Gajahmungkur. Tak sekadar terjun dari launching ramp (tempat peluncuran) dan mengapung di langit, lalu landing di lapak pendaratan di areal kosong bawah bukit, siang jelang sore itu Lody merencanakan debut terbang sejauh itu aman dan memungkinkan dilakukan.
Untuk itu, memanfaatkan thermal (panas bumi) dan angin di sekitar, Lody terbang mencapai dan bertahan di ketinggian, lalu terbang sejauh mungkin lintasan yang bisa ditempuh. Turun dan coba cari tempat mendarat terdekat. “Adanya Terminal Bus Giri Adipura. Cukup luas, terbuka dan sepi. Nggak ada bus lalu-lalang. Alhamdulillah, gue bisa turu di situ,” ucap Lody.
Semua gerakan Lody saat terbang itu, dari saat melompat hingga kedua kakinya kembali menginjak bumi, tercatat di layar instrument gatget yang jadi bagian perlengkapan terbang dan wajib dimiliki pilot paralayang. Tercatat Lody terbang pada ketinggian maksimal 1035 m-dpl, selama 2 jam 0 menit, sejauh 59,2 km. “Tapi bila ditarik garis lurus dari Gajahungkur ke Terminal jaraknya cuma 20 km.”
Data instrumen digital yang digenggam Lody ini langung terkoreki dengan data international World XContes serta World Cross Country Contes. Gerak Lody dan parasutnya saat terbang juga dimonitor dari darat oleh Kiham Korua, putra nomor dua dari tiga anak (putri dan putra) Lody dari pernikahannya dengan Amalia Yunita “Saat landing, gue tinggal share lokasi dan terus dikemput,” ucap Lody. Asyik…!
Paralayang merupakan aktivitas luar ruang sekaligus olahraga wisata yang penuh risiko. Banyak hal perlu disiapkan oleh seorang pilot paralayang (yang dulu popular sebagai terjun gunung) sebelum benar-benar siap terbang sendiri: mengembangkan payung, lompat dari ketinggian bukit, mengapung dan mengendalikan ‘sayap terbang’ di ketinggian langit, dan mendarat dengan baik dan benar.
Demikian juga dengan Lody yang terus-menerus mempelajari berbagai aspek menyangkut aktivitas paralayang, sebelum dia merasa siap menjadi pilot paralayang, terbang mengapung sendiri di udara, dari launching ramp atau titik peluncurandi ketinggian bukit atau gunung (atau atap sebuah gedung) ke landing area atau titik pendaratan yang disiapkan ataupun darurat.
Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Itulah Lody yang terus terang bilang, “Gue anak baru di paralayang.”
Ini ucapan bukan basa-basi. Sejujurnya, Lody memang baru belajar terbang tahun 2016. Mentor pertamanya adalah almarhum Franky Kowaas, pilot/pelatih/atlet paralayang nasional (gugur saat gempa-tsunami likuifaksi menghantam Palu, Sulteng, tahun 2018), yunior Lody di aktivitas arung jeram
Uniknya, betapapun terbilang yunior, tapi dimana pun lokasi peluncuran aktivitas paralayang Indonesia berada, kehadiran Lody selalu disambut hangat oleh para aktivis (pilot, mentor, tandem master, penguasa lokasi) setempat. Ini bukan cuma karena Lody merupakan legenda pencinta alam di matra darat dan laut/air, tapi juga karena keterkaitan Lody pribadi dengan sejarah paralayang Indonesia.
Kita sama tahu bahwa dibanding cabang olahraga lain yang diakui KONI, aktivitas olahraga (dan wisata) paralayang masih tergolong baru. Aktivitas paralayang Indonesia baru lahir pada bulan Januari 1990 di langit Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Perintisnya adalah kelompok terjun gunung Merapi yang didirikan oleh almarhum Dudi Arief Wahyudi dan Gendon Subandono.
Sejarah mencatat, Dudi Arief Wahyudi merupakan orang Indonesia petama yang terbang paralayang di langit Indonesia. Dudi (kemudian bersama Gendon, almarhum Norman Edwin, dan lainnya) belajar dan berlatih secara mandiri, berdasar manual dan brosur dalam dus payung terbang parapente merk Drakkar produksi Parachute de France tahun 1987.
“Itu payung Drakkar punya gue. Bagian dari honor gue nganter kru TV 3 Tolouse – France ke Taman Nasional Manusela di Pulau Seram, Maluku. Payung ‘terjun gunung’ pertama di Indonesia. Masih gres, belum digunakan. Suatu pagi Dudi datang langsung dari Jogya ke rumah gue di Menteng, Jakarta. Gue pinjamkan itu payung ke Dudi. dan lahirlah aktivitas paralayang di Indonesia,” ungkap Lody.
Tapi mengapa Lody Korua, legenda SAR (Safe, Aid and Resque) pencinta alam Indonesia, offroader dan aktivis andal jelajah rimba-gunung serta arung jeram, pemilik pertama paying terjun-gunung di Indonesia, lha kok baru belajar terbang paralayang dengan para ‘yunior’nya di tahun 2016 saat usia merangkak gaek? Panjang ceritanya…! ***
08/06/2023 pk 12:03 wib