Oleh NOORCA M. MASSARDI
Kata Pengantar : Telah terjadi kesalahan teknis pada penayangan tulisan Bung Noorca M. Massardi ini – beberapa waktu lalu. Untuk itu kami tampilkan kembali seutuhnya. Kepada penulis dan sidang pembaca kami menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamananya (Redaksi).
Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma penonton film biasa.
Terus kenapa sewot? Memang kamu pernah dirugikan?
Ya, enggak secara langsung. Tapi sebagai penonton aku banyak kehilangan kesempatan untuk menonton film-film bermutu, berkualitas, karya anak bangsa.
Hilang kesempatan itu karena apa? Kamu enggak punya duit? Atau karena enggak mampu beli tiket?
Kalau itu sih wajar saja, Kan aku bukan orang gajian. Aku cuma bisa nonton kalau dapat undangan atau kalau diajak teman untuk nonton bareng film-film karya anak bangsa
Wah. enak dong bisa nonton film gratis?
Sebenernya sih enggak enak. Tapi kalau nonton di bioskop penghasilanku enggak cukup buat beli tiket, cemilan dan makanan yang harganya selangit.
Kenapa enggak melamar jadi pewarta film saja? Kan banyak media yang biasa meliput film?
Aku enggak berani. Karena sudah banyak sekali pewarta yang hebat-hebat dan kritikus yang hapal segala macam film. Apalagi tulisan-tulisan mereka juga aku enggak mampu menyamainya. Lebih-lebih kalau mereka mengutip atau merujuk pada teori-teori perfilman dunia
Terus, kalau kamu diundang nobar film-film karya anak bangsa seperti kamu bilang tadi, itu memangnya semuanya bagus-bagus dan hebat?
Ya, enggak juga. Terus terang, hanya sebagian kecil saja yang bagus dan berseni, serta dan yang dipersiapkan segalanya dengan matang. Selebihnya sih cuma pamer bintang dan mengejar profit semata. Apalagi film-film horror, misteri, hantu-hantuan. Ampun deh
Terus, apa hubungan semua itu dengan biuoskop? Kok kamu sewot banget?
Ya, adalah. Karena enggak semua film karya anak bangsa itu bisa tayang di seluruhemua bioskop
Itu kata siapa?
Ya, kata kebanyakan produser dan orang-orang film sendiri
Kamu punya buktinya atau cuma katanya-katanya-katanya?
Ya, katanya. Aku kan bukan pewarta dan bukan orang film.
Nah, jangan gampang percaya hoax dong. Kamu pikir bioskop punya hak untuk menolak film nasional?
La, buktinya banyak film yang enggak bisa ditayangkan.
Contohnya?
Ya, banyaklah. Mana aku hapal.
Kamu jangan suka berkhayal. Bioskop itu apa pun mereknya, siapa pun pemiliknya, sesuai ketentuan perundangan, wajib menayangkan film nasional, kalau film itu sudah mendapatkan surat tanda lulus sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF)
Betul itu? Kok aku enggak percaya?
Nah, cari tahu dong, jangan terlaulu cepat termakan hoax bertahun-tahun.
Terus, kenapa orang-orang film masih suka komplain soal bioskop?
Ya, yang mengeluh itu adalah yang filmnya kurang atau tidak laku di pasaran.
Nah, itu dia. Film itu katanya kurang laku atau tidak laku karena tidak cukup mendapat jumlah hari tayang dań bukan di bioskop yang banyak penonton filmnya.
Kamu tahu, sebelum Covid ada sekitar 120 sampai 150 film nasional diproduksi setiap tahun?
Iya, katanya, sekitar itu. Dan , katanya, gara gara pemik biosop makanya hanya sekitar 20 persennya yang untung atau yang bisa balik modal.
La, bioskop kań cuma outlet, gerai, seperti minimarket, yang hanya menampung produk untuk dijual/dijajakan kepada pembeli. Kalau produknya kurang diminati, masak toko penjualnya yang disalahkan?
Nah, itu dia. Mengapa produknya kurang lama dipajang? Dan mengapa tidak ditaruh di lokasi yang strategis sehingga bisa cepat dilihat dan diminati calon pembelinya?
Menurut kamu, kalau produknya laku, apakah pemilik toko akan menyembunyikannya dari pembeli?
Ya, enggaklah. Itu kan peluang produk t dan toko untuk mendapatkan keuntungan.
Nah, logikamu bener, tuh. Jadi, enggak mungkin kan bioskop menghalangi atau mengurangi jumlah dan lokasi untuk film-film yang laku?
Tapi, kenapa banyak film yang jumlah kopi dan lokasinya dibatasi sama bioskop?
Nah, kamu tahu siapa pemilik bioskop?
Enggak tahu tapi pasti ada pemiliknya.
Kamu juga tahu siapa pemilik film?
Ya pasti produsernya dong.
Nah, yang mengajukan film untuk ditayangkan ke bioskop itu pasti produsernya kan?
Ya, iyalah, Anak kecil juga tahu itu.
Pasti produsernya juga kan yang menawarkan punya sekian banyak kopi untuk ditayangkan di sekian layar bioskop?
Ya, pastinya begitu.
Produser juga kan yang meminta kapan tanggal main yang mereka inginkan untuk penayangannya di bioskop?
Iya, terus, maksudm kamu apa?
Nah, kalau sebuah film tayang sekian kopi di sekian layar bioskop, itu pasti sudah atas persetujuan produser dengan pihak bioskop kan?
Ya, iyalah, mana mungkin tayang kalau mereka belum sepakat.
Jadi, apa logikanya sampai digosipkan bahwa film karya anak bangsa dianaktirikan?
Ya, konon waktu perundingan itu pemilik film selalu berada di pihak yang lemah, tidak punya daya tawar, sehingga mereka terpaksa mengikuti apa keputusan pemilik bioskop.
Nah, sekali lagi aku mau tanya. Kamu tahu siapa pemilik bioskop? Dań siapa pemilik film?
Ya pemilik bioskop dań pemilik film dong, kok kamu mengulang-ulang terus? Apa maksudnya?
Betul enggak kalau aku bilang bahwa pemilik film dan pemilik bioskop itu sama-sama mencari keuntungan supaya usaha mereka lancar jaya dan bisa bertahan lama?
Betul dong itu pasti. Namanya juga bisnis.
Nah, kamu pinter itu. Namanya juga bisnis. Kalau produknya laku, produser untung dan bioskop juga untung. Kalau filmnya enggak laku ya dua-duanyta juga rugi, kań?
Tunggu dulu. Mana mungkin bioskop rugi? Yang bikin film kan produsernya. Bioskop cuma tidur-tiuduran saja film pasti datang. Kalau film laku, bioskop ongkang-ongkang kaki dapat pembagian keuntungan 50 persen. Kalau film enggak laku, produser yang menannggung kerugian dań bioskop enggak kehilangan apa-apa.
Duh, kamu itu keliharannya pinter tapi kok enggak paham-paham juga, ya? Kamu pikir bioskop dibangun pakai modal dengkul? Terus karyawan administrasi dan para petugas lapangan di gedung bioskop itu enggak digaji?
Ya, bioskop kan modalnya cuma sekali, bikin gedung, beli proyektor, pasang kursi, sudah deh tinggal tidur, duit masuk.
Kalau produser film memang modalnya berapa kali?
Ya, setiap produksi pasti keluar uanglah, bayar kru, bayar pemain, bayar promosi.
ItuCoba kamu hitung, rerata produser bikin film berapa kali dalam setahun?
Ya, ada yang satu, ada yang dua, ada yang empat judul. Semuanya pakai uang sendiri.
Kalau rerata 120 judul film nasional setahun dan dibuat oleh sekitar 30 rumah produksi, maka rerata setiap produser membuat empat judul film. Misalnya, modal rerata @ 5 M maka untuk empat judul = Rp 20 M dalam setahun. Betul enggak?
Iya, terus?
Kalau bioskop ada 3.000 layar dan setiap layar/studio dibangun dengan biaya paling murah @ 2 miliarM saja, maka total modal mereka = 3.000 X 2M = Rp 6 triliun. Itu di luar biaya operasional, bayar listrik, gajni karyawan, sewa gedung, pemeliharaan, dan lain-lain. Nah, coba hitung, besar mana modal bikin bioskop dengan modal bikin film?
Ya, lebih besaran modal bikin bioskop dong kalau dihitung begitu.
Jadi, kamu paham mengapa film yang kurang atau tidak laku, bisa segera diturunkan dari bioskop dań diganti dengan judul lain yang baru, yang sudah antre menunggu giliran tayang?
Itu dia masalahnya. Mengapa tidak ada rasa nasionalismenya membantu film nasional agar masa tayangnya lebih lama dan di lokasi yang lebih banyak dan strategis?
La, kamu tadi sudah sepakat bahwa baik pemilik film maupun pemilik bioskop sama-sama mencari keuntungan karena intinya adalah bisnis semata?
Ya, iya sih. Tapi kok enggak mau menolong film karya anak bangsa?
La, kamu dari awal tadi sudah bilang bahwa tidak semua film nasional bagus, walau kamu menontonnya gratisan?
Iya, betul sih. Tapi masak bioskop enggak mau membantu, enggak ada rasa nasionalismenya barang sedikit?
Nah, kalau bioskop tutup seperti sekarang gegara Covid ini siapa yang bisa menolong? Pemilik film? Di mana rasa nasionalisme itu?
Ya, enggaklah. Dalam hal itu nasionalisme enggak berlaku. Kan produser film juga dirugikan dan enggak bisa produksi kalau bioskop tutup.
Jadi, nah, itu artinya kan film butuh bioskop dań bioskop butuht film? Terbukti kań bahwa semua saling membutuhkan, simbiose mutualistis, walau gegara Covid ini ada alternatif tayang di internet melalu OTT (Over The Top)
Iya, tapi yang namanya alternatif kan tidak pernah bisa sama dengan yang seharusnya: menikmati tontonan dalam gelap dengan segala fasilitasnya dan fokus dari awal sampai akhir .
Satu lagi pertanyaanku. Kalau bioksop untung, produser film untung, itu karena apa?
Ya karena filmnya laku.
Kalau film laku, itu karena apa atau karena siapa?
Ya, karena ada penontonnya.
Jadi, laku atau tidak lakunya sebuah film itu karena penontonnya atau karena bioskopnya?
Ya, karena penontonnya dong, pasti.
Terus kalau film laku atau tidak laku itu karena apa atau karena siapa?
Ya, karena tidak banyak atau tidak ada penontonnya.
Nah, ada enggak yang bisa memaksa penonton supaya mereka untuk mau menonton film A atau film B?
Ya, enggak ada. La wong duit-duit mereka, dan mereka bebas nontyon film apa saja. sesuai selera dań klasifikasi usianya.
Nah…!
010721