Oleh SETIO BOEDI
Banyak yang belum tahu bahwa makna kata “kemaluan” bukan semata alat kelamin. Bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memposisikan makna “kemaluan” adalah alat kelamin di posisi paling akhir, setelah (1) mendapat malu; dan (2) hal malu; sesuatu yang menyebabkan malu.
Dan kali ini kita sepakati makna kemaluan dalam judul di atas adalah makna pertama.
*
Lebih dari sepuluh tahun lalu, saat aku masih kerja di sebuah bank yang berkantor di kawasan pecinan Semarang, rekan kerja di samping meja kerjaku bercerita bahwa seminggu lalu dia mendapatkan asisten rumah tangga (ART) yang baru.
“Sudah setengah baya, langsung dari desa. Tidak dari biro jasa!” ceritanya.
“Nah dia datang pas malam hari,” lanjutnya.
“Karena itu aku suruh langsung mandi, makan dan istirahat. Urusan kerjaan biar besok pagi baru diajarin.
Paginya saat aku persiapan berangkat kerja, kulihat di tempat jemuran belakang rumah ada beberapa kain panjang warna coklat muda yang tergantung di sana. Kupanggil ART baru itu.
“Mbak itu apa?’ tanyaku sambil menunjuk kain-kain itu.
‘Oh… ‘ ART tersipu, ‘ saya baru datang bulan Bu!’”
Kawanku baru mengerti setelah mendengar jawaban dari ART-nya ini.
Lalu dia buka tas kerjanya, di dalam sana selalu tersedia pembalut untuk persediaan bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Kawanku memberinya beberapa bungkus.
“Mbak, Sekarang zamannya sudah pakai pembalut, nggak usah nyuci lagi. Pakai ini saja… nanti kukasih lagi.
Jadi ini nanti bungkusnya disobek, ambil isinya.
Di situ ada kertas perekatnya.
Dilepaskan, lalu ditempelkan.
Sudah beres.
Bila terasa sudah nggak nyaman, buang dan ganti baru.
Jelas Mbak?”
“Jelas Bu…”
Kawanku segera berangkat kerja.
Saat pulang kerja di sore hari, kawanku menanyakan tentang pembalut yang bagi ART-nya adalah hal baru itu.
“Mbak, bagaimana tadi? Bisa makainya nggak?”
Dengan senyum malu-malu sang asisten menjawab, “Bisa Bu!”
“Wah siiip kamu!” puji kawanku.
“Tapi…” kata asisten.
“Kenapa?”
“Waktu nglepasnya kok sakit ya?”
Kawanku kaget, kok bisa sakit ya?
Beberapa detik kemudian dia tertawa keras.
“Kamu pasti kebalik masangnya ya?”
“Yah… yang seperti ibu ajarkan tadi kan?”
Wajah asisten bingung.
“Hahaha… pasti itu kebalik di bagian nempelnya!”
Akhirnya kawanku menjelaskan ulang dengan merobek bungkus pembalut itu dan menerangkan lebih detail tentang perekat itu dan cara memakainya.
“Oh ternyata begitu ya Bu? Betul saya masangnya kebalik!”
Gantian ART yang tertawa keras.
“Nggak apa-apa Mbak. Kalau pertama kali salah itu biasa!” respon kawanku. Sambil ketawa juga.
*
Kisah nyata di atas mengajarkan kepadaku, bahkan kepada kita semua, jikalau sesama perempuan saja tidak saling mempermalukan, apalagi pria terhadap perempuan.
Bila ada laki-laki yang berbicara kasar di tempat umum, menuding-nuding perempuan di depannya. Mengungkap kesalahannya, mempermalukannya! Sungguh bukan tindakan santun apalagi heroik.
Entah perempuan itu salah atau (apalagi) benar, sungguh tidak sepatutnya seorang pria yang bermartabat menelanjangi kesalahan perempuan di depan banyak orang sehingga dia mengalami kemaluan di tempat umum.
Kepada siapapun sejatinya adalah tak elok mempermalukan sesama di depan orang banyak.
Apalagi bila dia adalah seorang perempuan.
Jelas?
Setio Boedi, penikmat budaya. Tinggal di Semarang