Depo Plumpang, hanyalah salah satu contoh pendudukan lahan ilegal oleh masyarakat. Jika cara seperti ini dibiarkan, akan banyak lahan yang diserobot, bahkan ketika hal itu didukung oleh pejabat yang memperoleh keuntungan dari cara membantu seperti ini kepada warga. (Foto: Ist)
Ada dua hal, yang seharusnya, tidak terjadi saat kebakaran yang menelan korban di Depo Pertamina Plumpang. Pertama ada zona penyangga atau jarak batas Depo dan pemukiman yang diabaikan. Masyarakat melanggar zona itu dengan membangun perumahan yang nyaris dempet dengan area Depo Pertamina Plumpang. Andai tidak dilanggar, meski terbakar, perumahan yang jauh dari zona penyangga tidak ikut terbakar dan menola19 korban jiwa.
Kebakaran yang terjadi itu melampui pagar kompleks setinggi 2 meter, mengenai jalan raya dan menyambar pemukiman yang jaraknya hanya sebatas jalan raya, tak lebih dari 3 meter. Jarak minimum yang aman biasanya 50 meter.
Area Depo Pertamina Plumpang saat dibangun, seluas 151 hektar pada 1974 , namun dalam perkembangannya, warga datang secara bergerombol dan bergiliran serta merta menduduki area Depo Pertamina Plumpang sehingga Depo Pertamina Plumpang tinggal 49 hektar.
Kedua, pejabat yang bersangkutan mestinya tahu, menempatkan masyarakat di dekat area berbahaya adalah “membiarkan mereka dalam posisi bahaya”.
Toh pejabat setingkat Gubernur DKI selama periode 20 tahun yang dijabat 5 gubernur, tak mampu mengeluarkan masyarakat dari area bahaya itu. Dari 5 gubernur DKI yang menjabat kurun waktu itu, ada gubernur yang menjadikan masyarakat betah di sana, yakni dengan memberi izin, dan IMB ( Izin Mendirikan Bangunan). Pejabat yang memberi izin membangun area berbahaya, layak diminta pertanggungjawaban.
Kesalahan berikut adalah masyarakat sendiri nekad menempati yang bukan haknya. Mereka terlalu nekad menempati wilayah berbahaya tanpa memikirkan keselamatan jiwa mereka. Andai mereka tidak melakukan pendudukan atas tanah di Depo Pertamina Plumpang itu, tak mungkin ada pejabat tergoda berjanji memberi lahan yang bukan haknya kepada mereka.
Jika DPR ingin meminta persoalan pendudukan lahan dan warga di sana secara jernih, mestinya memanggil saudara Anies Baswedan. Jika benar ia tidak peduli keselamatan manusia dengan memberi izin tinggal di tempat berbahaya, demi popularitas dan jabatan gubernur Jakarta, moral pejabat seperti itu layak dipertanyakan.