Ketika dunia tak lagi menjadi tempat yang nyaman, pintu rumah harus terbuka dan membuat remaja nyaman di rumah, sebagai tempat terakhir yang aman
Anak anak akan selalu jadi korban dari orang orang dewasa yang enggak mau lagi belajar dan merasa paham segala hal. Lebih buruk lagi jika ia merasa memiliki kebenaran mutlak. – Boy Candra
Sebuah postingan di media sosial membahas anak-anak belasan tahun (saya bilang anak karena sesuai usia anak PBB sampai 18 tahun) telah melakukan hubungan seksual sampai tahap intercourse. Ibu si anak perempuan demikian syok karena tak menyangka hal tersebut bisa terjadi. Lalu, dia mencetuskan ide untuk mengirim remaja putri belia ini ke pendidikan agama berasrama, sehingga putrinya ‘bisa’ berubah. Ramailah kolom komen dengan berbagai tanggapan. Termasuk meriah juga postingan yang mengeposkan ulang dengan ulasan ini dan itu. Mayoritas mencemaskan kalau-kalau hal itu menimpa keluarga mereka.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah usulan salah satu komentator. Tentang Google Family Link untuk mengontrol aktivitas anggota keluarga menggunakan aplikasi di ponsel mereka. Utamanya sih mengawasi anak-anak. Adakah di antara pembaca sudah paham? Atau malah sudah menggunakan?
Bila baru tahu, berikut saya sarikan dari Google sendiri, bagaimana aplikasi tersebut dimaksudkan untuk mengontrol anak dalam penggunaan aplikasi, akses konten dan media sosial.
Family Link memungkinkan orang tua menetapkan waktu menghentikan gadget anak-anak dan batas waktu penggunaan aplikasi agar keseimbangan screen time dan waktu belajar / bermain dapat tercapai.
Orang tua bisa memandu anak untuk mengakses konten sesuai usianya, termasuk menyetujui atau memblokir aplikasi yang akan diunggah anak.
Family Link memungkinkan orang tua memilih pengalaman YouTube yang tepat untuk anak, yaitu pengalaman yang diawasi di YouTube, atau YouTube Kids.
Orang tua juga bisa mengelola dan menjaga keamanan akun anak dan melindungi privasi mereka. Orang tua juga dapat melihat dan mengelola izin situs dan ekstensi yang diakses melalui Chrome, serta izin aplikasi yang didownload di perangkat anak, untuk tidak membolehkan kemudahan mengakses kamera, kontak, file, dan media.
Family Link juga memberi orang tua akses untuk mengelola akun dan setelan data anak; bisa mengubah atau mereset sandi akun anak jika dia lupa, mengedit informasi pribadinya, atau bahkan menghapus akunnya jika diperlukan.
Dengan Family Link, orang tua juga dapat mengetahui lokasi anak di satu peta, selama dia membawa perangkat ponselnya. Family Link juga akan memberikan notifikasi penting, seperti saat anak tiba atau meninggalkan lokasi tertentu. Termasuk orang tua dapat menderingkan perangkat dan melihat sisa baterai perangkatnya.
Ideal dan keren ya aplikasi ini?
Ya, bila untuk memantau keterhubungan anak di dunia maya. Apalagi ditunjang komentar netizen yang lain, ‘anak-anak remaja ini sekarang banyak terpapar gadget sehingga mudah meniru, ikut-ikutan, dan terjerumus kepada hal-hal buruk.’
Namun, yakinkah kita fenomena anak remaja sekarang hanya akibat mereka mengakses internet dengan segala gegap gempitanya?
Tubuh dan Hormon Berubah, Aku Kudu Gimana?
Berbicara tentang remaja dan problematikanya, saya jadi teringat beberapa kisah semasa saya menjadi guru BP. Ijinkan saya menuliskan ulang dengan mengganti identitas, serta memodifikasi jalan cerita.
Jelang tahun 2000. Sebut dia, Mentari. Gadis muda usia SMK yang bila hari bolosnya bisa ditukar dengan uang di kantin sekolah, mungkin akan menjamin bekal jajannya selama bersekolah. Anaknya sangat tertutup, dengan lingkaran mata panda menyolok pada wajah hitam manisnya. Sesi konseling berulang kali tak berhasil mengorek apapun dari mulutnya.
Usai saya melihat sekilas dia berdiri di pinggir jalan dengan tatapan kosong, saya mencurigai dia ‘ngobat’. Istilah untuk menggunakan drugs atau bahan psikotropika lain. Apalagi wajah kuyu, lesu dan matanya sering berair ketika kami berhadap-hadapan.
Namun, dia tak tampak seperti anak kaya raya yang bisa membeli barang terlarang itu. Sepatu dan tasnya sangat standar, dan dia menumpang bis untuk ke sekolah.
Demi mencari jawaban, berangkatlah saya dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk homevisit,yang untungnya seketika membuahkan hasil.
Keluarganya hidup berkekurangan di perkampungan miskin, ibu penjual sayur, bapak pedagang obat ‘bebas’. Rumah petak yang tak lebih besar dari ruangan konseling sekolah kami dihuni lebih dari lima orang, dewasa dan anak tanpa sekat.
Dari obrolan ditemukan, Mentari memang kecanduan obat Cina penahan sakit yang dijual bapaknya di Pasar Malam.
Seringkali sakit kepala di rumah dengan keluarga yang berkekurangan, Mentari menemukan jalan keluar pereda kepusingan tanpa bersusah payah untuk membeli.
Bapaknya mengeluh pada kami, ‘stok obat saya sering habis diambil Mentari. Tapi daripada ke dokter, kami nggak punya uang. Nggak apa-apa deh asal sakit kepalanya hilang!’
Menurut Anda, bagaimana?
Kegundahan Mentari yang bertumbuh jadi gadis remaja berhadapan dengan kemiskinan dan tanggung jawab pengasuhan adik-adik, apakah kesalahan dia sepenuhnya?
Lain lagi cerita Sultan dan Pangeran, anak lelaki bersaudara keluarga konglomerat. Kedekatan anak-anak dengan Ibu, tak mampu menggantikan kehadiran Ayah, yang sibuk melebarkan bisnis. Ibu, baginya akan selalu ada di sisi dan siap melimpahkan kasih sayang, materil maupun moril.
Namun, satu per satu beranjak remaja, masing-masing anak lelaki ini bergulat dengan kegundahan hati sebagai remaja lelaki, dengan kata pamungkas, ‘tolong jangan beritahu ibu saya.’
Sultan dipaksa teman sebaya untuk mencoba aktivitas seksual dengan Pekerja Seks Komersial ketika sekolah mereka mengadakan tanding basket di luar kota. Setelahnya, paniklah anak itu bila tertular penyakit kelamin, yang tak terpikirkan ketika melakukannya. “Pakai kondom sih, Bu. Tapi ‘kan kemungkinan bocor ada.”
Tanpa sepengetahuan Sultan, sementara dia takut akan risiko berhubungan seks dengan PSK; adiknya, Pangeran malah sudah berhubungan seksual dengan pacar barunya, bahkan membuahkan kehamilan tak diinginkan.
Ketika keluarga remaja perempuan mengajukan komplain ke keluarga mereka, Bapak murka lalu menyalahkan Ibu yang lalai, Sultan makin ketakutan bila rahasianya akan terbongkar, sementara Pangeran diam saja ketika dimarahi habis-habisan. Keputusan akhir yang saya dengar, calon bayi yang akan dilahirkan sepenuhnya mutlak diasuh keluarga, dengan dalih Pangeran masih di bawah umur. Walau biaya tetap diberi tunjangan sampai melahirkan.
Apakah Anda juga setuju akan keputusan keluarga Sultan dan Pangeran ini?
Kasus-kasus lain semisal pesta seks kecil-kecilan di rumah teman, lalu kehamilan tak diinginkan di dalam keluarga agamis, juga mewarnai perjalanan saya menjadi guru BP.
Jujur, saat itu media sosial atau internet belum semasif sekarang. Belum ada twitter yang kini disukai remaja SMP karena akses pornografi semudah mengetikkan keyword spesifik, meski Kominfo telah banyak banned situs pornografi.
Namun, apakah jawabannya lagi-lagi hal eksternal anak atau di luar keluarga?
Perubahan hormon, kegundahan hati, pusing dengan situasi keluarga di rumah seperti pertengkaran ayah ibu, argumentasi dengan orang tua, kerumitannya malah sungguh real, mau tak mau mereka hadapi dan seringkali seorang diri saja.
Ayah Ibu?
Hal yang Dihadapi Remaja dan Posisi Orang Tua
Laman HaloDoc memuat bagaimana remaja memiliki tantangan yang disebabkan perubahan fisik, mental, perkembangan zaman serta situasi kondisi keluarga dan pertemanan.
Anak remaja ini merasa dirinya selalu salah dan tidak berharga di mata orang lain. Mereka suka memberontak, mengamuk, arogan atau kebalikannya kekanak-kanakan. Kesulitan bersosialisasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Belum lagi bila mengalami masalah dalam proses belajar.
Apa mereka mau bercerita kepada orang tua? Ya, bila sedari kecil dekat hubungannya. Dan, tidak bila hubungannya hanya atas bawah, dengan posisi orang tua diklaim sebagai yang paling benar.
Poin tentang memberontak, menjadi perhatian saya. Karena pada banyak kasus, remaja menganggap dengan mereka berulah, orang tua lebih aware dan lebih peduli. ‘Kalau nggak gini, bapak ibu pasti nggak pernah dateng ke sekolah!’
Menyedihkan sebenarnya situasi itu.
Memberontak seringkali juga terjadi karena lontaran larangan-larangan tanpa diskusi berkelanjutan.
Berikut saya contohkan beberapa pernyataan orang tua, tentu saja memuat larangan, tapi bisa disalahpahami anak.
Boleh pacaran, tapi jangan hamil
Yang terjadi adalah, remaja akan berpikir bila melakukan pap, make out atau video call sex tidak apa-apa karena tidak terjadi penetrasi dan sperma tidak masuk ke dalam rahim.
Macem-macem lo, jangan pulang ke rumah
Bantah terus, nanti gue nggak akuin anak
Pernyataan ini malah berupa ancaman dan menutup kemungkinan komunikasi anak dan orang tua. Bila sampai terjadi hal tak diinginkan, mereka akan mencari jalan keluar yang tidak akan diketahui orang tua, termasuk di antaranya terlibat dalam kelompok destruktif atau melakukan aborsi ilegal, atau memungkinkan keputusan bunuh diri.
Contoh yang saya tuliskan seolah ekstrem sekali, tetapi demikianlah kenyataannya.
Menutup pintu komunikasi, menempatkan diri sebagai si paling benar, menyalahkan hal eksternal sebagai penyebab kesalahan; bukan hal yang bijak untuk menjadi orang tua remaja.
Bukan juga menjadi teman sebenarnya, karena anak-anak usia ini tidak semuanya suka bila kita sok ‘masuk’ ke dalam lingkungan dan berlaku seperti usia mereka. Karena hal yang orang tua hadapi pada era terdahulu, jelas tidak match dengan yang terjadi sekarang.
Hal paling bijak sebenarnya adalah dengan menjadi tempat remaja kembali ketika menghadapi masalah. Jadilah rumah di mana mereka akan pulang, ketika dunia dianggapnya sudah tidak memberi rasa aman dan nyaman.
Mampukah?
Yuk, saya pun masih harus belajar!
Refleksi Pengasuhan (Kita): Marah yang Wajar