Respon polisi yang “dingin” menanggapi ulah sandiwara tersangka penghina simbol agama Budha itu, memberi tanda, patut diduga – mereka memang ikut “main”. Tak semata inisiatif Roy Suryo sendiri.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
BAHWA Roy Suryo bersandiwara kita sama sama tahu. Tapi siapa yang meminta dia bersandiwara, nampaknya kita perlu mencari tahu.
Kemungkinan pertamanya adalah inisiatifnya sendiri atau nasehat kawan karibnya. Kemungkinan ke dua, pengacaranya yang sudah biasa menggunakan segala cara untuk meringankan hukuman bagi kliennya. Kemungkinan ke tiga, justru dari pihak polisi yang selama ini sungkan memproses dan menahannya. Sehingga disusunlah aksi drama dan sandiwara agar tak perlu menahannya.
Polisi punya diskresi : hak untuk menentukan dengan pertimbangan subyektif – pertimbangan moral dan kemanusiaan – agar seorang tersangka ditahan atau tidak ditahan. Diskresi Kepolisian sulit diganggu gugat.
Sebagaimana menjadi viral di media sosial, KRMT Roy Suryo nampak kepayahan dengan penyangga leher saat diperiksa, tapi di tempat lain bersama sama grup pecinta Mercy, dia sehat dan tertawa tawa.
Sebelumnya dia loyo didorong menaiki kursi roda. Konon, muntah muntah dan mengaku tiga malam tak bisa tidur, sebelum dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Kita sama sama tahu bahwa penegakkan hukum di negeri kita penuh sandiwara. Aparat polisi, jaksa, hakim, dan pengacaranya sama saja. Sebagiannya sengaja mempermainkan hukum dalam tugas penegakkannya.
Di pengadilan, segala macam trik dilakukan oleh pengacara dan pembela. Sengaja pasal dihilangkan di Kejaksaan. Juga hakim yang mau pensiun sibuk sidang siang malam, mengejar target. Supaya dapat banyak “pesangon” dari kasus kasus yang ditanganinya. Panitera merangkap makelar kasus (markus), yang mengatur sogokan untuk hakim dan jaksa. Dan seterusnya.
Kewenangan yang diberikan kepada Polri, khususnya, terlalu besar. Kasus yang ditangani terlalu banyak, dan mereka tak independen – seperti yang kita bayangkan.
PARA PETINGGI Polri, sebagiannya duduk di posisinya atas lobby politik. Berkat memo dan rekomendasi. Bukan semata jenjang karir dan prestasi. Karena begitu banyak saingan di antara rekan seangkatan, sehingga perlu lobby, pendekatan ke sejumlah tokoh masyarakat, politik dan partai, selain atasan dan institusi pusat – yang mau tak mau jadi hutang jasa, sehingga ketika lingkaran mereka berkasus dengan hukum, otomatis laporan, proses dan penyidikannya “masuk angin”. Bahkan memberi perlindungan. Minimal pelambatan.
Lihat saja politisi Partai Demokrat itu. Perlu tekanan publik yang luar biasa di media sosial untuk menjadikannya tersangka. Beda dengan Ferdinand Hutahean dan Ahok BTP, Roy nampak percaya diri, karena dia tahu, lobbynya bagus di kepolisian. Mungkin beberapa nama hutang jasa kepadanya. Sehingga penegak hukum jadi gamang dan maju mundur.
Tahun 1990-an saya mendapatkan cerita tahanan yang batal disidang di pengadilan, karena yang bersangkutan buang air besar di depan hakim. Terkuak kemudian, pengacara terdakwa sengaja memberikan kapsul cuci perut sejam sebelum sidang. Cerita itu jadi pergunjingan para wartawan peliput sidang di Jakarta Pusat itu.
Tahun 2015 lalu, heboh Gayus Tambunan yang walau berstatus tahanan bisa nonton tenis di Bali, terbang ke Singapura, hingga makan makan di restoran. Dengan ‘kesaktiannya’ uang pajak yang digaruknya, dia bisa melenggang keluar dari kamar kurungan. Gayus berstatus tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok – saat pergi ke Singapura bersama istrinya. Terkuak saat nonton tenis dan terfoto di Bali.
Dua orang jendral polisi terlibat dalam skandal pelarian buron kasus Bank Bali, Djoko Tjandra yang bisa keluar masuk Indonesia, dan kini diadili. Kasusnya bertambah karena menganiaya tahanan di penjara dan dia unjuk dada karena merasa membela agama
Sebagai Kepala Divisi Hubungan International Polri bersama Sekretaris Biro Pusat Nasional Interpol Indonesia, keduanya menghilangkan nama konglomerat buronan internasional kasus Bank Bali dari red notice dengan sogokan miliaran rupiah. Seorang di antaranya, jendral yang menerima sogokan USD 350 ribu (RP 5,137 miliar) dan $200 ribu (Rp 2,1 miliar) dan di pengadilan menunjukkan wajah tak bersalah.
Kembali ke kasus Roy Suryo. Respon polisi yang “dingin” menanggapi ulah sandiwara tersangka penghina simbol agama Budha itu, memberi tanda, patut diduga – mereka memang ikut “main”. Tak semata inisiatif Roy Suryo sendiri.
Targetnya Roy tidak ditahan, bahkan kalau bisa tidak disidang.
Paling mutakhir, Bareskrim Polri menetapkan Bharada E sebagai tersangka kasus tembak menembak di Kompleks Polri. Ajaib!
Seorang Bharada bisa membuat penyidik Polri bekerja keras hingga 27 hari sebelum menetapkannya tersangka, tiga pejabat Polri dinonaktifkan, CCTV sempat hilang, padahal lokasi pembunuhan (TKP) yang jelas, korban jelas, senjata jelas, dan motif yang (awalnya) jelas.
Penegakkan hukum kita memang masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kita sama sama tahu itu. **