Seide.id -Aku bukan penggemar film-film superhero. Ketika kecil ya, seperti anak-anak lain, aku menggemari komik superhero, tapi ketika dibuat film, apalagi menontonnya ketika sdh dewasa, film-film seperti itu kok rasanya cemen.
Maka, ketika orang-orang pada demam film “Joker” aku tak ikut demam. Aku justru mengikuti semacam reaksi, pujian, perbincangan bahkan polemik di sekitar film yg -tentu saja justru- memberi promosi gratis untuk film itu. Aku tetap tak nonton.
Ketika diputar di HBO, aku nonton. Wuiiih, ternyata bagus. Agak berat secara psikologis sebagai hiburan…tapi bagus, terutama akting Joaquin Phoenix, pemeran utamanya. Yang memang salah-satu aktor kuat dan konon di film itu dia diganjar Oscar.
Joker seperti banyak penggemar komik ketahui adalah, tokoh antagonis dlm serial Batman. Dengan akting memukau, Joker “lepas” dari kisah Batman. Yang menyantel hanya kisahnya terjadi di Gotham City.
Joker dikisahkan mengidap depresi berat yg membuat segala sesuatu, termasuk ketimpangan bahkan kebusukan manusia membuatnya tertawa dalam tangis, atau menangis dalam tawa.
Joker yg pada dasarnya pendiam, introvert dan baik,…terprovokasi oleh lingkungannya yang busuk dan munafik. Adegan-adegannya mengejutkan. Diamnya semakin lama semakin menakutkan. Penembakan di kereta api terhadap bbrp “pemuda kaya”,… bahkan pengejaran dan pembantain terus dilakukan sampai di tangga stasiun keretaapi, yang sepi, betul-betul sungguh brutal.
Berita penembakan itu, justru memicu chaos. “Orang-orang pinggiran” justru mendapat semacam “pembenaran”. Demo orang-orang dengan masker Joker itu berubah menjadi anarkis dan brutal.
Gong kebrutalan yang mengejutkan itu terjadi ketika Joker menembak kepala komedian yang mengundangnya menjadi bintang tamu. Sebetulnya Joker berencana bunuh diri di acara televisi terkenal itu. Sebelumnya, dia membantai teman kerja yang mengunjunginya dan ingin berbela sungkawa atas kematian ibunya.
Di acara televisi itu, dia merasa terprovokasi dan disudutkan oleh momedian kondang yang mengundangnya. Joker, menembak kepala komedian itu di tengah-tengah wawancara di depan kamera televisi yang menyiarkan live. Sang komedian kondang terjengkang. Darah muncrat dari kepala. Berceceran sampai menciprati dinding!…
Nah, bayangkanlah film seperti itu ditonton oleh anak-anak!…
Aku sudah lama gundah dengan “batasan sensor” kita. Sensor, secara harafiah sebetulnya berhubungan dengan piranti kelistrikan atau elektronik (jika ingin detail dan tepatnya gooling aja ya). Lalu kita mengartikan sebagai semacam ‘saringan'(?), ‘kedap'(?) atau ‘pemilahan’ antara yang mana boleh, yang mana tidak. Dalam hal tontonan (film), kita mengenal istilah: “13 tahun ke atas”, “17 tahun ke atas” bahkan “21 tahun ke atas”. Semua itu semata-mata berhubungan dengan pornografi.
Bahwa tontonan itu, hanya layak bagi orang yg berusia 13, 17 dan 21 atau lebih. Badan sensor (dan kita) mengganggap anak-anak belum layak menyaksikan sesuatu “yang belum waktunya”. Batasan tentang sensor adalah: bahwa anak kecil belum boleh menyaksikan pornografi, titik.
Tapi, kita membiarkan anak-anak menyaksikan begitu telanjang, vulgar, manusia membantai manusia lain, tubuh terbujur meregang nyawa, darah muncrat sampai ke dinding.
Si Kk bercerita, ada polemik di sekitar populernya film itu. Di media sosial, seseorang memposting keheranan, kegemasan dan kengeriannya. Banyak orangtua yang mengajak anaknya menonton film “Joker”. Mungkin dia tak mengetahui bahwa secara psikologis, kebrutalan film itu sangat mengerikan buat anak-anak. Dan yg mengherankan, kok ya anak-anak lolos untuk masuk ke bioskop menonton film itu. Kok, petugas bioskop tak mengingatkan? Adakah petugas bioskop tak tahu tentang film itu, belum nonton atau tak peduli?!…
Ketika usia SMP dulu, seperti banyak anak-anak seusiaku, sekitar 13-14, aku kerap mencuri-curi untuk menerobos, mengelabui petugas bioskop, menonton film “17 tahun ke atas”. Dengan tinggi badan yang hampir menyamai tinggi badan orang dewasa, memakai celana panjang, mengenakan topi, menundukkan kepala. Kadang lolos, kadang tidak. Kadang petugas tak peduli.
Mencuri-curi nonton film 17 tahun ke atas di saat usia masih 13-14 tahun memang sesuatu yg tak bisa dibenarkan. Tapi menurutku itu… jauh,… jauh lebih baik daripada membekali anak-anak dengan senjata (meski mainan) dalam sebuah pawai. Apalagi mengajari anak-anak baris-berbaris sambil berteriak-teriak mengakhiri hidup seseorang!..
(Aries Tanjung)