Sesungguhnya Indonesia Dibangun oleh Puisi

Sutardji Calzoum Bachri01

Diskusi mengenang Prof. Abdul Hadi WM (1946-2024), di Ruang HB Jassin TIM diisi oleh kesaksian Sutardji sebagai sahabat dan sesama penyair, paparan dan tinjauan sejarah sastra Dr. Maman S Mahayana dosen FIB Universitas Indonesia, Ketua Yayasan Hari Puisi, dipadu dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penyair. foto : Herman Wijaya

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

SESUNGGUHNYA Indonesia dibangun oleh puisi. Pada tahun 1928-an, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tidak nyata, belum ada dan masih imajinasi. Masa itu negeri kita masih dikuasai penjajah Belanda.

Membayangkan Indonesia bertumpah darah satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, adalah mimpi dan imajinasi yang biasa dikhayalkan oleh para penyair.

“Saya membaca berulang ulang Sumpah Pemuda itu. Menurut saya, sumpah pemuda adalah sebuah puisi, ” kata Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia dalam acara Mengenang Abdul Hadi WM dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan dan Kebangsaan di Ruang HB Jassin. Acara dihadiri para penikmat sastra dan para mahasiswa.

”Jadi, sesungguhnya Indonesia dibangun oleh puisi, ” tegas Bang Tardji.

Diskusi mengenang Prof. Abdul Hadi WM (1946-2024), diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pecinta Peradaban dan Kebangsaan (Forum W), bersama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, diisi oleh kesaksian Sutardji sebagai sahabat dan sesama penyair, paparan dan tinjauan sejarah sastra Dr. Maman S Mahayana dosen FIB Universitas Indonesia, Ketua Yayasan Hari Puisi, disaksikan Fajriah (Mpok Iyah) anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan moderator Yusuf Susilo Hartono. Hadir sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah dan penyair 66 Taufik Ismail.

Diskusi mengenang penyair sufi, Prof . Abdul Hadi WM di Ruang HB Jassin – TIM. Dari kiri : Sutardji Calzoum Bachri, Dr. Maman Mahayana, Fajriah (IKJ) dan Jusuf usilo Hartono. foto Dudut

Bang Tardji memberikan testimoni tentang Abdul Hadi WM sebagai penyair seangkatan. Dalam kenangannya, almarhum orang yang menyenangkan, sesama angkatan 1970-an. Keduanya bersahabat karib. Abdu Hadi WM masih susah, ketika Tardji sudah mulai makmur, dan menjadi wartawan dan kerja kantoran. Dia mengenangkan sahabatnya itu, saat menulis surat panjang lebar tentang derita hidupnya. Tardji sangat mengagumi bahasanya.

“Sayangnya saya dokumentator yang buruk. Saya tidak menyimpannya. Saya masih berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, hanya barang satu koper saja, ” katanya. Belakangan mereka bekerja bersama sama dengan almarhum, mengelola sebuah media cetak di Bandung.

“Dia adalah orang yang halus, tapi suka humor. Dia suka memuliakan teman, sehingga maqomnya lebih besar dari saya,” kenang Bang Tardji .

Penyair Abdul Hadi WM, alumni Filsafat UGM adalah penggagas “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Modernitas dan peradaban Barat tidak untuk ditolak. Namun tradisi jangan ditinggalkan. Sutardji sepakat dengan itu. Dia membangkitkan ingatan hadirin pada gagasan Takdir Alisyahbana pada Polemik Kebudayaan 1930an, agar meninggal budaya tradisi masa lalu, dan hidup dalam alam baru Indonesia yang baru, yang merujuk pada Barat, yang membawa kepada modernitas.

Fajriah dari Dewan Kesenian Jakarta menambahkan bahwa diksi-diksi dari Abdul Hadi sarat dengan unsur sufi dan filsafat, diksi-diksi tersebut lebih membebaskan dan penuh dengan cerita.

DR Maman Mahayana selaku pengamat sastra menyatakan keheranannya bahwa setelah Pujangga Baru, Angkatan ’45 dan ’66 serta angkatan 70 – tak ada lagi angkatan puisi. Dalam ctatan, pergolakan politik melahirkan angkatan sastra juga. “Mengapa pada pergolakan 1998 tak ada angkatan dalam sastra padahal itu pergolakan besar.?” tanyanya .

Acara mengenang Prof. Abdul Hadi WM yang digelar Sabtu, 3 Februari 2024 kemarin,  diramaikan dengan pembacaan puisi oleh Remmy Novaris MD, Nuyang Jaimee, Ariani “Rini” Isnamurti, dan Linda Djalil. Abdul Hadi WM meninggal dunia pada Jumat (19/1/2024) dalam usia 77 tahun karena sakit.

Jose Rizal membacakan sajak almarhum yang bernuansa kritik sosial ala sajak pamvlet “Doa untuk Indonesia” yang ditulis di tahun 1971, dan diambil dari kumpulan sajak “Madura, Luang Prabhang” :

“Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur
yang atapnya bocor dan administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus

Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat

Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia?
Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia?

Berisik lagi, berisik lagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :

Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka……….

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.