Siapa Seseorang Terbaca Dari Komentarnya

Seide.id – Menyambung tulisan saya ihwal orang baik di atas, dan saya menutup tulisan saya itu dengan mengungkapkan, bahwa dari sikap-pikir-rasa-laku seseorang kita bisa menilai siapa dia. Termasuk karakter, kepribadian, kematangan, kearifannya. Normal dan sehatkah? Termasuk dari komentar-komentarnya terhadap postingan di akun media sosial saya.

Selama ini saya mengamati semua konten komentar terhadap setiap postingan di akun saya, selain menyimak juga komentar-komentar dari orang yang sama pada postingan orang lain, saya menangkap sesuatu. Hanya ingin memastikan saja, kalau memang betul penilaian saya terhadap orang tersebut.

Komentar seseorang terhadap apapun dalam pergaulan, merupakan bagian dari kepribadiannya, selain juga mencerminkan siapa dia seutuhnya. Dalam hal memberi komentar, termasuk kecerdasannya menangkap konten setiap postingan yang dibacanya.

Dalam hal kecerdasan menangkap tulisan postingan, saya mendapat kesan, beberapa komenar lahir sebab salah tangkap terhadap konten postingan, bahkan terkesan gagal paham, dan itu bisa dimengerti. Tiap orang berbeda ketajamannya menangkap materi tulisan, yang terkait IQ juga. Bila ini yang membuahkan komentarnya, sebaiknya tak perlu direspons, karena salah tangkap, gagal paham, maka belum satu persepsi. Tidak perlulah menimpali komentarnya.

Lebih banyak komentar yang out of the content, sama sekali tidak peduli dengan materi konten yang panjang lebar saya ungkapkan, dan komentarnya bicara bukan ihwal konten postingannya, melainkan di luar itu. Tidak kontekstual. Hanya menyentil, mungkin terhadap kesalahan data, kesalahan memberi contoh, hanya soal ranting dari pokok besar materi konten. Kesannya semacam tukang koreksi, dan itu rasanya tidak penting amat.

Saya menduga motif tipe orang ini berkomentar mungkin hanya supaya menunjukkan kalau dia lebih tahu dari penulis postingannya. Atau ada pula komentar yang sekadar menanggapi contoh, hanya materi misal, dan bukan konten, bukan terhadap pokok bahasannya, seakan tidak perlu dibahas. Saya melihatnya lucu saja.

Hemat saya, komentar yang berwibawa dan patut diapresiasi itu komentar yang memberi tanggapan terhadap pokok bahasan secara komprehensif. Bukan mencuplik sempalan-sempalan ungkapan, termasuk contoh, misal, atau ranting bahasan yang tidak kontekstual. Dan ini lucu.

Hemat saya, tanggapan yang elok terhadap postingan itu selayaknya mengulas, apakah betul, ataukah salah, ataukah tidak tepat ihwal pokok bahasan yang diungkapkan dalam postingan, dan bukan nyeleneh ke luar konteks.

Itu maka saya menjadi kurang begitu menghargai komentar yang lucu-lucu semacam itu. Hemat saya, mending nggak usah berkomentar, yang malah membuka kedok sendiri, dan bikin orang lain kurang respek.

Komentar yang elok tidak harus memuji postingan, atau harus bersepakat dengan kontennya, silakan boleh bebas menentukan sikap, ada sanggahan, namun ada argumen, ada bahan untuk berdiskusi.

Tanggapan terhadap sesuatu pokok bahasan, terhadap sebuah opini kan boleh bebas disanggah, asal ada dasar logikanya, ada argumennya, supaya kalau berdebat tidak menjadi pokrol.

Terhadap komentar yang lucu-lucu dan saya nilai kurang cerdas, saya tidak menanggapinya. Hanya mencatat dalam hati. Cukup membuat saya jadi mengenal saja, memperkaya pengalaman mengamati komentar berulang kali dari orang yang sama terhadap postingan yang berbeda, selalu saja begitu nada komentarnya. Khas miliknya. Out of content, tidak kontekstual. Itu pula cermin tipe karakter dan kepribadiannya.

Lebih lucu lagi orang yang sama selalu komentarnya bernada menggurui, merasa lebih senior, lebih tahu. Dalam kerja psikoanalisis, ini suatu transactional analyisis. Bagaimana status ego seseorang (ego status sebagai orangtua, atau ego status sebagai orang dewasa, atau ego status sebagai anak-anak) menyikapi dan memperlakukan orang lain. Bagaimana status kita diperlakukan oleh seseorang, kita disikapi apakah sebagai berstatus lebih rendah, sederajat, atau lebih tinggi?

Komentar yang selalu menggurui tak ubahnya sikap guru kepada murid (relasi ego status sebagai orangtua terhadap ego status sebagai anak-anak), mendudukan diri lebih tinggi, lebih senior, lebih dari yang dikomentari. Siapapun yang dihadapinya seolah masih muridnya. Bahkan ada dari komentar-komentar orang yang mendudukkan ego status sebagai orangtua, ibarat mengajarkan ikan berenang. Untuk komentar yang begini pun dalam hati, saya ketawa saja. Saya menjadi semakin tahu siapa dia.

Seperti pernah saya tuliskan dalam postingan saya beberapa waktu lalu, bahwa manusia itu ibarat kaset musik, sosok kasetnya semua tampak sama. Kita baru tahu seberapa elok seseorang setelah kasetnya diputar sehingga terdengar seberapa merdu suaranya, seberapa elok kepribadian dan karakter orangnya.

Kita baru tahu eloknya, atau payahnya, tidak normalnya, asosialnya, disosialnya seseorang, sehat tidak jiwanya, indah tidaknya kepribadiannya, buruk karakternya, setelah kita mendengar orang berbicara, melihat ia bersikap, berperilaku, beretiket, unggah-ungguh, tepa-slira, dan semua respons jiwanya.

Sebangun dengan itu juga terbaca dari bagaimana orang memberi komentar. Kita membaca siapakah seseorang setelah membaca isi komentarnya. Seperti apa sikap dia terhadap yang dikomentari, seberapa angkuh, seberapa merasa lebih superior, seberapa tahu diri, seberapa menjaga perasaan. Belum pula kita bicara soal bagaimana santun komentarnya ditulis, yang waspada menjaga agar komentarnya tetap bikin orang lain merasa nyaman.

Saya semakin banyak belajar dari situ. Belajar menjadi orang yang semoga semakin elok.

Hanya orang baik, orang yang sehat dan normal kepribadiannya, menonjol karakternya, tahu aturan, tahu adat, menjaga perasaan orang, komentarnya arif, elok serta berwibawa. Kita tidak perlu mengurangi respek terhadap orangnya.

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

Membaca Siapa Seseorang Dari Cara Dia Bicara