SUSAHNYA JADI PEREMPUAN CANTIK

HANDRAWAN NADESUL

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet

Saya belum pernah membaca ada studi kalau perempuan cantik lebih berisiko perjalanan hidupnya tidak selalu berujung indah. Lebih banyak yang tidak indah. Seolah paradoks, modal cantik yang mestinya membawanya kepada kebahagiaan hidup, nyatanya terkesan tidak selalu begitu. Banyak yang tidak begitu.

Saya mengamati secara pribadi sejak dulu, semasa saya mengasuh rubrik di Majalah Kartini tahun 70-an akhir, dari yang keseharian saya temukan, dari apa yang saya baca, dari fakta sosial, dan pengalaman selama saya praktik, saya mendapatkan kesan tentang ujung perjalanan hidup rata-rata perempuan cantik. 

Beberapa teman sekolah, perempuan cantik yang saya kenal, termasuk mantan-mantan saya, dari cerita orang-orang, dan pasien yang saya temui, terkesan kalau perempuan cantik tak sedikit sandungannya menuju kebahagiaan hidupnya. Malah tidak atau kurang berbahagia.

Analisis saya terhadap hipotesis itu sebagai berikut. Bahwa cantik itu anugerah. Banyak sekali kemudahan yang diperoleh perempuan cantik sepanjang hidupnya. Ihwal diterima kerja, dipinang menjadi istri lelaki kaya, terbuka peluang lebar jadi bintang film, pemain sinetron, dan privelese lainnya dibanding perempuan tidak good looking. Termasuk juga gampang sekali mendapatkan pacar. Tidak ada lelaki yang tidak menolak kalau dia memberi harapan. Ini semua sebetulnya beban. Beban yang menjadi sandungan di sepanjang perjalanan hidupnya.

Khusus dalam hal memilih teman hidup. Semua lelaki tertarik oleh karena s*ks lelaki itu ada di matanya. Pintu masuk keterpikatan lelaki ada di matanya. Kalau bukan melirik, tentu melotot setiap ada sosok perempuan yang good looking.

Bahwa cantik itu absolut, bukan relatif. Seperti keindahan, cantik bukan relatif. Cantik kata saya cantik juga kata kamu, cantik juga kata semua. Jadi boleh dibilang semua lelaki yang kenal dan dikenal oleh seorang perempuan cantik, mestinya tertarik semua.

Tabiat lelaki yang sudah terpikat, jujur atau tidak, menggombal atau tidak, tentu nembak, dan cepat-cepat bilang aku cinta padamu. Celakanya, s*ks perempuan itu di telinganya, seolah suka mendengar kata-kata indah, rayuan, rajukan, termasuk gombalan. Mungkin tahu gombal, tapi suka aja. 

Dan kalau semua lelaki yang kenal dan dikenal sama-sama terpikat, dan sama-sama berani bilang aku cinta padamu, betapa repot dan bingungnya si perempuan cantik. Mau percaya lelaki yang mana, mau terima yang mana. Di sinilah batu ujinya.

Mau pilih yang kaya raya ada, yang pintar ada, yang ganteng banyak.  Tapi mana yang paling tepat. Mana yang Mr Right, dan bukan Mr Wrong. 

Tanpa kecuali, kaum perempuan juga tertarik pada lelaki yang good looking, yang enak dilihat. Ini beban tambahan, kalau semua yang ganteng sama-sama bilang aku cinta padamu. Ini bukan soal pilih kancing baju, atau asal capcipcup, oleh karena ini urusan memilih teman hidup yang harus sepanjang hayat. 

Tidak gampang memilih di antara semua lelaki yang pantas dipilih, karena susah membedakan mana yang pura-pura, mana yang bersungguh-sungguh. Pilih lelaki kaya mungkin dia cuma mau seksnya doang. Pilih lelaki pintar mungkin dia perlu inner beauty-nya. Pilih yang ganteng saja, mungkin berharap harus tetap cantik selamanya. Kenyataan hidup, apa pun tidak ada yang abadi.

Kalau bilang cinta, tapi cintanya karena, hati-hati. Aku cinta kamu karena kamu cantik. Itu artinya, begitu sudah tidak cantik lagi, cinta akan hilang. Atau aku cinta kamu karena kamu kaya. Begitu tidak kaya lagi, cinta itu lenyap. Atau aku cinta kamu karena kamu perhatian sama aku. Begitu tidak ada perhatian lagi, cinta pun redup. Jadi konsep bijaknya, perlu mendapatkan sifat cinta yang meskipun. Tetap cinta kamu, sayang kamu, perhatikan kamu meskipun kamu sudah tidak cantik lagi, sudah tidak kaya lagi, sudah tidak seperti dulu lagi. 

Barangkali kalau sudah sama-sama meniscayai, kedua belah pihak bisa menyelami, bahwa ke depan bakal begitu, itulah cinta yang tulus. Tapi bagaimana mengetesnya. Ini dilematisnya. Lagi pacaran kan semua terasa dan kelihatan indah. Semua OK. Apalagi kalau sudah keranjingan seks.

Menjadi perempuan cantik, melebihi perempuan tidak good looking, perlu lebih taktis, lebih cerdik, lebih pasang strategis, supaya memilih pasangan hidup bukan lagi seperti pasang lotere, untung-untungan — akan tetapi lebih diperhitungkan, lebih dipertimbangkan matang-matang. Perlu trik, perlu siasat. Soal seks misalnya.

Cara kuno orang dulu, pacaran tidak boleh seks mungkin banyak betulnya. Pacaran itu proses intimacy, dan pastikan bahwa pihak lelaki bukan hanya terpikat oleh sosok kecantikan semata, tapi juga cocok dengan inner beauty-nya. 

Karena kecantikan itu tidak abadi, sedang yang di dalam itu abadi. Buat lelaki sangat bersyukur kalau selain memperoleh pasangan hidup cantik, kepribadiannya juga indah, perangainya juga indah, lemah lembut, dan bersesuaian dengan pihak lelakinya. Itu yang dimaksud dengan cocok. Ada kecocokan, karena cantik saja belum tentu cukup. Perlu compatible.

Hanya apabila perempuan cantik, cerdik, taktis, luwes, dan memanfaatkan siasat, maka yang dipilihnya betul sebulat Mr Right. Dan bakal menjadi bias apabila selama saling mengenal, saling menyelami apa-siapa, direcoki oleh urusan s*ks dan s*ksualitas. Semua buyar dan ambyar, kalau semaca pacaran seks mendahului semuanya. Mendahului rasa cinta, mendahului sudah saling cocok. Mendahului kemampuan saling bisa bertoleransi. Toleransi diperlukan oleh karena dua insan berasal dari dua latar belakang yang tidak sama perlu kemampuan bertoleransi. Aku tak mungkin menjadi kamu, dan kamu tidak mungkin menjadi aku. Tapi kalau masing-masing bisa saling bertoleransi, maka tetap merasa nyaman. Akan tetapi begitu sudah tidak bisa saling toleransi, maka itulah bagian dari ketidakcocokan. 

Bahwa perceraian muda, atau perceraian sudah punya cucuk, alasannya sering “sudah tidak cocok lagi”. Arifnya, kalau tidak cocok itu diungkapan semasa masih pacaran, semasa intimacy, bukan setelah punya cucu. Namun menjadi lain kalau pacaran sudah s*ks, maka rasa tidak cocok sudah tertutupi oleh seks, sehingga seolah-olah cocok.

Ihwal tabiat seks, ada perbedaan gender. Keduanya bisa tiba pada satu titik, the point of no return. Ketika pacaran sudah sedemikian jauh, keduanya sudah tak bisa menginjak rem, maka yang tak boleh terjadi itupun terjadilah. Que sera sera. Pihak perempuan kehilangan virginitas. Ini berarti cacat moralnya, kelak bisa menjadi masalah bila lelaki yang sudah berbuat meninggalkan, dan harus mencari calon suami lain. Tapi kalau berlanjut dengan perkawinan, padahal proses intimacy belum matang, fondasi perkawinan betapa rapuhnya. Itu maka the point of no return itu tak boleh terjadi. Paling sadar, paling bisa menahan diri, secara gender pihak perempuan. Pihak perempuan yang perlu terlebih dulu, duluan menginjak rem, kalau pacaran terlanjur jauh. 

Seks pacaran jangan sampai dalam-dalam, jangan jauh-jauh. Jangan sampai sampai masing-masing sudah tiba pada sensasi sudah gak tahan lagi. Pihak lelaki sudah tiba pada rasa ingin menaklukkan, dan pihak perempuan sudah pada rasa tak bisa mundur lagi karena sudah tiba pada rasa pasrah. Inilah point of no return itu. Pacaran jangan memasuki area itu.

Saya ikut Kongres Nasional Seksuologi di Bali tahun 1980-an. Ada studi yang mengungkapkan bahwa separuh pelajar perempuan sudah tidak gadis lagi, pada saat yang sama pelajar lelaki bersikap tidak mau menerima kalau calon istrinya sudah tidak perawan. Semakin kebalakang, Prof  Sarlito Wirawan Sarwono, pada tahun itu menemukan kehidupan seks bebas anak sekolah sudah amat mecemaskan. Barangkali itu sebabnya banyak perkawinan generasi s*ks bebas, berujung tidak langgeng.

Kalau proses intimacy atau masa pacaran itu sudah direcoki s*ks, maka kekokohan fondasi perkawinan diragukan. Belum saling kenal, belum saling cocok, belum saling bisa bertoleransi, bakal menjadi bom waktu setelah memasuki perkawinan. Baru tahu belangnya setelah menikah. Baru tahu jeleknya, baru tahu motifnya, sebetulnya ternyata bukan cinta, bukan sungguh, bagaimana mungkin bisa bersetia.

Cinta saja tapi tidak cocok belum tentu langgeng. Untuk mendapatkan cinta dan cocok perlu pacaran yang matang. Perlu intimacy yang sungguh dilalui tanpa direcoki s*ks melainkan saling mencocokkan. Bila tak cocok, jangan bimbang untuk mundur, dan pisah baik-baik. Maka agar mulus pematangan hubungan, jangan sembunyikan kekurangan kejelekan kelemahan selama berpacaran. 

Pacaran tanpa s*ks kayaknya ganjil. Tapi itulah cara menuju perkawinan yang tangguh. Ada teman perempuan selama pacaran tidak memberi kesempatan lelakinya melakukan aktivitas seks, cukup sekadar cipika-cipiki. Katanya ini juga semacam test case buat lelaki apakah masih setia, dan tidak meninggalkan kalau tidak dikasih seks. Setiap ajakan seks ringan saja ditolak. Ia berterus terang hanya k*ssing saja, itupun bukan deep k*ssing. Karena DK akan cepat memasuki the point of no return, lalu que sera sera.

Dengan menempuh intimacy yang matang dan hati-hati sajapun pilihan Mr Right belum tentu jitu. Pada tingkat sudah matang hubungan inilah kita baru bicara ada Tangan Yang Maha Welas Asih. Memilih dalam doa. Apakah memang sudah tepat itu kehendakMU yang akan jadilah.

Misteri cinta terjadi, karena keterpikatan sosok bukan pada kecantikan semata. Ada nuansa kecantikan lain, yaitu apa yang disebut s*x appeal. Apakah itu? 

Yaitu ada dayapikat lain di balik sosok seseorang yang bisa memikat orang tertentu. Hanya orang tertentu yang menemukan nuansa sosok kecantikan yang bukan universal ini. Yang kata kita tidak cantik, tapi cantik kata orang tertentu. Itu maka kita menemukan ada lelaki yang menemukan kecantikan lain itu pada sosok yang dipilihnya. Pangeran Charles memilih Camilla yang menurut ukuran normal jauh lebih cantik Lady Diana. Itu lantaran dalam s*x appeal, cantik menjadi relatif. 

Kita merasa ganjil dan kurang pas bila melihat ada pasangan ganteng dan perempuan tidak cantik absolut. Atau ada pula perempuan cantik memilih lelaki yang tidak good looking. Kita menemukan pasangan semacam itu, melihatnya pada wanita pilihan Mark Zuckerberg, yang seturut ukuran normal kurang cantik, tapi dipilih Marc. Atau pada Bill Gates, atau pada Albert Eistein yang mungkin hanya merejka yang melihatnya mereka cantik.

Kita merasa nyaman kalau melihat sejoli yang sama cantik dan tampan, tapi sekarang kita tahu, banyak misteri ihwal cinta. Ihwal s*ex appeal itu. Ihwal cantik yang tidak cantik itu.

Salam cantik,

Dr HANDRAWAN NADESUL

Avatar photo

About Handawan Nadesul

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet