Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Saya tidak terlalu pandai menulis dalam bahasa Batak. Saya tidak terlalu paham banyak tata bahasa kata Batak, meski belajar juga ketika SD. Tapi belakangan saya menemukan beberapa bentuk unsur bahasa Batak yang menunjukkan warna khas budaya Batak. Contohnya unsur kata “ta” sebagai kata ganti orang yang dijadikan akhirnya kata. Contohnya, hutanta, anakta, tulangta, jabunta, kopinta, dan banyak lagi.
Kata “ta” dalam kata-kata itu sebagai kata ganti hita atau kita. Pemakaian “ta” sebagai akhiran dalam kata-kata itu bermakna sebagai milik bersama (kita). Hutanta = kampung kita, anakta = anak kita, tulangta = tulang kita, jabunta = rumah kita, kopinta = kopi kita. “Baen jo kopinta i (buatkanlah dulu kopi kita)”.
Saya merasa pemakaian kata “ta” yang unik ini mengandung unsur budaya. Selain untuk penghalusan kata (kalimat), unsur “ta” ini menunjukkan komunalitas kehidupan orang Batak. Bahwa banyak hal, sesuatu, atau persoalan adalah milik bersama. Ada unsur kesopanan, dan rasa akrab, dan kebersamaan di sana.
“Pasingot anakta i bah. Jotjot hubege marhata na so suman tu donganna (Nasehati anak kita itu bah. Sering saya dengan ngomong kotor ke teman-temannya)” Kata “anakta” (anak kita) itu menunjukkan niat baik, bahwa anak itu juga anaknya. Dengan kalimat seperti itu, orang tentu akan menerima dengan sikap baik, meski mungkin di rumah akan melibasi anaknya. Beda kalau misalnya bilang, “Pasingot anakmi bah (Nasehati anakmu itu bah)”.
Seingat saya, orang-orang tua di masa kecil saya sering menggunakan bahasa “ta” ini. “Ro ho tu jabunta bah (Datanglah ke rumah kita)”. “Ai marsahit inongta hubege, sahit apa (Kudengar ibu kita sakit, sakit apa?” Ada keindahan (kesopanan) kahasa, sekaligus keakraban (kekeluargaan).
Mungkin karena rasa komunal (kekeluargaan) ini, orang-orang tua masa kecil saya biasa menegur anak orang kalau berperilaku atau berkata tidak sopan. Anak-anak biasanya merasa malu dan menerima. Kalau orang tua anak itu tahu, biasanya berterimakasih, karena sudah menasehati anaknya.
Apa sekarang masih seperti itu? Beberapa tahun lalu, saya melihat seorang opung (ibu tua) menegur seorang anak yang melempari beberapa kerbau (orang lain) yang sedang merumput dengan batu. “So na horbom hudangguri (bukan kerbaumu yang saya lempari),” kata anak itu dengan tengil. Bah!
Sedih mendengarnya. Di masa saya kecil, si anak pasti merasa malu dan takut. Takut dilaporkan ke orangtuanya. Yah, barangkali orangtua sekarang juga tidak suka lagi anaknya ditegur orang.
Seperti saya tulis dalam “Persoalan Sosial Budaya Kehadiran Indorayon/TPL di Tano Batak” nilai-nilai komunal dalam kata dengan akhiran “ta” telah memudar. Orang-orang yang satu ompu, satu keturunan, tidak lagi merasa tanah ulayat itu “tanonta” (tanah kita), dan huta itu “hutanta” (huta kita).
Seperti dalam tulisan “Orang Batak dan Krisis Sistem Nilai”, orang-orang di Tano Batak, seperti juga di dunia pada umumnya, telah lebih dikuasai sistim nilai, yang mengutamakan tujuan dan hasil pragmatis (material), daripada sistim nilai yang mengedepankan nilai-nilai keharmonisan dan kebersamaan.
Tak heran kalau masyarakat Batak cenderung cuek dan apatis, tidak merasa terhina, alam lingkungan dan kehidupan sosial di Tano Batak diacak-acak dan dilecehkan satu perusahaan ganas milik orang Cina. Orang Batak seperti kehilangan kata “ta”. Tano Batak seperti bukan lagi “tanonta”. Bangso Batak seperti bukan lagi “bangsonta”. Benarkah? Mari kita renungkan bersama.