KEMBALI ke Indonesia, Harry malang melintang di dunia IT yang juga sedang menggeliat. Dia ikut mendirikan Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI) dan menjadi motor Rimba Sindikasi Media, payung perusahaan Open Source. Dia didapuk kawan-kawannya sebagai nakhoda RSM. Dia juga punya kesibukan lain yang tak kalah ruwet, yaitu merapikan sistem IT toko-toko milik ayahnya yang berasal dari Silungkang, Sumatra Barat. Toko apa saja? “Toko-toko di pasar becek,” celetuknya mengulum senyum. “Biasalah orang Minang. Jualan tekstil sampai alat tulis.”
‘Toko-toko di pasar becek’ inilah yang membuat sang ayah mampu membeli rumah di Pondok Indah dan membesarkan Harry serta ketiga adiknya di pemukiman prestisius di selatan Jakarta tersebut. Dari usaha keluarga ini muncul Ahad Swalayan, Ahad Komputer, yang bermetamorfosis menjadi Ahad Mart yang memiliki enam outlet mini market di Jabodetabek.
“Nama Ahad diberikan ayah karena beliau prihatin umat Islam semakin jarang menggunakan kata ini dan lebih suka menggunakan kata Minggu. Padahal nama hari-hari lainnya dari Senin sampai Sabtu tetap kata serapan dari bahasa Arab,” tuturnya. Ahad Mart dikelola dengan semangat Islam bukan hanya dari nama melainkan juga etos kerja. Toko harus tutup setiap salat Jumat dan baru beroperasi lagi sesudahnya. Mereka juga tak menjual makanan dan minuman yang haram dalam ajaran Islam.
Spirit keislaman dalam berniaga itu datang dari dua hal. Latar belakang kultural Minang dan hasil mengaji kepada Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Kami rutin ke tempat beliau di Bogor, selain saya dan ayah juga seorang kawan ayah yang selalu ikut kalau kami ke sana. Kawan ayah itu kemudian menjadi mertua saya setelah saya menikahi anaknya, Helen,” ujar Harry tertawa.
Waktu terus berlalu. Di tahun 2014, dia prihatin melihat kabar misinformasi dan disinformasi bersliweran di ruang publik kian menggila. “Ayah saya bertanya kenapa sejak era Jokowi jumlah hoax makin banyak?” ulang Harry. “Saya jawab, nggak Pa. Ini akumulasi dosa masa lalu karena kita nggak biasa berpikir kritis menyaring informasi, lemah dalam literasi. Lalu muncul kemudahan media digital dari FB, WA, di mana orang bisa posting apa saja. Meledaklah bom waktu itu dalam bentuk kabar hoaks yang masif.”
Harry memutuskan berkiprah di KPU dan merancang sistem IT yang modern dan transparan. “Sistem IT pemilu Indonesia dalam satu hari adalah yang terbesar di dunia. Sistem IT pemilu AS juga besar tapi terpecah di banyak negara bagian. Sistem IT kita yang bisa melihat hasil sampai ke TPS-TPS membuat potensi kecurangan pada setiap rantai dari TPS, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya, terpantau karena data TPS bisa diketahui masyarakat. Ternyata kami malah diserang hoaks gencar seperti server KPU disebut di Singapura, KPU memanipulasi data, dll. Padahal kami sudah bikin open data. Untungnya ada inisiatif dari masyarakat yang gunakan open data dengan membuat Kawal Pemilu seperti dilakukan Ainun Najib sehingga isu hoaks terbantahkan,” katanya.
Kelar pemilu 2014, Harry mengira problem hoaks selesai. “Ternyata justru menjadi-jadi. Bukan hanya soal pemilu melainkan keuangan, kesehatan, dan sebagainya. Polarisasi masyarakat semakin lebar. Makin banyak orang yang hopeless, Saya merasa harus mencari jalan dari situasi itu dan teringat ayat Al Qur’an yang berbunyi ‘Wahai orang-orang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka‘ (QS 66:6). Maka saya buat Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di FB dengan anggota pertama anak-anak saya sendiri. Mulainya September 2015. Saya tulis artikel tentang apa itu hoaks? Mengapa hoaks berbahaya? Itu semua untuk pendidikan untuk anak-anak saya agar mereka tidak gampang termakan kabar fitnah. Karena grup tidak saya kunci, akhirnya banyak yang bergabung.”
Suasana forum jadi dinamis karena anggota terlibat dalam debunking hoax (membongkar hoaks). Misalkan ada yang posting satu topik dan nanya, “Ini hoaks atau bukan ya?” Lalu jawaban datang dari anggota lain yang memberi keterangan. “Salah satu contoh seru ketika beredar gambar sebuah gedung dengan tulisan Cina Mandarin di depannya. Caption foto itu berbunyi ‘Inilah bukti Cina sudah invasi Indonesia dengan kantor pusat mereka di Jakarta’. Tapi dalam dua menit sudah ada jawaban dari anggota lain yang menjelaskan, ‘Oh, itu kantor Jawa Pos. Mereka punya surat kabar dalam bahasa Mandarin’. Akhirnya kita ketawa semua karena hoaks bisa sejauh itu,” kenang Harry terpingkal-pingkal.
Setahun kemudian atas usulan anggota yang sudah berjumlah puluhan ribu dibentuklah MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan para pendiri Harry Sufehmi, Judith Lubis, Catharina Widyasrini, Aribowo Sasmito, Eko Juniarto, Faisal Aditya dan Septiaji Eko Nugroho. Sekitar 12 dari 17 orang koordinator wilayah adalah perempuan. Per Agustus 2019 tercatat 528 relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sejak berdiri, MAFINDO sudah menangani lebih dari 3.000 kasus hoaks. “Komitmen kita para pendiri adalah tidak akan menerima funding dari Pemerintah. Lalu dari mana dana kita? Alhamdulillah setelah menjadi organisasi justru banyak pihak yang mengajak kerja sama dari dalam dan luar negeri seperti dari WHO. Ternyata wabah itu bukan hanya penyakit fisik, WHO membuat cabang ilmu yang disebut infodemiology atau ‘wabah (informasi) hoaks’. WHO menjadikan kita partner di Indonesia karena melihat kita yang menjadi pionir untuk melawan hoaks. Ini salah satu contohnya.”
Tanpa terasa ruangan resto kembali lengang. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB. Teh talua di gelas kami pun sudah tandas. Kami menyudahi obrolan.
Semoga MAFINDO panjang umur dan terus berperan dalam menjernihkan beragam jenis hoaks yang semakin rapat mengurung kita dari hari ke hari. Tetapi mengandalkan MAFINDO saja jelas tak akan cukup karena kontrol pertama untuk mengurangi peredaran hoaks dimulai dari diri masing-masing.
Sebelum mengirim dan meneruskan ( forward) sebuah pesan, pastikan bahwa info itu valid dan berguna bagi orang lain. Jangan kirim info yang meragukan apalagi sudah jelas salah. Sebab barangsiapa yang dengan sengaja mengirimkan kabar bohong akan mendulang dosa besar yang tak main-main seperti difirmankan Allah dalam Surat An Nur (Cahaya) ayat 15-17
“Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja padahal di sisi Allah adalah besar/Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau. Ini adalah dusta yang besar”/Allah memperingatkan kamu agar jangan berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
Semoga momen 17 Ramadhan yang merupakan tanggal turunnya wahyu pertama menjadi pengingat bagi semua orang yang mengaku beriman, bahwa ancaman dosa dan bahaya menyebarkan kabar dusta—yang kini disebut hoaks—sudah tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an.
19.04.22
(17 Ramadhan 1443 H)
@akmalbasral
Penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.