Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Catatan:
Untuk melengkapi 3 esei tenang Tano Batak yang saya posting ulang kemarin, saya memposting lagi tulisan tentang HUTA ini. Tulisan ini saya edit sedikit, agar lebih padat. Barangkali berguna untuk melengkapi pemahaman tentang realitas dan dinamika perubahan yang terjadi pada Tano Batak dan orang Batak (Toba). Semoga bermanfaat.
Tahun-tahun dekade terakhir, setiap pulang dan berkeliling sekitar Toba, saya merasa sedih. Banyak rumah baru tumbuh di pinggir jalan, mayoritas menguruk lahan bekas sawah, dan banyak huta (kampung asli) jadi sepi, bahkan telantar.
Beberapa tahun lalu, saya diajak Jesral Tambun, anak (abang) saya yang berprofesi sebagai panggorga, pembuat ukiran khas Batak, ke sebuah huta yang sudah kosong, di daerah Parmaksian, Porsea. Masih ada tiga rumah gorga (ukir) dan satu sopo di huta itu, tapi sudah terancam rusak. Ruma gorga yang tengah malah sudah mulai rusak parah, bagian depannya berjatuhan, dirambati tumbuhan rambat (lihat foto).
Katanya, anak keturunan pemilik rumah itu semua di rantau. Mereka tidak mau memperbaiki, tapi juga tidak mau menjual. Artinya, mau dibiarkan hancur termakan waktu.
Sedih banget. Tapi begitulah kenyataan banyak huta di Tano Batak saat ini. Banyak huta yang sunyi, bahkan kosong sama sekali tanpa penghuni. Rumah-rumah Batak yang harganya tak ternilai, satu per satu rusak dan hancur. Bahkan ada kampung yang sama sekali tidak ada lagi rumah, karena orang-orang tua sudah meninggal, dan anak cucu kampung sudah tersebar di rantau.
Kalau mau jujur, kondisi ini salah satu bukti pudar dan nyaris hilangnya kebudayaan Batak. Ruma Batak, terutama ruma gorga, adalah satu akar dan bukti kebudayaan Batak yang tinggi. Ruma Batak karya arsitektur yang unik dan tidak ada duanya di dunia. Saat ini, kalaupun punya uang Rp 1 atau 2 miliar, belum tentu bisa membuat rumah seperti itu.
Salah satu pilar idnetitas budaya orang Batak adalah marga dan huta. Kalau sesama orang Batak bertemu, pasti akan memulai sapa dengan pertanyaan marga dan kampung asal. Aha margam (apa margamu). Didia hutam (dimana kampungmu). Bahwa setiap orang Batak punya marga, dan huta. Karena satu marga bisa berasal dari wilayah (huta) yang berbeda. Itulah Batak. Marga na marhuta, huta na marmarga.
Tiap orang Batak terikat dengan marga dan hutanya. Huta itu menjadi identitas adat. Huta itu pasti milik keturunan ompu tertentu, dari marga tertentu. Setiap orang Batak pasti punya huta sebagai “bonanipinasa”, tanah asal, kampung halaman.
Huta atau kampung adalah wilayah teritorial otonom dalam kehidupan orang Batak. J. C. Vergowen, dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” menyebut huta sebagai “republik kecil yang merdeka”. Sebuah “kerajaan kecil” yang raja-rajanya tidak akan mau menerima campur-tangan orang luar. Dan tidak ada juga orang yang berani campur-tangan urusan huta orang. Itu penghinaan. Bisa urusannya bunuh-bunuhan.
Dimasa lalu, huta-huta inilah yang menjadi basis Bius, pemerintahan sosial di Tano Batak sebelum kedatangan kolonial Belanda. Setiap huta memiliki Raja Huta, yaitu para Sipungka Huta (pendiri kampung) dan keturunannya. Para Raja Huta ini bergabung dalam Horja, yaitu kumpulan huta dalam satu kawasan. Mereka memilih Raja Horja atau Raja Paijolo yang mewakili mereka ke Bius. Para Raja Horja ini kemudian memilih Raja Bius dan membentuk Pemerintahan Bius. Pemerintahan Bius ini terdiri dari berbagai macam urusan (bidang), dari spiritual (Parbaringin) hingga pertanian, yang pemimpinnya dipilih dari para Raja Horja itu).
(Marga na marhuta, huta na marmarga ini bukti utama bahwa orang Batak, masyarakat di Tano Batak adalah masyarakat adat. Ini jawaban untuk orang-orang Batak, pejabat atau orang biasa, yang mengatakan sekarang tidak ada lagi masyarakat adat. Adakah orang Batak yang tidak punya huta dan asal usul? Adakah orang Batak yang mau huta-nya diklaim sebagai milik orang? Jangan minta sertifikat kepada mereka. Sertifikat mereka adalah darah, DNA yang mengalir di tubuh mereka).
Otomatis, setiap huta tunduk pada aturan Bius. Dan huta merasa sah, kalau dia diakui, tergabung dalam bius.
Huta adalah pemukiman yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dikeliling parik (tembok) yang umumnya ditanami pohon bambu dan pohon-pohon lain. Di dalamnya dua baris rumah berbaris saling berhadapan, dan tengah-tengahnya lapangan yang memanjang. Huta ini adalah “milik” sipungka huta, yang mendirikan huta, dan turun-temurun dipimpin oleh keturunannya.
Menurut Sitor Situmorang, dalam buku “Toba Na Sae”, berdasarkan sejarah lisan Toba, yaitu tarombo atau silsilah marga-marga Batak, yang diwariskan dan diterima dari generasi ke generasi, pemukiman pertama, desa yang terorganisir, dengan pemukiman dan persawahan yang sudah tertata, terletak di lembah sebelah barat Pusuk Buhit yang kini dikenal sebagai lembah Limbong – Sagala. Nama huta pertama itu adalah Sianjur, ditambah dengan predikat “mulamula” sebagai pemula semua huta, sehingga lengkapnya Sianjurmulamula.
Huta berbentuk benteng bujur sangkar ini kemudian dijadikan model setiap huta di Tano Batak. Huta ini juga kemudian menjadi awal dan dasar lembaga adat/institusi Bius tadi, yang menjadi pemerintahan sosial dan hukum yang melembaga di Tano Batak selama puluhan generasi, sampai Belanda menghapuskannya.
Jadi, huta-huta (kampung) di Tano Batak itu sebenarnya rangkaian pemukiman otonom dari unit-unit marga. Huta-huta dari kelompok marga Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait dan Butar-butar) umumnya menduduki daerah wilayah Uluan, mulai dari Sibisa (Prapat) hingga Porsea.
Sementara kelompok marga Sibagot Ni Pohan (Simanjuntak, Panjaitan, Napitupulu, Marpaung, Simangunsong, Tampubolon, Siagian, Sianipar, Tampubolon, Silaen, dan sebagainya) dan kelompok marga Sipaettua (Pangaribuan, Hutapea, Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, dan sebagainya) memenuhi wilayah Toba Holbung, wilayah mulai dari Porsea hingga kawasan Balige.
Bukan berarti satu wilayah hanya diisi marga atau anak cabang marga tertentu. Karena lumrah terjadi marga pendatang mendirikan huta. Ada juga marga Sitorus, kelompok marga Nairasaon, yang menduduki wilayah di tengah-tengah kelompok marga Sibagot Ni Pohan, di daerah Sigumpar/Silaen (Parsambilan) menyebar hingga ke Parsoburan.
Pulau Sibandang di depan Teluk Muara adalah ulayat marga Aritonang/Rajagukguk. Tapi di sana juga ada huta marga boru mereka Naibaho yang sudah tinggal di sana 13 generasi. Meski tetap hormat kepada hula-hula, marga Naibaho juga punya otoritas sendiri dalam lingkungan hutanya. Di Sibisa, yang merupakan tanah ulayat Nairasaon, juga ada huta marga Silalahi dan Nadapdap.
Horja Nasumanggar, kampung saya, di daerah Lumbanlobu, Toba, merupakan wilayah huta-huta marga Sitorus dan Tambun. Tapi di sana ada satu huta marga Naipospos dan dua huta marga Panjaitan. Mereka Panjaitan dari Sitorang dan Naipospos dari Laguboti.
Bagaimana huta-huta ini tumbuh dan berkembang?
Menurut Bonar Siahaan, pemuka adat yang juga suka menulis tentang budaya Batak, dalam sebuah percakapan di rumahnya, di Siboruon, Balige, Juli 2019, dahulu kala, ketika manusia dan kampung masih sedikit, kalau ingin mamungka huta (membuat kampung), harus diniatkan dan hati-hati. Karena mungkin saja ada musuh yang keberatan atau mau merebut, terutama kalau berada di lokasi yang strategis.
Pertama didirikan undung-undung (pondok atau gubuk} untuk tempat berlindung dan bermalam, karena jaman banyak juga binatang hutan. Harus menancapkan kayu dulu, sebagai pertanda. Kayu pertanda itu disebut “balikkuhu”.
Tapi, sebelum memilih tempat dan memberi tanda, biasanya dicari juga sumber air atau mual. Karena tanpa sumber air, orang akan kesulitan (hidup). Sumber air itu biasanya berbentuk mata air pancuran. Konon, menemukannya tidak mudah. Ada yang ketemu sangat dekat, kadang agak agak jauh. Karena itu mual bagian dari huta yang dianggap sakral. Mengotori mual suatu kampung adalah tindakan kurang ajar yang menghina pemilik huta. Tongka (pantang). Sebaliknya, pantang melarang orang lain memanfaatkan mual kita.
Kalau tidak ada yang keberatan, pembangunan huta diteruskan dengan membuat parik (benteng) yang mengeliling kampung. Sesudah parik dibangun, lalu ditanami bambu dan pohon kayu. Bambu dan kayu itu jadi bukti dia siusung bunti (pemegang bukti) huta atau pemilik huta.
Sipungka huta (pendiri kampung) dan keturunannya kemudian akan mendapat kehormatan sebagai raja huta. “Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta”. Artinya, apapun kegiatan dalam huta, tidak boleh dilakukan sebelum bertanya kepada raja huta. Meski dia orang kaya, atau pejabat, tidak boleh mendahului raja huta. Itu Patik Ni Raja Huta, hukum raja huta.
Setelah orang Batak makin banyak dan organisasi kemasyarakatan makin berkembang, pendirian dan penetapan huta dilakukan dilakukan di hadapan raja-raja adat, para tunggane huta, dengan patik (ketentuan hukum adat). Di-patik-kan nama hutanya, bagian-bagian dan fungsinya. Ada harbangan (gerbang utama), ada balubu (jalan kecil untuk orang maupun hewan). Kalau wilayahnya luas, ditentukan mana untuk persawahan, perkebunan (parjumaan), parbandaan (pemakaman), parmahanan (tempat menggembal ternak), dan sebagainya.
Ini disebut Huta Na Marpatik, huta yang ditetapkan dengan patik (hukum). Fungsi-fungsi ini tidak bisa dirubah. Harus dirubah dulu patiknya. Harus minta ijin dari kerabat dan tetangga, dan disepakati raja huta. Dipatikkon lagi. Dalam konteks ini, adalah salah kalau misalnya, kemudian orang membangun tambak atau kuburan di dalam huta. Dang bahenon parhutaan gabe parbandaan. Jangan membuat perkampungan jadi pekuburan.
Karena huta sudah dikeliling parik (tembok) sejak awal, kapasitasnya terbatas, sementara jumlah orang (rumah tangga) bertambah. Kalau tidak bisa lagi mendirikan rumah, orang kemudian membuka kampung, memecah dari huta yang ada. Namanya manosor, membuat sosor. Makanya ada nama huta Sosor Dolok, Sosor Binanga, dan sebagainya. Tentu, ngomong dan pamit dulu kepada tunggane atau raja huta.
Sosor ini menjadi huta baru, yang menjadi milik yang membuka huta. Dia menjadi raja huta yang otonom di sana, tapi masih berkaitan dengan huta induk, karena mereka pecahan dari sana dan masih keturunan dari satu ompu.
Menurut amangboru Bonar Siahaan, kalau bikin sosor, supaya resmi, sesudah membuat huta dan ada rumah, dipanggil para tunggane ni huta (tetua-tetua huta) untuk meresmikan. Bahwa kampung ini namanya Sosor Anu. Hanya para dongan tubu, teman semarga. Supaya mereka “manggabei”, merestui, agar jadi huta yang baik dan ramai.
Kalau ikut hombar huta (tetangga kampung), marga-marga lain, harus memotong sapi. Bisa juga acara besar, margondang misalnya. Kalau hanya dongan tubu, bisa memotong babi atau kambing. Kalau huta atau parjabuan sudah sah diadatkan, sudah bisa melakukan pesta atau upacara adat. Sudah memegang “kerajaan” sendiri, tapi harus tetap bersama saudara di huta induk.
Jika huta cabang ini menjadi penuh dan keluarga yang membuat sosor lagi, biasanya huta cabang jadi disebut “Lumban”, sementara huta yang baru menjadi sosor. Jadi huta-huta di Tano Batak itu, jenis dan urutannya ada tiga: Huta (sebagai huta bagasan atau kampung induk), Lumban (sebagai huta cabang), dan Sosor (sebagai ranting). Jadi dari satu huta, bisa menjadi banyak lumban dan sosor. Masih satu marga, masih satu keturunan, tapi tiap orang punya “bonanipinasa”, huta asal tempat kelahiran.
Untuk unit marga yang membuat huta di wilayah marga orang lain, tentu itu atas persetujuan raja-raja huta sekitar, dan melalui proses adat. Meski pendatang, mereka otonom sebagai huta.
Begitulah huta-huta tumbuh dan berkembang, hingga membentuk warna dan budaya khas Tano Batak. J.J. van de Velde, pegawai pemerintah Belanda yang tahun 1930 – 1940-an pernah bertugas Kontrolir (Asisten Residen) di Balige, dalam bukunya Brieven uit Sumatra (Surat-surat dari Sumatra), menggambarkan keterpesonaan pada rangkaian dan suasana huta-huta yang dikelilingi tembok yang ditumbuhi rumpun bambu, dan dikelilingi sawah-sawah.
“Di dalam huta-huta yang terlindung itu terdapat rumah adat yang indah sekali, terbuat dari kayu dan dihiasi ukir-ukiran. Di dalam huta itu berkeliaran banyak sekali ternak-tenak babi dan anjing, yang melahap semua sampah dan kotoran, termasuk kotoran manusia!” tulis van de Velde.
Huta-huta yang disebut van de Velde inilah yang menjadu basis Bius, pemerintahan sosial di Tano Batak sebelum penjajah datang. Itu berlangsung puluhan generasi, hingga Belanda dating dan menghapus bius. Wibawa dan wewenang Raja Huta dalam hukum adat didegradasi, dengan mengangkat Demang, Kapala Nagari, kepala kampung, dan sebagainya.
Satu hal yang perlu difahami, keinginan untuk memiliki “kerajaan” sendiri, memiliki tanah (wilayah) dan rumah sendiri, sudah menjadi karakter dasar orang Batak. Pendirian huta, lumban, dan sosor tak lepas dari itu. Cuma, dilakukan dengan kesopanan dan aturan adat.
Jadi, bisa dimaklumi, ketika kepemilikan tanah makin terbatas, selain migrasi karena sekolah dan bekerja, banyak orang Batak yang kemudian migrasi, pergi manombang ke Sumatera Timur, atau tempat lain di Sumatera. Dulu mungkin manombang ke Tanah Jawa di Simalungun, ke daerah Tebing Tinggi, Lubukpakam, Tanjung Balai, atau Kisaran. Anak mereka, selain sekolah dan bekerja di tempat jauh, mungkin ada yang pindah merantau ke Riau, Jambi, Lampung, atau ke tempat lain. Ini semua tak lepas dari keinginan memiliki “tanah dan rumah” sendiri.
Memiliki tanah dan rumah sendiri sesuatu yang sangat penting dan utama dalam kehidupan orang Batak. Lihatlah di kota-kota, apapun pekerjaannya, berusaha punya rumah. Entah sekecil apa, entah terletak di gang sempit, di pinggir saya, kalau perlu di jalur hijau, yang penting punya rumah. Masih mengontrak sesuatu yang dianggap masih tidak punya proud. Jadi, jangan heran kalau orang dari seluruh Tano Batak sangat bersemangat pergi ke Riau dan Jambi untuk membuka perkebunan sawit.
Begitulah, orang Batak jadi sangat tersebar. Anak-anak orang yang pergi manombang ini kemudian sekolah dan bekerja di kota, bahkan kemudian keluar negeri. Banyak generasi yang tak tersambung lagi dengan bonanipinasa atau kampung asal ompung atau bapaknya. Atau tahu, tapi tidak pernah berkunjung, dan tidak ada yang kenal. Orang yang tinggal di kampung juga mungkin tidak mengenal mereka. Jadilah huta-huta di Tano Batak perlahan jadi sunyi, bahkan hilang.
Lau bagaimana? Bagaimana seharusnya?
Kalau berdasarkan inti sistim kekeluargaan dan kekerabatan orang Batak, setiap orang semestinya tahu dan mencari bonanipinasa-nya masing-masing. Dan orang yang ada di bonanipinasa seharusnya tahu dan mencari saudara-saudaranya yang tersebar.
Menurut saya, keturunan dari satu huta mestinya harus merasa perlu dan berusaha saling mencari, kemudian mendirikan satu rumah sebagai “ruma parsantian”, rumah milik bersama untuk tempat mereka pulang. Siapa saja bisa pulang, untuk ziarah atau sekedar berkunjung. Atau suatu ketika, melakukan suatu acara bersama, sebagai pertanda satu darah dari leluhur yang sama.
Bila orang-orang Batak bisa melakukan itu, mungkin identitas suku-bangso Batak, Habatahon, mungkin akan bertahan hidup. Paling tidak akan menunda kepunahan….