Tiada Hari Tanpa Belajar

Ketika cucu sulungku mulai kuliah dan mengatakan akan “ngebut” supaya cepat selesai, kukatakan padanya untuk santai saja, sebab masa kuliah adalah masa yang menyenangkan dan tidak perlu diburu-buru. Aku berkata begitu, mungkin karena dulu masa kuliah kujalani sesuai motto perguruan tinggiku:  “buku, pesta, dan cinta.”

Waktu  baru masuk, dunia kampus terasa agak menyeramkan bagiku. Tahu-tahu, dari SMA Kristen yang muridnya termasuk homogen,  aku “kecemplung” di dunia luas yang terdiri dari manusia aneka asal dan agama. Apalagi aku dijuluki “anak SMP” oleh senior-seniorku gara-gara penampilanku yang kecil dan tanpa dosa. Namun aku cepat menyesuaikan diri, dan bangga menjadimahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.  

Aku suka semua yang kupelajari di jurusan yang kupilih, Sastra Inggris. Para dosenku hebat-hebat, beberapa di antaranya lulusan luar negeri. Ada pula yang  penutur asli. Aku kagum, khususnya kepada Ibu Johana. Beliau ramah dan tutur katanya lembut, tapi dalam urusan pelajaran termasuk “killer”. Angka 6 darinya serasa 9 dari dosen lain. Aku kagum tapi agak takut juga.

Perawakannya tinggi besar. Ia selalu berkain kebaya dan bersanggul. Ketika mengajar suaranya mengalun merdu, membuat bahasa Inggris terdengar begitu indah. Salah satu mata kuliahnya  adalah Mengarang. Saking ingin mendapat angka bagus, aku menulis pekerjaanku serapi dan seindah mungkin, lalu kuberi “bingkai” di sekelilingnya. 

Apakah ia terkesan? Tidak. Tapi kurasa ia terhibur. Katanya sambil tersenyum geli di depan kelas, “B, ini pelajaran bahasa, bukan seni rupa. Yang penting bukan keindahan penampilan kertas tugasmu, tapi isinya.” Teman sekelasku yang 30 orang itu tertawa, dan aku menunduk malu.

Kali lain, kami ditugasi menulis “karakter”. Aku menulis tentang tokohku, “Ia gadis berhati emas.” Lalu apa komentarnya?  “Apakah kamu bisa buktikan bahwa hatinya terbuat dari emas? Dalam menampilkan karakter seseorang, beri gambaran dengan contoh-contoh.  Show, not tell.”

Pada kesempatan lain aku berani-beraninya menulis tentang … Ibu Jo sendiri! Tulisku di sela-sela pujian:  “Ia sudah tua, sekitar 40 tahun, tapi belum menikah.”  Kali ini ia tidak berkomentar di kelas; aku dipanggilnya ke ruang dosen.  Apa yang dikatakannya membuat aku bergidik, “Jangan sekali-kali menggunakan kata ‘tua’ buat seorang wanita, jangan pernah menyebut usianya. Selain itu, memangnya kenapa kalau aku tidak menikah? Aku dulu pernah bertunangan, tapi tunanganku  gugur dalam perang kemerdekaan. Sekarang aku hanya ingin grow old gracefully.”

Wah, ini bukan lagi pelajaran bahasa Inggris, melainkan pelajaran kehidupan. Aku minta maaf dengan air mata berderai, dan dia mengangsurkan sebuah kotak tisu.

Pada tahun kedua kuliahku aku mendapat pelajaran lain. Waktu itu aku dekat dengan sahabatku  Lana. Suatu hari  Ibu Jo memanggilku ke ruang dosen, memperingatkan aku bahwa jangan-jangan Lana…. “Dia cantik, kenapa belum punya kekasih?” katanya,  lalu dengan halus ia memberi contoh lesbianisme dari cerpen yang pernah kami bahas di kelas.

Aku membela Lana karena aku tahu ia juga sering naksir cowok. Kutegaskan bahwa Lana tidak punya kecenderungan itu. Ibu Jo menarik napas lega. Katanya, “Baguslah kalau begitu. Aku cuma was-was, karena kamu masih kecil.”

Tahun-tahun berlalu, dan isi kelasku semakin menciut. Sampai suatu saat, aku hanya sendirian untuk kelas-kelas sastra, sementara temanku sendirian pula di kelas-kelas lingusitik. Pagi itu aku duduk di kelas puisi, ya sendirian, sementara Pak Dosen Puisi  berdiri di podium. Ketika aku mengangguk-angguk di hadapannya,   ia berkata terus terang, “Kamu tidak usah pura-pura paham.”  Malunya aku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa memahami puisi yang menggunakan metafora cricket, sementara aku tidak tahu-menahu soal permainan khas Inggris itu?

Selama berhari-hari aku murung.  Ketika aku duduk termenung di pinggiran lantai yang memisahkan satu gedung dengan gedung lainnya di bangunan fakultasku, tahu-tahu Ibu Jo duduk di sisiku. Bayangkan seorang wanita berkebaya duduk sama rendah dengan mahasiswinya di lantai.

“Kamu kenapa?” tanyanya.

“Aku…kurasa aku mau berhenti kuliah saja, Bu. Terlalu berat bagiku.”  

“Nak, ilmu pengetahuan itu luas, begitu pula ilmu sastra, Tak seorang pun bisa menguasai semuanya. Kamu mungkin lemah dalam Puisi, tapi kuat dalam Novel. Lagipula apa yang kaudapat di sini hanyalah dasar. Setelah itu, terserah padamu untuk mengembangkan pengetahuanmu. Bukankah kamu kenal istilah lifelong learning? Hidup ini adalah rangkaian belajar yang tak ada habis-habisnya. Berjanjilah kamu tidak akan menyerah, sekarang maupun nanti.”

Aku mengucapkan terima kasih padanya, dan berjanji untuk terus berjuang. Apalagi ia sudah memberi pengakuan, bahwa aku kuat dalam mata kuliahnya!  Ah, kalau saja kami hanya berduaan, mungkin aku sudah memeluknya.

Aku pun melanjutkan kuliahku dan dua tahun kemudian lulus.

Waktu berlalu. Ada kenangan yang memburam, ada yang tetap cemerlang, termasuk tentang Ibu Jo. Mengenai lifelong learning, sampai sekarang pun aku masih tetap belajar. Antara lain aku  belajar tentang kehidupan, mengikuti perkembangan teknologi digital, aktif di medsos dan  tetap menulis.  

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.