Seide.id – Makna sukses bisa macam-macam. Suskes yang saya maksud apabila cita-cita dan mimpi seseorang bisa diraihnya. Sukses yang bagi seseorang bisa mengantarkannya ke pintu kebahagiaan hidup. Apakah saja yang umumnya dibutuhkan untuk seseorang meraih sukses dalam hidupnya?
Kemarin saya diinspirasi oleh sahabat Helena Elsina, seorang fasilitaor JRP yang memberi kursus menambah soft skill, ilmu dan keterampilan yang tidak diajarkan di sekolah, namun saya percaya kalau faktor ini ikut menentukan besarnya peluang sukses seseorang.
Bahwa prestasi akademis yang diraih seseorang mengantarkannya masuk pintu menuju sukses. Namun apakah orang memiliki soft skill yang mumpuni, yang akan menentukan apakah seseorang calon meraih sukses tetap berada di dalam, atau dikeluarkan dari ruang peluang sukses itu.
Sekolah cenderung mendahulukan prestasi akademis melebihi soft skill, budi pekerti, unggah ungguh, dan atribut personal bagaimana terampil melakukan hubungan antar manusia, personal relationship, berinteraksi beradaptasi dengan orang lain. Sejawat saya yang cum laude lulus dokter, tapi praktiknya tidak sesukses sejawat yang tidak lulus sehebat itu, tapi luwes bergaul, enak diajak bicara, dan elok kepribadiannya.
Ini bagian dari kerja HRD. Dulu saya tahu Matahari Group tahun 80-an, bagaimana perusahaan merekrut supervisor buat toko, owner Pak Hari Darmawan sendiri yang ikut turun tangan. Calon supervisor yang sudah lulus semua uji kasryawan, dikonsinyir di villa milik Pak Hari, diajak ngobrol, makan bareng, olahraga bareng, dari situ akan tampak siapa calon supervisor yang laik dipilih. Dari cara menjawab, merespons pertanyaan, membawkan diri, termasuk unggah ungguh, tertangkap dengan pertemuan beberapa hari hidup bareng. Nyatanya memang, supervisor pilihannya tepat. Mereka sosok yang genah, enak diajak bicara, luwes pembawaannya. Soal pandai, pintar, cerdas menjadi nomor dua, oleh karena yang berijazah SMA saja malah dipilih, karena kelebihan soft skill-nya ini, saya kira.
Semakin susah menemukan orang baik. Orang yang memiliki soft skill tinggi juga tercakup faktor integritas seseorang, tahu bersikap-pikir-laku baik, benar, dan bijak. Maka sekarang muncul pertimbangan, mending memilih orang pintar tapi tidak baik, atau memilih orang tidak pintar tapi baik?
Tidak pintar masih bisa diasah, dikursus, ditutoring, tapi kalau sudah tidak baik, tidak ada cara untuk mengubahnya. Ini soal soft skill, dan ini alasan lain, kenapa sesungguhnya sekolah, pendidikan nasional seharusnya sudah perlu mempertimbangkan ulang hadirnya kurikulum soft skills, budi pekerti salah satunya.
Saya mengamati dalam perjalanan saya berpraktik dokter, ketemu pasien, dan orang-orang yang minta surat keterangan sehat untuk bekerja, saya duga, peran memiliki soft skill tinggi, lebih menentukan seseorang diterima bekerja, melebihi hanya bobot ijazah. Ijazah hanya selembar kertas yang menentukan status akademis seseorang, tapi yang menentukan sukses nantinya adalah karya. Apa yang yang dihasilkan.
Saya mengamati, ada sekolah yang menggenjot siswanya untuk meraih prestasi akademis tinggi, dan mengejar agar selalu memenangkan lomba internasional. Namun kalau diamati, kebanyakan rendah soft skillnya. Mereka siswa yang bukan menjadi somebody dalam perjalanan karier menuju sukses hidupnya. Kalau pun sukses, mereka umumnya bukanlah sosok terpuji, yang mengilhami banyak orang.
Sebaliknya, sekolah-sekolah yang tidak mengejar semata prestasi akademis, sekolah katolik umumnya (pengalaman melihat pendidikan anak saya dulu, dan saya sendiri), berbeda produk lulusannya. Mungkin kalah pintar, kalah berpestasi akademis dibanding sekolah yang menggenjot prestasi akademis, dengan anak-anak yang digenjot akademisnya, tapi anak-anak sekolah katolik kebanyakan kemudian akan menjadi lebih sebagai seseorang, sebagai somebody. Sosok yang memikirkan orang lain (thinks for others). Kepribadian yang disukai semua orang. Ini modal lain menuju suksesnya.
Saya menyimak karya sahabat saya sejak kecil Ronny Adhikarya, mantan orang World Bank, yang selama ini keliling dunia membawakan ilmu yang dikuasainya, yakni Tacit Knowledge, ilmu soft skill, ilmu tersendiri yang saya lihat ikut menentukan sukses seseorang.
Tacit Knowledge tidak bisa dipelajarkan tapi nyata ada. Ibarat orang belajar naik sepeda, tidak bisa dijabarkan bagaimana teknik mulai praktik belajar naik sepeda, tapi berlangsung begitu saja. Itulah Tacit Knowledge. Anak yang memiliki kemampuan ini, punya modal lain menuju sukses hidupnya.
Anak saya waktu diwawancara via telpon oleh Profesor sebuah Universitas di Amerika Serikat, hanya ditanya apa kegiatan di luar sekolah dulu, dan bagaimana menghadapi kehidupan. Anak saya entah tahu dari mana (dia lulus Kanisius Jakarta), bilang hidupnya terorganisasi, organized. Profesornya langsung menerima masuk Universitasnya.
Bahwa orang pintar memang banyak. Namun pintar dengan nilai tambah X itu yang tidak banyak. Semua bidang kehidupan membutuhkan sosok pintar yang punya nilai tambah ini. Sosok ini yang bukan saja besar karyanya, kreatif, menyehatkan perusahaan tempat bekerjanya, sekaligus calon insan yang bakal meraih sukses hidup pribadinya.
Dalam rekrutmen HRD tentu ada juga yang tak tertulis, kalau faktor good looking juga ikut menentukan peluang menuju sukses seseorang. Saya pernah membaca beberapa studi yang pernah dilakukan ihwal peran good looking dalam sukses hidup seseorang. Selalu ada peluang lebih besar dimiliki mereka yang good looking. Kalau ujian, ada peluang lebih besar lulus kalau wajahnya enak dilihat. Kalau mencari pekerjaan juga lebih memilih yang good looking kalau pesaingnya pintarnya sama. Tapi good looking kan anugerah tidak bisa dipinta, atau diubah. Dan barang tentu bukan berarti yang tidak good looking tidak bisa sukses. Ini cuma bicara soal peluang lebih besar saja memihak kepada yang good looking.
Faktanya, wanita yang good looking kebanyakan malah menjadi penghambat, kerikil menuju sukses, karena umumnya kurang bertekun dalam studi, banyak godaan lelaki, risiko salah pilih calon suami, akhirnya berpotensi tidak sukses.
Jadi kalau ada dokter wanita yang cantik, itu luar biasa. Sekolah yang menuntut perlu bertekun dan sekolahnya lama, bisa berhasil dilaluinya. Mahasiswi kedokteran tidak sempat berdandan, tampil seadanya saking padatnya waktu untuk kuliah dan praktikum sepanjang hari. Dokter cantik, tentu lumayan pintar, tinggal perlu lihat kepribadiannya, apakah juga tergolong menonjol, dan cerdas pula soft skill-nya.
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul