Seide.id – Dua minggu lalu adik saya mengabarkan pagar rumahnya dibongkar maling dan sepeda motornya raib. Saya yang mendengar kabar itu ikut emosi. Tapi ya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa dengan penuh amarah dan dendam. Semoga kalau ada lagi maling motor tertangkap, gak usah dikirim ke kantor polisi. Langsung saja dieksekusi di tempat. Kalau perlu mati.
Seminggu kemudian ada berita di televisi, seorang pencuri motor tertangkap basah oleh warga. Tanpa ampun, tanpa rasa belas kasihan, maling itu ditelanjangi, digebuki, disiram bensin, disulut api, dan mati.
Apa saya bahagia? Ternyata tidak. Sekejap itu juga hati saya mendadak iba bagaimana pencuri motor itu dihakimi sendiri dan dieksekusi mati.
Kira-kira begitulah sejumlah status yang berseliweran setelah Sambo divonis hukuman mati. Ada yang bersorak senang. Ada yang mendadak kasihan. Kedua-duanya sama-sama menggunakan hati.
Tapi harus diingat, kata seorang teman, Keadilan Tidak Memiliki Hati.
Coba, apa jadinya kalau setiap hakim mendahulukan perasaannya dalam memutuskan sebuah perkara persidangan? Tentu keadilan cuma jadi pemanis bibir belaka. Kalau selalu mengikuti perasaan ada kecenderungan untuk memihak ‘yang tampak teraniaya’ meski pun secara fakta ia terbukti bersalah.
Perasaan dalam sebuah proses persidangan memang sangat berbahaya. Demikian kata yang paham hukum dan tak mau mempermainkan hukum.
Biar tidak jadi penyesalan berlarut-larut, adik saya sudah mengiklaskan motornya yang raib diembat maling.
Ramadhan Syukur