HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Seorang sahabat, penyair, menulis begini di akun FB-nya hari ini:
“Ketika sedang sakit, saya berjanji kapok-kapok untuk nggak akan lagi makan enak sembarangan. Tapi di saat sehat seperti sekarang, kangenku luar biasa ingin kembali berkunjung ke Warung Soto Iga, Brongkos Daging dan Buntut Sapi Pak Musthofa di Jl Magelang KM 7, Sleman, Yogya. Bayangkan, satu porsi hanya Rp 25.000, dagingnya banyak dan penuh lemak lagi …”
SALAHKAH kalau Anda, kita semua, masih makan menu seperti yang dikangeni sahabat saya di atas?Jawabnya belum tentu salah. Atau boleh jadi memang tidak salah. Tapi bukankah sejak dulu dokter selalu wanti-wanti bilang agar kita tidak banyak makan daging lemak dan santan (gorengan, jeroan, telor dan sejenis itu lainnya karena alasan kolesterol)?
Betul. Sejak tahun 70-an memang semua sepakat kalau kita perlu membatasi menu berlemak dan berkolesterol. Namun sekarang tidak lagi. WHO sudah menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara asupan menu berkolesterol terhadap meningginya kadar kolesterol dalam darah. Mengapa tidak demikian? Oleh karena kolesterol diproduksi oleh organ hati. Peran asupan menu berkolesterol kecil saja atau tidak signifikan. Selama organ hati berfungsi normal, kolesterol dalam darah akan terpelihara normal.
Bahwa betul kadar kolesterol dalam darah memang perlu terus dijaga agar tidak dibiarkan tinggi karena buruk akibatnya. Hanya bila orang mewarisi turunan kolesterol tinggi (hyperlipoproteinemia), kadar kolesterol dalam darahnya cenderung tinggi, dan orang perlu bergantung obat antikolesterol sepanjang hayat.
Selama kolesterol darah bisa dikendalikan normal, tidak harus sampai terjadi komplikasi jantung koroner, stroke, gagal ginjal, atau kebutaan. Untuk itu perlu ada upaya. Tindakan awal, ubah dulu gaya hidup, oleh karena sebagian besar penyakit metabolisme lantaran kita keliru memilih gaya hidup.
Dengan mengubah gaya hidup berarti membuat berat badan jadi ideal, menu harian seimbang (tigperlima karbohidrat, seperempat protein, dan sisanya lemak), rutin berolahraga, kendurkan stressor. Apabila dengan gaya hidup yang benar ini kolesterol masih tetap di atas normal, baru mulai dibantu dengan minum obat. Demikian pula bila diabetes, hipertensi, dan semua penyakit metabolisme. Selama masih bisa tanpa obat (non-pharmaca), mengapa harus minum obat karena kesalahan terjadi pada pilihan gaya hidup.
Jadi kalau masih suka muncul keluhan, gejala, atau tanda suatu penyakit, sehingga tubuh terasa tidak nyaman, atau merasa tidak sehat, itu karena sedang berlangsung proses komplikasi, bentuk gangguan atau penyulit pada organ tubuh yang terkena. Komplikasi tersering menimpa jantung, otak, ginjal, saraf dan mata. Mungkin itu sedang menuju proses serangan jantung koroner, proses stroke, proses gagal ginjal, atau proses yang lainnya. Penyebabnya tentu bukan apa yang sedang kita konsumsi, melainkan bisa sebab kolesterolnya, trigliseridenya, asam uratnya, atau gula darahnya, yang sedang di atas normal.
Melihat sosok sahabat penyair yang menuliskan postingnya di atas, saya harus tega bilang bahwa ia masih terlalu gemuk. Idealnya, berat dalam Kg dibagi pangkat dua tinggi dalam Meter harus kurang dari 25 indeks massa tubuhnya (BMI). Kenapa masih saja kelebihan berat badan?
Oleh karena kalori yang masuk masih lebih banyak dari kalori yang terpakai, maka neraca berat badan selalu berlebih. Cara menurunkannya, atau kalori yang masuk dikurangi berarti porsi makan dikurangi, dan aktivitas fisik tetap seperti biasa,kalau bukan asupan kalori tetap tidak usah dikurangi, tapi aktivitas harian ditambah.
Barang tentu kalau kolesterol trgliseride asam urat dan gula darah harus tetap dijaga berada dalam nilai normal. Caranya?
Kalau tidak cukup hanya dengan mengubah gaya hidup, berarti sudah perlu bantuan obat.
Saya prihatin melihat teman-teman penyair, sastrawan, status kesehatannya rata-rata mencemaskan. Selain hidup mereka rata-rata kurang tertib, tak jelas pola makan, dan membiarkan, kalau bukan karena memang tidak tahu kalau di tubuhnya ada kolesterol, trigliseride, atau asam urat selain gula darah yang di atas normal. Faktor jahat ini yang merongrong umur kita.
Dunia medis bicara statistik, bukan berpikir fatalistik, seperti pikiran biar saja kan umur di tangan Yang Di Atas. Tidak demikian eloknya. Harus tegas saya katakan, bahwa nasib kesehatan kita ada di tangan kita masing-masing.
Kita harus tekun menata kesehatan kita sendiri. Kita lihat saja, hanya orang yang hidupnya tertib, semua faktor pemburuk kesehatan dikendalikan, yang punya peluang tidak mati muda (premature death). Dan saya menyayangkan kalau sahabat penyair, sastrawan, dan siapa saja umurnya harus dirongrong oleh penyakit yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Karena pasti nyawa tidak tertolong kalau penyakit dibiarkan tidak diobati. Kasus kritis yang terindikasi harus dirawat di ICCU tapi karena tidak punya uang, lalu nyawanya tak tertolong. Sebaliknya kasus yang sama tapi mendapat pertolongan ICCU, dan nyawanya tertolong, meniscayai bahwa intervensi teknologi medis memungkinkan untuk upaya mengulur umur.
Maka pada acara peluncuran buku puisi Negeri Bahari 28 April di Tegal nanti saya ingin mengajak semua sahabat yang hadir ada acara obrolan mengupas tuntas bagaimana supaya kita semua, penyair, cukup cerdas untuk menata kesehatannya sehingga berpeluang mengulur umur.
Hanya bila badan bugar, tidak mengidappenyakit, tidak diganggu oleh rasa tak nyaman, akan terus lahir karya puisi yang elok. Sekadar diganggu sakit gigi saja pun, mana mungkin bisa tercipta puisi nan menawan. Apalagi kalau dibayang-bayangi penyakit jantung, stroke, ginjal, bahkan kanker, yang padahal kesemua itu masih mungkin kita cegah dan tidak perlu terjadi — kenapa kita tidak mengupayakannya mulai sekarang.
Sampai ketemu April nanti di Tegal.
Salam sehat,
HANDRAWAN NADESUL